TGIPF Ungkap Autopsi Kanjuruhan Batal gegara Tak Direstui Nenek Korban

TGIPF Ungkap Autopsi Kanjuruhan Batal gegara Tak Direstui Nenek Korban

Muhammad Aminudin - detikJatim
Kamis, 20 Okt 2022 12:05 WIB
TGIPF datangi rumah keluarga korban meninggal Tragedi Kanjuruhan
TGIPF mendatangi keluarga korban Kanjuruhan yang sempat meminta dilakukan autopsi (Foto: Dok. Istimewa/TGIPF Kanjuruhan)
Malang - Pembatalan autopsi dua jenazah korban Tragedi Kanjuruhan menarik perhatian Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF). Mereka pun mendatangi rumah keluarga korban untuk mengklarifikasi adanya dugaan intimidasi dari polisi.

Sebelumnya, Devi Athok (43), warga Bululawang, Kabupaten Malang, mengajukan autopsi bagi dua jenazah putrinya yakni Natasya Deby Ramadhani (16) dan Nayla Deby Anggraeni (13).

Namun, rencana autopsi sedianya digelar Kamis (20/10/2022), mendadak batal, setelah Athok mencabut pengajuan autopsi bagi kedua jenazah putrinya. Pencabutan diputuskan setelah Athok merasa berjuang sendiri tanpa dukungan dari pihak manapun.

Di tengah itu, mengemuka adanya dugaan intimidasi hingga membuat Athok takut dan akhirnya mengurungkan niatnya. TGIPF yang mendengar informasi tersebut kemudian mendatangi Athok, semalam (19/10).

Perwakilan TGIPF dari Kemenko Polhukam, Irjen Armed Wijaya mengatakan, dalam laporan atau klarifikasi yang diterimanya, pembatalan autopsi ternyata bukan karena adanya intimidasi. Tetapi, permohonan autopsi tak mendapat restu dari nenek korban.

"Dipastikan tidak ada intimidasi dari aparat. Namun lebih kepada tidak direstui oleh nenek korban yang keberatan bila dilakukan gali kubur," kata Wijaya, Kamis (20/10/2022).

Ia juga membantah adanya intervensi yang dilakukan aparat kepolisian. "Saya sudah menggali informasi. Alhamdulilah ternyata informasi itu tidak benar (adanya intervensi atau intimidasi)," ujar Wijaya.

Wijaya menjelaskan, keterlibatan dari penyidik Polda Jawa Timur yang sebenarnya melakukan konfirmasi kebenaran adanya pembatalan. Kemudian, pihak penyidik saat itu membantu mengkonsepkan surat pembatalan.

"Keterlibatan anggota pada saat penyidik Polda akan mengkonfirmasi kebenaran pembatalan, diminta oleh keluarga korban membantu konsep surat pembatalan," jelasnya.

Oleh sebab itu, dipastikan oleh Wijaya sebagai perwakilan TGIPF, bahwa pembatalan autopsi murni datang dari pihak keluarga korban sendiri.

"Dari keluarga ini tidak paham (konsep pembatalan), sehingga ada anggota yang menuntunnya cara membuat. Pada dasarnya, setuju atau tidak adalah hak keluarga," tegasnya.

Polisi Bantah Lakukan Intimidasi

Diberitakan sebelumnya, Kapolda Jatim Irjen Toni Harmanto mengungkapkan, batalnya autopsi tersebut bukan keputusan sepihak dari polisi. Toni mengeklaim, keluarga kedua jenazah tersebut tidak berkenan dilakukan autopsi.

"Bagaimanapun untuk pelaksanaan autopsi kita salah satunya meminta persetujuan keluarga dan hasil informasi yang saya peroleh, hingga saat ini keluarga sementara belum menghendaki untuk dilakukan autopsi," ujar Toni kepada wartawan di RS dr Syaiful Anwar (RSSA) Malang, Rabu pagi.

Dengan tidak adanya persetujuan keluarga, kata Toni, maka proses autopsi yang sudah direncanakan terpaksa batal.

Sementara, KontraS menyebut ada upaya intimidasi polisi kepada keluarga korban Tragedi Kanjuruhan agar mencabut pengajuan autopsi. Bahkan, polisi mendatangi keluarga korban Kanjuruhan dengan membawa senjata.

"Kami mendapatkan laporan keluarga korban yang setuju menjalani autopsi didatangi personel kepolisian berseragam lengkap, membawa senjata. Mereka meminta keluarga korban membatalkan pernyataan ketersediaan melakukan autopsi. Meski tidak ada ancaman verbal, ini tetap merupakan bentuk intimidasi secara persuasif," kata Sekjen Federasi KontraS Andy Irfan.


(hil/dte)


Hide Ads