Fakta-fakta Antraks di Gunungkidul Buntut Makan Sapi yang Sudah Dikubur

Round-Up

Fakta-fakta Antraks di Gunungkidul Buntut Makan Sapi yang Sudah Dikubur

Tim detikJogja - detikJogja
Selasa, 25 Jul 2023 13:20 WIB
Petugas saat mengambil sampel tanah di Pedukuhan Jati, Kalurahan Candirejo, Kapanewon Semanu, Kabupaten Gunungkidul, Rabu (5/7/2023).
Petugas saat mengambil sampel tanah di Pedukuhan Jati, Kalurahan Candirejo, Kapanewon Semanu, Kabupaten Gunungkidul, Rabu (5/7/2023). Foto: Pradito Rida Pertana/detikJateng
Jogja -

Kasus antraks di Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, bikin geger karena menelan korban jiwa dan puluhan orang terpapar. Kasus ini merebak gegara warga Pedukuhan Jati, Kalurahan Candirejo, Kapanewon Semanu, mengkonsumsi sapi yang sudah dikubur.

Kasus antraks di Kapanewon Semanu Gunungkidul ini menjadi kasus pertama di Indonesia pada 2023 ini.

Fakta-fakta Kasus Antraks Gunungkidul

Dihimpun detikJogja berikut fakta-fakta kasus antraks di Gunungkidul:

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Awal Mula Temuan Kasus Antraks

Kasus antraks ini bermula saat Dinas Kesehatan (Dinkes) Gunungkidul mendapat laporan pria berusia 73 tahun terpapar antraks pada 2 Juni. Warga Padukuhan Jati, Kapanewon Semanu, itu dilaporkan meninggal pada 4 Juni.

"Jadi ketika ada laporan dari (RSUP) Sardjito terkait orang meninggal karena antraks kami langsung menlusuri. Yang bersangkutan laki-laki 73 tahun, jadi dia ikut menyembelih dan mengonsumsi daging ternak tersebut," ujar Kepala Dinkes Gunungkidul Dewi Irawaty dikutip dari detikJateng, Jumat (21/7/2023).

ADVERTISEMENT

Puluhan Warga Positif Antraks

Dari laporan itu, Dinkes kemudian melakukan penelusuran terhadap 125 warga sekitar. Hasilnya, ada puluhan warga positif terpapar antraks.

"Dari 125 orang itu, yang positif (antraks) ada 85. Tapi yang bergejala ada 18 orang, gejalanya ada luka, bengkak, ada pula yang diare, pusing-pusing dan sebagainya," imbuhnya.

Sementara, data dari Kementerian Kesehatan RI menyebutkan saat ini tercatat ada 93 orang yang dinyatakan positif antraks.

Konsumsi Daging Sapi Mati

Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan (DPKH) Gunungkidul Wibawanti Wulandari menyebut penyebab merebaknya antraks di padukuhan ini karena mengkonsumsi sapi yang mati mendadak pada akhir bulan Mei lalu.

"Yang dikonsumsi masyarakat ada tiga ekor sapi. Ketiganya sudah sakit dan mati," ujarnya kepada wartawan di Kantor Pemkab Gunungkidul, Rabu (5/7).

Warga Jati bahkan sempat menggali tempat kuburan satu ekor sapi yang mati mendadak. Sapi itu lalu disembelih dan dagingnya dikonsumsi.

"Nah, kita suruh kubur menggunakan SOP tapi sama masyarakat ada yang satu digali lagi dan dikonsumsi. Kalau dua (ekor sapi) lainnya belum sempat dikubur tapi tetap dikonsumsi warga," ujarnya.

Di sisi lain, ada tradisi di warga sekitar soal menyembelih sapi yang sakit atau sekarat lalu dagingnya dijual murah atau dibagikan. Tradisi bernama Brandu ini bertujuan untuk membantu sesama.

Selengkapnya di halaman berikut.

Bakteri Antraks Bertahan Puluhan Tahun

Kepala Bidang Kesehatan Hewan DPKH Gunungkidul Retno Widyastuti menyebut bakteri antraks bisa menjadi spora yang bertahan puluhan tahun di tanah. Penanganannya pun harus khusus dan dengan formalin.

"Spora itu yang tahan puluhan tahun, 40-80 tahun di tanah makanya 1 meter persegi tanah yang terkontaminasi spora direndam dengan 50 liter formalin 10 persen," imbuh Retno.

Sultan Minta Pengawasan Ternak Diperketat

Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X angkat bicara soal merebaknya kasus antraks di Gunungkidul. Sultan meminta petugas pengawas memeriksa ketat ternak-ternak yang masuk ke Jogja.

"Pengawas lalu lintas untuk hewan antar wilayah itu kan ada posnya, sekarang bagaimana petugas itu lebih teliti," kata Sultan di kantornya, Rabu (5/7).

"Kalau kurang tenaga ya ditambah, kalau tenaganya cukup ya bagaimana cara mengawasi. Ya tidak sekedar mengawasi tapi ya memeriksa betul sapi yang lewat," sambung Sultan.

Di sisi lain, Sultan khawatir kondisi ekonomi memaksa warga nekat mengkonsumsi sapi yang mati karena antraks.

"Saya khawatirnya itu tahu kalau sapi itu kena antrax, daripada mati rugi lebih baik dijual, biarpun harganya lebih murah," jelas Sultan.

"Nah kalau gitu ya mesti lebih ketat. Jangan menganggap semuanya yang lewat mesti sehat," lanjutnya.

Gunungkidul 'Langganan' Antraks 5 Tahun Terakhir

Dilansir detikHealth, kasus antraks di Gunungkidul sudah lima tahun dilaporkan ke Kementerian Kesehatan.

"Ini tren kasus antraks di Yogyakarta, jadi kita ada data lima tahun terakhir. Jadi hampir setiap tahun itu ada, meskipun ini belum ada kematian," kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes Imran Pambudi dalam konferensi pers virtual.

Ia menambahkan kasus antraks tertinggi di Jogja terjadi pada 2019 dengan total 31 kasus, disusul tahun 2022 dengan 23 kasus. Namun dari 2019 hingga 2022, belum ada kasus kematian.

Adapun wilayah yang terkena wabah antraks di Jogja antara lain Dukuh Grogol Desa Bejiharjo Kepanewon Kecamatan Karangmojo, Kepanewon Ponjong, Gedangsari, dan Semanu.


Hide Ads