Sebanyak 125 orang tewas saat Tragedi Kanjuruhan pecah, Sabtu (1/10). Sejumlah pihak kemudian dituding menjadi biang kerok peristiwa paling kelabu dalam sejarah sepakbola Indonesia itu.
Tragedi ini berawal saat Arema FC menjamu Persebaya pada pekan kesebelas lanjutan BRI Liga 1. Laga penuh gengsi ini digelar di Stadion Kanjuruhan, Malang, kick off pukul 20.00 WIB.
Laga yang berlangsung sengit ini akhirnya dimenangkan tim tamu, Persebaya dengan skor 2-3. Kemenangan Persebaya ini sekaligus mematahkan rekor selama 23 tahun Persebaya tak pernah menang saat berlaga di Malang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kekalahan ini membawa kekecewaan bagi Aremania. Beberapa suporter kemudian melakukan pitch invander atau masuk ke lapangan dan memicu tragedi paling kelam dalam dunia olahraga.
Publik kemudian menuding sejumlah pihak menjadi biang kerok tragedi yang menelan nyawa 125 orang ini. Pihak-pihak tersebut mulai suporter, polisi, panpel hingga regulator dalam hal ini PT Liga Indonesia Bersatu (LIB). Lalu siapa yang harus bertanggung jawab?
Tudingan suporter yang turun ke lapangan sebagai pemicu tragedi barangkali memang tak salah. Tapi, tak adil juga menyalahkan mereka. Sebab, di manapun, yang namanya suporter jelas menginginkan kemenangan. Apalagi berstatus tuan rumah.
Pendapat yang menyebut suporter kita masih belum dewasa dan tidak mau menerima kekalahan mungkin ada benarnya. Tapi sangat tidak dibenarkan juga memperlakukan mereka dengan cara-cara kekerasan menggebuk hingga melepaskan tembakan gas air mata yang mematikan itu.
Selanjutnya, tembakan gas air mata ini kemudian memunculkan kecaman. Penggunaan gas air mata saat pengamanan sepakbola terutama di dalam stadion sangat tidak diperbolehkan oleh FIFA.
Dalam pernyataannya, Kapolda Jatim menyebut tindakan menembak gas air mata sudah sesuai prosedur. Versi polisi, massa suporter sudah anarkistis dan membahayakan petugas.
"Kami juga lagi mendalami kenapa suporter dan penonton yang tidak puas itu begitu beringas sampai dengan dikeluarkan gas air mata. Namun upaya gas air mata itu sebelumnya didahului dengan imbauan terlebih dahulu. Tolong dipahami. Kita semua tidak menginginkan," ujar Nico usai tragedi.
Tapi pertanyaaannya, apakah suporter di tribun layak ditembaki gas air mata? Penggunaan gas air mata juga diketahui sangat dilarang saat pengamanan di stadion.
Larangan penggunaan gas air mata tertuang dalam FIFA Stadium Safety and Security Regulations. Pada pasal 19 b tertulis, 'No firearms or "crowd control gas" shall be carried or used'. Bunyi aturan ini intinya adalah senjata api atau gas untuk mengontrol kerumunan dilarang dibawa serta digunakan.
Tapi menyalahkan polisi juga sepenuhnya juga tidak bisa. Sebab, mereka juga punya tanggung jawab untuk mengamankan pemain dan ofisial. Terutama pemain dan ofisial tim tamu yang diserang habis-habisan sepulang dari stadion.
Polisi juga sudah berupaya memberikan saran dan pertimbangan mengenai kerawanan laga yang digelar malam. Bahkan, polisi sudah menyampaikan itu jauh-jauh hari ke pihak Panitia Pelaksana (Panpel) dan regulator.
Surat tertanggal 18 September 2022 ditandatangani langsung Kapolres Malang AKBP Ferli Hidayat. Surat ini merupakan rujukan atas surat Panpel Arema FC Nomor:014/PANPEL/ARM/IX/2022 tanggal 12 September 2022 perihal rekomendasi pertandingan dan bantuan keamanan pertandingan sepakbola antara Arema FC vs Persebaya Surabaya.
Dalam rujukan itu, terdapat perkiraan intelijen singkat soal kerawanan laga Arema FC vs Persebaya. Polres Malang meminta laga ini dipercepat ke sore hari dari pukul 20.00 maju menjadi pukul 15.30 WIB. Alasan dalam surat itu disebutkan murni karena keamanan.
Surat permintaan perubahan jadwal itu ditujukan Panpel Arema FC agar mengajukan regulator PT Liga Indonesia Baru. Namun apa jawabannya? PT LIB dalam surat yang diteken Dirut Akhmad Hadian Lukita per 19 September 2022 tegas menolak perubahan jadwal laga.
Sebagai solusinya, PT LIB tetap meminta laga digelar sesuai jadwal dan meminta panpel Arema FC lebih maksimal berkooordinasi dengan pihak keamananan. Seperti diketahui bersama, sebanyak 3.034 personel disiagakan untuk mengamankan 40 ribu suporter dalam laga itu.
Panpel sendiri dalam sebuah pernyataan Menko Polhukam Mahfud Md juga disebut sebagai pihak yang turut bertanggung jawab. Mahfud menyebut kapasitas stadion yang hanya 38 ribu namun mencetak tiket hingga 42 ribu.
Dan seperti yang kita lihat sendiri, kombinasi suporter yang semaunya sendiri, panpel yang serakah, aparat yang represif, dan regulator PT LIB yang sembrono dan broadcaster yang menuhankan rating telah membuat korban 125 nyawa melayang.
Kini kita tinggal menunggu janji Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk mengusut tuntas Tragedi Kanjuruhan. Publik sangat berharap tragedi paling kelam sepakbola Indonesia ini tidak terulang lagi. Semoga nyawa yang hilang buntut tragedi ini benar-benar dipikirkan oleh seluruh stakeholder negeri ini. Doa untuk suporter yang telah tiada. Al Fatihah!