Apakah Ulat Jati Bikin Gatal dan Berbahaya? Ini Penjelasannya

Apakah Ulat Jati Bikin Gatal dan Berbahaya? Ini Penjelasannya

Ulvia Nur Azizah - detikJogja
Rabu, 20 Nov 2024 09:07 WIB
teror ulat pohon jati di magetan
Ilustrasi ulat jati. Foto: Sugeng Harianto
Jogja -

Di awal musim penghujan, tidak sedikit masyarakat yang merasa resah dengan hadirnya fenomena ulat jati. Kehadiran ulat ini memang membuat banyak orang merasa geli. Namun, apakah ulat jati bikin gatal?

Dikutip dari laman Biodiversity Warriors, ulat jati atau ngengat jati (Hyblaea puera) adalah serangga dari familia Lepidoptera yang dikenal sebagai hama tanaman jati. Ulat ini memiliki ciri tubuh cokelat dengan garis kuning di sisinya dan panjang sekitar 3,5 cm. Selain tanaman jati, ulat ini juga memakan tanaman lain seperti Avicennia marina dan Crescentia cujete. Setelah menetas, ulat membentuk gulungan daun sebagai tempat persembunyian pada siang hari dan aktif memakan daun di malam hari.

Lantas, apakah ulat jati membuat gatal atau tidak jika terkena kulit? Mari simak pembahasan selengkapnya berikut ini!

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Apakah Ulat Jati Bikin Gatal dan Berbahaya?

Dikutip dari laman resmi Pemerintah Kabupaten Jembrana, ulat jati yang menyerang perkebunan tidak menyebabkan gatal dan tidak berbahaya bagi manusia. Fenomena ini merupakan siklus alam dalam ekosistem yang hanya mempengaruhi daun pohon jati. Ulat-ulat tersebut memakan daun hingga pohon menjadi meranggas, tetapi tidak membuat pohon mati. Setelah dua hari, ulat akan mati dengan sendirinya tanpa perlu tindakan khusus.

Meski tidak berbahaya, masyarakat sering merasa khawatir karena ulat-ulat tersebut merayap hingga ke area perumahan. Oleh karena itu, pemerintah setempat berupaya mensosialisasikan informasi ini kepada pemilik kebun jati. Tujuannya adalah untuk mengedukasi masyarakat agar memahami bahwa ulat ini tidak berdampak buruk pada kesehatan atau lingkungan sekitar.

ADVERTISEMENT

Kenapa Ulat Jati Berjatuhan ke Tanah?

Dirangkum dari laman resmi Pemerintah Kalurahan Tepus Gunungkidul, ulat jati sering berjatuhan ke tanah sebagai bagian dari siklus hidupnya. Fenomena ini terjadi saat ulat jati bersiap untuk bermetamorfosis menjadi kepompong atau ungkrung. Sebelum masuk ke fase ini, ulat jati meninggalkan daun pohon jati dan mencari tempat yang aman di tanah untuk bermalam dan melanjutkan proses perkembangan menjadi kupu-kupu.

Proses turunnya ulat jati biasanya berlangsung pada pagi hari. Ulat-ulat ini bergelantung di benang yang dihasilkan tubuhnya, sehingga terlihat menggantung di sekitar pohon jati. Setelah mencapai tanah, mereka mencari lokasi yang cocok dan terlindung untuk mulai membentuk kepompong.

Metamorfosis ulat jati ke kepompong memerlukan waktu beberapa minggu hingga beberapa bulan. Setelah selesai, kepompong akan berubah menjadi kupu-kupu jati yang menjadi bagian penting dari ekosistem hutan jati. Siklus hidup ini menunjukkan hubungan erat antara ulat jati dan lingkungan pohon jati di sekitarnya.

Selain menjadi bagian alami dari ekosistem, perilaku ulat jati ini juga dimanfaatkan oleh masyarakat. Ulat dan kepompongnya sering dikumpulkan untuk dikonsumsi atau dijual. Fenomena ulat jati yang turun ke tanah tidak hanya menarik secara biologis tetapi juga memberikan manfaat ekonomi bagi warga sekitar.

Olahan Ulat Jati

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat kita ketahui bahwa ulat jati memang tidak berbahaya. Bahkan masyarakat kerap mengolahnya menjadi sebuah hidangan yang lezat.

Dirangkum dari buku Panganpedia oleh Hesti Ayuningtyas Pangastuti dkk, masyarakat di kawasan hutan jati menyiasati musim ulat jati dengan memanfaatkan ungker sebagai bahan pangan. Ungker adalah kepompong ulat jati yang muncul saat daun jati tumbuh subur di musim hujan.

Ketika ulat jati selesai memakan daun, mereka turun dari pohon untuk membentuk kepompong, yang kemudian dikumpulkan oleh warga. Biasanya, ungker dikemas dalam wadah sederhana seperti gelas mineral dan dijual dalam bentuk mentah.

Pengolahan ungker dilakukan dengan langkah-langkah yang cukup sederhana. Setelah dikumpulkan, ungker dicuci bersih dengan air dan dikeringkan. Kemudian, ungker siap diolah sesuai selera. Salah satu cara paling umum adalah menggorengnya menggunakan minyak kelapa atau minyak sawit. Selain itu, ungker sering dioseng dengan bumbu sederhana untuk dijadikan lauk. Cara pengolahan ini menghasilkan rasa gurih yang disukai banyak orang.

Dari segi kandungan gizi, ungker memiliki nilai nutrisi yang sangat baik. Kandungan proteinnya mencapai lebih dari 45% berat kering, dengan asam amino esensial yang mencapai 40% dari total asam amino. Selain itu, ungker juga mengandung asam lemak tak jenuh dan berbagai vitamin larut lemak, menjadikannya sumber protein hewani berkualitas tinggi. Dengan kandungan lemak yang lebih rendah daripada daging sapi atau ayam, ungker menjadi alternatif pangan sehat.

Meski kaya gizi, ungker juga memiliki risiko alergi yang perlu diperhatikan. Meskipun penelitian tentang alergi pada ungker belum dilakukan, masyarakat yang memiliki alergi terhadap ikan atau serangga sebaiknya berhati-hati sebelum mencobanya. Sensitivitas terhadap protein tertentu dalam ungker bisa memicu reaksi alergi pada beberapa orang.

Keberadaan ungker yang musiman membuatnya menjadi bahan pangan bernilai ekonomi tinggi. Selama musim hujan, daun jati yang menjadi sumber makanan ulat jati tumbuh melimpah, sehingga ungker dapat dipanen dalam jumlah banyak. Pemanfaatan ungker tidak hanya mendukung kebutuhan pangan lokal, tetapi juga memberikan tambahan pendapatan bagi masyarakat sekitar.

Demikian penjelasan lengkap mengenai ulat jati yang tidak bikin gatal serta aman bagi manusia, bahkan untuk dikonsumsi. Semoga bermanfaat!




(par/dil)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads