Mahkamah Konstitusi (MK) mengubah Pasal 40 Ayat (1) UU Pilkada soal syarat partai politik mengusung calon di Pilkada. Putusan ini juga memberikan peluang bagi parpol non kursi untuk berkoalisi mengusung calon di Pilkada November 2024 mendatang.
Pakar hukum tata negara Universitas Brawijaya (UB) Aan Eko Widiarto mengatakan putusan MK yang mengubah UU Pilkada tentunya memberikan angin segar bagi pelaksanaan Pilkada serentak di seluruh daerah.
Di sisi lain, keputusan MK terhadap perubahan UU Pilkada juga memberikan keuntungan bagi partai non kursi di DPRD, selain calon perseorangan, apabila menyepakati bersinergi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Partai politik yang tak memiliki kursi di DPRD, akan bisa berkoalisi untuk memenuhi ambang batas perolehan suara sah, dalam mengusung calon.
Aan menambahkan kesempatan sama juga dimiliki oleh calon independen atau perseorangan dengan menggunakan suara dukungan masyarakat yang dimiliki.
"Ini sebenarnya angin segar bagi pilkada semua daerah, ada yang terpengaruh yang pertama adalah dari parpol yang kedua dari calon peseorangan. Kalau dari partai politik jelas, parpol non kursi bisa koalisi sampai memenuhi jumlah suara sah sehingga mereka bisa mengajukan calon," ujar Aan kepada wartawan, Rabu (21/8/2024).
"Bagi perseorangan sebenarnya bisa menggunakan cara ini juga, karena mereka sudah punya dukungan dari masyarakat. Kalau non kursi kan gak punya calon nah dari perseorangan bisa menjadi calonnya," sambungnya.
Namun menurut Aan, hal terpenting dari keputusan MK adalah rakyat kembali bisa menyalurkan hak suara sesuai dengan pilihannya. Tidak akan ada lagi calon yang sengaja di-setting untuk diajukan sehingga masyarakat tidak mempunyai pilihan dan akhirnya golput.
"Putusan mahkamah ini juga menghadang apa namanya oligarki politik. Rakyat bisa menentukan pilihan untuk menggunakan hak suara. Settingan bumbung kosong sempat mencuat kini ambyar dengan keputusan mahkamah ini," tegas dosen Fakultas Hukum UB ini.
Menurut Aan, MK telah menurunkan ambang batas syarat partai politik mengusung bakal calon di Pilkada demi menjaring demokratisasi yang lebih besar.
"Sekarang dihitung dari suara sah, bukan perolehan jumlah kursi di DPRD atau 20 persen. Untuk bisa usung calon. Karena paradigmanya MK sekarang menurunkan standar pencalonan dalam rangka menjaring demokratisisasi yang lebih besar," tuturnya.
Adanya keputusan MK ini akhirnya mengubah peta politik jelang Pilwali Kota Malang. Partai politik yang tak memiliki kursi di DPRD Kota Malang tengah menyamakan visi untuk mengusung calon sendiri.
"Kami dari perkumpulan partai non seat sangat bangga dan apresiasi kepada MK karena suara masyarakat yang milih partai kita dihargai," ujar Ketua DPC PPP Kota Malang Makhrus Sholeh.
Makhrus menambahkan dengan persentase yang dari sebelumnya 20 persen syarat bisa mengusung calon kepala daerah menjadi 10 persen sampai 6.5 persen sesuai jumlah penduduk di suatu daerah.
Menjadi banyak pilihan calon kepala daerah yang di tawarkan ke masyarakat, dengan harapan bisa mendapat pimpinan kepala daerah yang sesuai harapan masyarakat
"Kita intens koordinasikan dengan para pimpinan partai non kursi di DPRD Kota Malang, bagaimana keputusan bersama untuk Kota Malang yang lebih baik," tegasnya.
Setidaknya ada 9 parpol yang tak memiliki kursi di DPRD Kota Malang berdasarkan hasil Pemilu 2024 lalu, dengan total suara sah 31.879 suara.
Mereka adalah Partai Buruh 3.323 suara, Partai Gelora 1.480 suara, Partai Bulan Bintang 1.040 suara, Partai Perindo 10.829 suara, PPP 10.294, Partai Ummat 2.149 suara, Partai Hanura 914 suara, Partai Kebangkitan Nusantara 904 suara, dan Partai Garda Republik Indonesia 946 suara.
(mua/iwd)