Senjakala Apel di Malang Raya, Petani Berpaling ke Buah yang Lebih 'Manis'

Senjakala Apel di Malang Raya, Petani Berpaling ke Buah yang Lebih 'Manis'

Muhammad Aminudin - detikJatim
Selasa, 05 Apr 2022 11:00 WIB
Apel Malang yang khas hingga Malang Raya mendapat julukan Kota Apel.
Salah satu perkebunan Apel di Malang Raya (Foto: Muhammad Aminudin/detikJatim)
Kota Batu -

Apel yang menjadi ikon Malang Raya bakal hilang seiring kian redupnya produksi Apel Malang. Banyak petani Apel di kawasan Aglomerasi itu yang berpaling ke buah lain dengan alasan biaya lebih murah dan sedikit lebih menguntungkan.

Peneliti Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika (Balitjestro) Kementerian Pertanian Sutopo mengaku khawatir, Malang akan kehilangan ikonnya sebagai Kota Apel bila hal ini tidak ditindaklanjuti dengan serius. Kebutuhan Apel akan digantikan Apel impor yang harganya lebih terjangkau bagi masyarakat.

"Khawatir Malang dan Batu akan kehilangan ikon sebagai Kota Apel. Karena petani banyak pindah menanam jenis buah lain. Karena biayanya lebih murah," kata Sutopo saat berbincang dengan detikJatim, Selasa (5/4/2022).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Sutopo kekhawatiran akan hilangnya identitas Kota Apel bisa segera terjadi apabila petani apel dibiarkan bertahan sendiri tanpa perhatian penuh dari pemerintah. Selama ini petani kelimpungan untuk membiayai perawatan tanaman apel karena mahalnya harga obat atau pestisida.

Padahal, kata Sutopo, menanam apel di wilayah Malang dan Kota Batu bisa panen hingga dua kali dalam setahun. Berbeda dengan di negara asal tempat Belanda membawa apel ke Malang, panen apel hanya bisa satu kali saja dalam setahun.

ADVERTISEMENT

Sutopo melihat, sebenarnya karakter Apel Malang itu merupakan sebuah potensi yang bisa terus dikembangkan. Syaratnya, adanya keseriusan pemerintah menyelamatkan apel sebagai komoditas andalan di Malang Raya.

"Tanaman Apel itu butuh perawatan penuh. Tetapi biaya obat atau pestisida harganya mahal karena barangnya impor. Sementara harga Apel cenderung turun, kalah saing dengan apel impor. Ini memang butuh perhatian serius dari pemerintah untuk mengawal harga apel di tingkat petani," katanya.

Sutopo mengaku banyak petani Apel yang kini beralih menanam buah-buahan lain. Salah satunya menanam Buah Jeruk yang dihitung ongkos produksinya lebih murah dibandingkan biaya perawatan apel.

"Banyak sekarang beralih ke jeruk, karena lebih murah dan harga jualnya sedikit lebih menguntungkan," ujarnya.

Utomo salah satu Petani Apel di Desa Tulungrejo, Kota Batu menambahkan bahwa ongkos perawatan tanaman apel memang cukup mahal dan menjadi beban bagi petani. Untuk perawatan itu perlu adanya penyemprotan obat atau pestisida demi menghalau serangan hama.

"Kalau musim hujan, di mana apel mulai berbunga penyemprotan bisa sampai tiga kali sehari. Satu hektare bisa habis tiga drum dengan satu drum berisi 200 liter obat. Sementara harga obat naik sampai 25 persen," kata Utomo.

Utomo mengungkapkan, untuk satu hektare lahan apelnya dapat memproduksi apel sampai 40 ton untuk jenis Apel Manalagi. Meski jumlah produksi besar, terkadang harga apel di tingkat petani seringkali anjlok hingga Rp 3 ribu/kg-Rp 4 ribu/kg.

"Punya saya satu hektare bisa 40 ton (sekali panen) untuk Manalagi dengan biaya produksi sekitar Rp 60 juta. Kami akan rugi kalau harga Apel jatuh. Kemarin Rp 3 ribu-Ro 4 ribu per kilo untuk Manalagi. Apel Anna hanya Rp 8 ribu, dan Room Beauty tak sampai Rp 10 ribu per kilo," ungkapnya.

Baru pekan ini, kata Utomo, harga apel mulai mengalami kenaikan dan sedikit memberikan harapan bagi petani untuk melanjutkan perawatan tanaman. Saat ini harga apel Manalagi mencapai Rp 8 ribu/kg, Anna Rp 10.500/kg sampai Rp 11 ribu/kg, dan Room Beauty di harga Rp 14 ribu/kg.

"Itu harga petani, tetapi untuk apel yang menentukan harga adalah pedagang. Makanya perlu pemerintah hadir membeli semua apel petani melalui koperasi baru kemudian dijual ke pedagang. Sehingga ada standar harga," katanya.

Terkait ancaman Apel Malang dan Apel Batu akan punah, Utomo juga memiliki kekhawatiran yang sama. Ia khawatir dalam waktu dekat itu bisa terjadi. Ia pun berharap pemerintah bisa memberikan jaminan pascaproduksi. Sehingga petani tak dirugikan dengan anjloknya harga Apel akibat gempuran Apel impor.

"Pemerintah harusnya sediakan cold-stroge dengan daya tampung minimal 50 ton. Apel hasil produksi dibeli dan diletakkan di sana. Kemudian baru dijual kepada pedagang agar tidak rusak. Sentra apel ada tiga. Di Batu, Poncokusumo, dan Nongkojajar. Cukup tiga Pemda menyepakati itu, demi keberlanjutan apel lokal," katanya.




(dpe/iwd)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads