Di balik rimbunnya semak dan kesunyian Desa Kutorenon, Kecamatan Sukodono, ada dinding raksasa bersejarah yang seolah tertidur lelap. Gundukan tanah yang kini nyaris menyatu dengan alam itu dulunya merupakan benteng pertahanan megah seluas 135 hektare, yang menyimpan kisah panjang peradaban masa lampau.
Situs ini dikenal sebagai Situs Biting, jejak autentik dari ibu kota Kerajaan Lamajang Tigang Juru yang pernah dipimpin sosok ahli strategi ulung, Arya Wiraraja. Pada masa kejayaannya di akhir abad ke-13, kawasan ini bukan sekadar benteng biasa, melainkan pusat kekuatan yang disegani di wilayah timur Jawa.
Tembok-tembok kokoh yang dahulu menjadi saksi kejayaan "Majapahit Timur" dalam menguasai wilayah Tapal Kuda hingga Bali, kini tinggal menyisakan jejak sunyi. Perlahan, kemegahan itu terkubur waktu dan perubahan alam, meninggalkan tanda tanya serta tanggung jawab besar bagi generasi yang mewarisi sejarahnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jejak Sejarah Kerajaan Lamajang
Dilansir dari laman resmi Pemkab Lumajang, nama Lumajang berasal dari kata "Lamajang", yang terekam dalam berbagai bukti sejarah seperti Prasasti Mula Malurung, Naskah Negara Kertagama, dan Kitab Pararaton.
Wilayah ini sudah memegang peranan penting sejak masa Kerajaan Kediri (abad XII) sebagai pusat spiritual Hindu karena letaknya di lereng Gunung Semeru yang dianggap suci.
Secara politis, pemerintahan di wilayah ini mulai tercatat jelas pada tahun 1255 Masehi, saat Nararya Kirana dinobatkan sebagai penguasa pertama Lamajang oleh ayahnya, Raja Wisnuwardhana dari Kerajaan Singasari.
Berdirinya Kerajaan Lamajang Tigang Juru sebagai entitas yang besar bermula dari perjanjian politik antara Raden Wijaya (pendiri Majapahit) dan Arya Wiraraja (Adipati Sumenep).
Karena bantuan Arya Wiraraja dalam menumbangkan Jayakatwang dan mendirikan Majapahit, Raden Wijaya memenuhi janjinya untuk membagi wilayah kekuasaan menjadi dua bagian.
Wilayah bagian timur diberikan kepada Arya Wiraraja, yang kemudian dinobatkan sebagai raja Kerajaan Lamajang Tigang Juru pada tanggal 26 Agustus 1294 Masehi dengan pusat pemerintahan di Arnon (sekarang Kutorenon).
Gerbang memasuki Situs Biting di Lumajang Foto: Bappeda Jatim |
Pada masa kejayaannya, Kerajaan Lamajang Tigang Juru merupakan kerajaan otonom yang tidak berada dibawah kekuasaan Majapahit, dan keduanya menjalin hubungan baik.
Wilayah kekuasaan Lamajang sangat luas, mencakup area yang kini dikenal sebagai "Tapal Kuda" (Pasuruan, Probolinggo, Lumajang, Jember, Bondowoso, Situbondo, Banyuwangi), Madura, hingga ke Bali.
Masa pemerintahan Arya Wiraraja dikenal damai dan makmur, serta menjadi awal mula berkembangnya kebudayaan Pandalungan di Jawa Timur.
Susunan batu di Situs Biting di Lumajang Foto: Bappeda Jatim |
Namun, keruntuhan kerajaan ini terjadi akibat intrik politik kejam dari Majapahit pasca wafatnya Arya Wiraraja. Ketika Nambi (putra Arya Wiraraja yang juga Mahapatih Majapahit) pulang ke Lamajang untuk berduka, seorang pejabat licik bernama Halayudha memfitnahnya di hadapan Raja Jayanegara.
Halayudha menyebut bahwa Nambi sedang menyusun pemberontakan, yang memicu serangan mendadak dari Majapahit. Serangan besar ini menewaskan Nambi dan menghancurkan Kerajaan Lamajang pada tahun 1316 Masehi, peristiwa yang dicatat dalam Kitab Negarakertagama.
Runtuhnya Lamajang memicu perlawanan sporadis dari wilayah bawahan seperti Sadeng dan Blambangan yang tidak terima dengan penghancuran tersebut. Setelah era Majapahit berakhir dan kerajaan-kerajaan Islam mulai muncul, wilayah Lumajang akhirnya direbut kembali dan masuk ke dalam kekuasaan Kerajaan Mataram Islam di bawah pemerintahan Panembahan Senopati, melalui penaklukan yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Alap-alap.
Jejak Penemuan Benteng yang Terpendam
Dilansir dari laman Bappeda Jatim, penemuan Situs Biting di Lumajang diyakini sebagai kunci untuk menyingkap keberadaan Kerajaan Lamajang yang selama ini "terpendam".
Situs ini bukan sekadar reruntuhan biasa, melainkan satu-satunya benteng lokal di Nusantara yang diperkirakan merupakan bagian dari ibu kota Kerajaan Lamajang Tigang Juru, yaitu Arnon atau Kutorenon, yang pernah dipimpin Raja Arya Wiraraja.
Lokasi Situs Biting di Lumajang Foto: Bappeda Jatim |
Bukti fisik yang menguatkan dugaan ini adalah temuan tumpukan batu bata berukuran besar (40x20x5 cm) di area situs. Struktur batu bata ini tidak berdiri sendiri, melainkan diduga kuat saling terangkai dan tersambung dengan struktur lain yang masih tertanam di dalam tanah, membentuk kesatuan benteng pertahanan.
Luas area benteng yang sangat kokoh ini diperkirakan mencapai 135 hektar. Penemuan tersebut yang melatarbelakangi penamaan Situs Biting yang berarti "benteng" dalam kosakata Jawa Kuno.
Dikutip dari laman instagram BPK Wilayah XI, jejak fisik benteng ini kini hanya menyisakan dua bangunan pengungakan (menara pantau) yang masih terlihat wujudnya, sementara bagian lainnya telah tertimbun menjadi gundukan tanah.
Kondisi serupa terjadi pada tembok benteng yang menghubungkan antar pengungakan, mayoritas telah menyatu dengan tanah dan hanya menyisakan sedikit struktur bata yang menyembul di beberapa titik.
Meski sebagian besar fisiknya telah terpendam, situs ini memiliki nilai sejarah yang tinggi sehingga resmi ditetapkan sebagai Cagar Budaya peringkat Provinsi berdasarkan SK No. 188/249/KPTS/013/2014.
Penemuan ini menjadi sangat penting bagi upaya membangkitkan kembali sejarah Lumajang yang luar biasa agar dikenal dan dipahami secara utuh. Menyelamatkan Situs Biting bukan sekadar menjaga tumpukan bata kuno, melainkan menjaga identitas dan harga diri sejarah Lumajang agar tidak benar-benar lenyap ditelan bumi.
Artikel ini ditulis Muhammad Faishal Haq, peserta magang PRIMA Kemenag di detikcom.
(ihc/irb)














































