Tulungagung dikenal sebagai daerah yang kaya akan tradisi unik yang masih bertahan hingga sekarang. Selain ritual manten kucing yang dipercaya sebagai pemanggil hujan, daerah ini juga memiliki tradisi lain dengan tujuan serupa, yakni Tradisi Tiban.
Tradisi yang berkembang di Desa Wajak, Kecamatan Boyolangu, Kabupaten Tulungagung ini merupakan bentuk kesenian rakyat yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.
Meski awalnya dilakukan sebagai ritual sakral untuk memohon turunnya hujan, kini Tradisi Tiban mengalami pergeseran fungsi seiring perubahan zaman. Tradisi ini tidak lagi semata-mata digelar untuk kebutuhan adat, tetapi juga berkembang menjadi atraksi budaya yang memperkaya identitas masyarakat Wajak.
Kendati fungsinya berubah, ciri khas dan unsur ritual di dalamnya tetap dipertahankan sehingga nilai budayanya tidak hilang.
Asal-usul Tradisi Tiban
Dalam jurnal "Bentuk dan Fungsi Kesenian Tiban Di Desa Wajak Kecamatan Boyolangu Kabupaten Tulungagung" karya Dera Vernanda Willya Putri, Tiban adalah kesenian adu kekuatan daya tahan tubuh dengan cambuk. Cambuk tersebut terbuat dari sada aren yang ditelampar menjadi satu dan dinamakan ujong. Istilah tradisi ini ada pada masa Adipati Nilo Suwarno atau Surontani ke II. Tradisi ini sudah ada sejak abad ke-15.
Dikisahkan, Tumenggung Surotani II murka mendapat kabar putrinya, Dewi Roro Pilang mengandung di luar pernikahan. Sang putri mengaku dihamili Gusti Panembahan. Surotani II yang murka lantas meminta pertanggungjawaban Gusti Panembahan melalui utusannya. Sembari menunggu kabar, ia menggelar hiburan rakyat melalui pertunjukan adu kekuatan bernama Tiban.
Pertunjukan ini menjadi strategi Tumenggung Surotani II mencari prajurit yang tangguh, apabila sewaktu-waktu menghadapi serangan.
Bersamaan dengan pertunjukan itu, daerah Wajak Tulungagung pada masa itu dilanda kekeringan. Hal itu membuat para warga bersama-sama memanjatkan doa kepada Yang Maha Kuasa agar diturunkan hujan sekaligus meminta diberi kekuatan kepada para prajurit. Dengan syarat berupa persembahan jenang seribu atau dawet serta pengorbanan tetes darah dari lecutan ujong (kesenian tiban) sebagai bahan persembahan. Dari situlah, kesenian Tiban ini muncul.
Perkembangan Kesenian Tiban Dari Masa ke masa
Kesenian Tiban telah berkembang seiring dengan perubahan masyarakat. Berikut rinciannya:
a) Masa Penjajahan Belanda
Kesenian Tiban di masa penjajahan Belanda masih terus dilestarikan karena mendapat dukungan penuh dari pemerintah Belanda. Terdapat dua alasan mengapa kesenian ini mendapat dukungan dari pemerintahan Belanda.
Pertama, karena kesenian ini dimanfaatkan Belanda sebagai alat adu domba. Kedua, adanya kekuatan magis yang dihasilkan dari kesenian ini berupa turunnya hujan.
b) Masa Kini
Kesenian Tiban masih terus dilestarikan hingga masa kini. Kesenian ini digelar ketika memasuki musim kemarau. Masyarakat Wajak meyakini kesenian Tiban dapat menjadi perantara meminta hujan.
Selain itu, tradisi ini juga biasa digelar pada bulan Suro. Umumnya, digelar di siang hari sekitar pukul 12:30 WIB. Berlokasi di tanah lapang dengan panggung terbuka berbentuk lingkaran.
Baca juga: Cethe Tulungagung: Kopi, Rokok dan Seni |
Pergeseran Fungsi Tiban
Kesenian Tiban di masa lalu hanya berfungsi sebagai ritual kepercayaan untuk mendatangkan hujan. Namun, seiring berjalannya waktu, kesenian Tiban juga digunakan sebagai sarana hiburan.
1. Kesenian Tiban Sebagai Sarana Eksistensi Diri
Fungsi kesenian Tiban di Desa Wajak sebagai sarana eksistensi diri memang menjadi pembeda dengan daerah lain. Kesenian ini digunakan masyarakat Wajak sebagai pemuas dari sejumlah naluri, seperti kenyamanan, keamanan dan rekreasi.
Kenyamanan yang dimaksud di sini berupa banyaknya luka yang didapat para peniban. Karena semakin banyak luka, semakin menandakan kesaktian. Sedangkan keamanan didasarkan pada keyakinan mereka bahwa pengorbanan yang telah dilakukan akan mendatangkan kemakmuran (hujan). Sementara rekreasi menjadi bentuk relaksasi kejiwaan para peniban.
2. Kesenian Tiban Sebagai Aktivitas Hiburan
Kesenian Tiban berkembang menjadi sarana aktivitas hiburan. Sebab kesenian ini memiliki gerakan tari yang spontanitas dan improvisasi pada penari Tiban. Selain itu, adanya gerakan gecul (lucu), seperti melenggut-lenggut dengan ekspresi lucu seringkali membuat penonton tertawa saat menyaksikan.
3. Kesenian Tiban Sebagai Nilai Estetik
Kesenian Tiban berkaitan dengan nilai estetika yang terletak pada gerakan tarinya. Gerakan dan lecutan yang diciptakan menjadi bentuk pengorbanan kepada bumi pertiwi dengan harapan turunnya hujan.
Gerakan Kesenian Tari Tiban
Mengutip dari beberapa sumber, kesenian Tiban memiliki beberapa gerakan.
Gerakan Mlaku (Berjalan)
Gerakan ini berjalan untuk mendekati lawan sembari menikmati suara gendhing yang mengiringinya. Selama melakukan gerakan ini, para penari tiban harus selalu waspada pada serangan lawan.
Gerakan Mecut
Gerakan ini dilakukan dengan mencambuk atau mecut lawan dengan lidi aren yang diikat.
Gerakan Ancang-ancang
Gerakan ancang-ancang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai gerakan persiapan. Maksudnya, bersiap sebelum menangkis cambukan lawan. Posisinya mencondongkan tubuh ke depan dengan pasang kuda-kuda. Tangannya bersiap memegang cambuk untuk menangkis lawan.
Ngece
Ngece berarti mengejek. Dalam kesenian Tiban, peniban menunjukkan raut wajah mengejek ke arah lawan sebagai upaya memanas-manasi lawan. Selain itu, terdapat juga gerakan lain seperti mbabat dan petrukan. Mbabat sama seperti petani memangkas rumput. Sementara petrukan berarti gerakan meniru petruk dalam tokoh wayang.
Artikel ini ditulis Eka Fitria Lusiana, peserta magang PRIMA Kemenag di detikcom.
Simak Video "Video: Jalan Penghubung 2 Desa di Tulungagung Putus Akibat Longsor"
(ihc/hil)