Mahkamah Konstitusi (MK) mengubah Pasal 40 Ayat (1) UU Pilkada soal syarat partai politik mengusung calon di Pilkada. Putusan tersebut direspons positif banyak pihak karena bisa menggagalkan adanya kotak kosong.
Pakar politik Universitas Brawijaya (UB) Wawan Sobari mengatakan, putusan MK dalam merevisi Undang-Undang Pilkada menjadikan kans partai politik mengusung calon kepala daerah tanpa ambang batas lebih besar.
Karena dari beberapa daerah di Indonesia yang melakukan Pilkada serentak, tak hanya di Jakarta saja yang berpotensi melawan kotak kosong menjadi tipis.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"(Calon kepala daerah) Melawan kotak kosong ini tidak hanya di Jakarta saja, tapi ada beberapa daerah termasuk di Jawa Timur, ada beberapa kota kabupaten lainnya juga," ucap Wawan Sobari kepada wartawan, Rabu (21/8/2024).
Wawan menilai metode ambang batas mencalonkan kepala daerah dengan ambang batas 25 persen di legislatif, memberi angin segar. Sebab politik kalkulasi yang diusung Koalisi Indonesia Maju (KIM) memang beresiko mencederai demokrasi, meski secara aturan diperbolehkan.
"Kembali dalam kompetisi politik kalkulasi (koalisi besar Indonesia Maj secara etik merugikan masyarakat, bagaimana bisa kotak kosong melawan gagasan, kalau tidak setuju menjadi hitam, padahal Pancasila itu kan mensyaratkan musyawarah," ujar Dosen Ilmu Politik di Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Brawijaya (UB) ini.
Karena itu, lanjut Wawan, keputusan MK menganulir ambang batas partai politik (parpol) membuat kesempatan parpol di luar KIM, termasuk PDI Perjuangan menjadi besar. Apalagi PDIP di beberapa daerah kabupaten kota hingga provinsi, mulai dari Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, bisa mengusung calon kepala daerah sendiri.
"Partai yang masih berbeda dengan KIM plus itu PDIP, yang berbeda utama di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, DKI Jakarta, itu bisa mengusung sendiri," pungkasnya.
(abq/iwd)