Menelusuri Asal Mula dan Nilai-nilai Tradisi Manten Kucing di Tulungagung

Menelusuri Asal Mula dan Nilai-nilai Tradisi Manten Kucing di Tulungagung

Eka Fitria Lusiana - detikJatim
Rabu, 26 Nov 2025 12:15 WIB
Ritual manten kucing.
Ritual Manten Kucing/Foto: Kemdikbud
Tulungagung -

Tulungagung dikenal sebagai daerah yang kaya akan tradisi dan warisan budaya Jawa yang masih lestari hingga hari ini. Salah satu tradisi yang paling menarik perhatian adalah Manten Kucing.

Tradisi ini merupakan ritual unik yang sejak berabad-abad lalu dipercaya sebagai cara masyarakat untuk memohon turunnya hujan saat kemarau panjang. Meski terdengar sederhana, tradisi ini sarat makna dan telah menjadi bagian penting dari identitas budaya warga Desa Pelem, Kecamatan Campurdarat.

Seiring perjalanan waktu, pelaksanaan Manten Kucing tidak hanya dipandang sebagai ritual sakral untuk meminta hujan, tetapi juga berkembang menjadi pertunjukan budaya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kini, tradisi tersebut sering ditampilkan dalam berbagai festival, termasuk rangkaian peringatan hari jadi Kabupaten Tulungagung. Perubahan ini justru menjadikan Manten Kucing semakin dikenal luas sebagai bagian dari kekayaan budaya lokal yang patut dilestarikan.

Makna dan Fungsi Ritual Manten Kucing

Mengutip dari disperpusip.jatimprov, Manten Kucing merupakan ritual yang ditujukan untuk memohon turunnya hujan, terutama saat musim kemarau berkepanjangan. Tradisi ini diyakini oleh masyarakat Desa Pelem, Kecamatan Campurdarat, dan dilaksanakan setahun sekali oleh warga bersama pemerintah desa.

ADVERTISEMENT

Menurut Perpustakaan Digital Budaya Indonesia, tradisi Manten Kucing telah ditetapkan sebagai salah satu warisan budaya tak benda yang terus dijaga eksistensinya di Kabupaten Tulungagung.

Asal Usul Tradisi Manten Kucing

Tradisi ini memiliki kisah asal-usul yang diyakini telah berlangsung selama ratusan tahun. Pada masa lalu, Desa Pelem pernah dilanda kekeringan hebat hingga warga kesulitan mendapatkan air. Saat itu, Eyang Sankrah, tokoh yang membabat atau membuka wilayah Desa Pelem, hendak mandi di Telaga Coban.

Ia membawa serta kucing kesayangannya, Candramawa. Tidak lama setelah memandikan kucing tersebut, hujan deras turun dan mengakhiri kekeringan panjang. Peristiwa inilah yang kemudian dipercaya sebagai cikal bakal munculnya tradisi Manten Kucing.

Perkembangan Tradisi dari Masa ke Masa

Tradisi Manten Kucing terus mengalami perkembangan dari masa ke masa. Berakar dari kepercayaan masyarakat agraris untuk memohon hujan, ritual unik ini hadir dalam bentuk yang lebih modern tanpa meninggalkan nilai sakralnya.

1. Sebelum Tahun 2001

Pada masa awal sejarahnya, istilah "Manten Kucing" belum dikenal. Sebutan ini mulai muncul pada masa Demang Sutomedjo yang menerima wangsit melaksanakan ritual ngedus kucing bersama perangkat desa. Sejak saat itu, masyarakat Desa Pelem rutin melaksanakan ritual tersebut setiap kali kemarau panjang melanda.

2. Periode 2001-2013: Tradisi Menjadi Festival

Perkembangan signifikan terjadi pada tahun 2001 ketika Kepala Desa Nugroho Agus mulai memperkenalkan ritual ini sebagai bagian dari festival kebudayaan tingkat kabupaten dan provinsi.

Ritual yang sebelumnya bersifat sakral kemudian dikemas dalam bentuk pertunjukan seni menyerupai drama dengan tambahan tari-tarian, sehingga lebih mudah dinikmati masyarakat luas.

3. Pergeseran Fungsi 2001-2013

Sebelumnya, Manten Kucing hanya digelar di Telaga Coban atau Coban Krama sebagai upacara adat sakral. Namun sejak 2001, tradisi ini semakin populer dan menjadi agenda rutin dalam rangka memperingati hari jadi Kabupaten Tulungagung.

Pada tahun 2010, festival Manten Kucing bahkan diikuti 19 peserta dari berbagai kecamatan. Upaya ini dilakukan untuk memperkenalkan tradisi lokal kepada generasi muda sekaligus melestarikannya sebagai ikon budaya daerah.

Tata Cara Pelaksanaan Ritual Manten Kucing

Tata cara pelaksanaan ritual Manten Kucing memiliki urutan prosesi yang khas dan sarat makna. Melansir dari situs Kemendikbud, tradisi ini dilakukan melalui beberapa tahapan yang menggambarkan harapan masyarakat terhadap kesuburan dan turunnya hujan.

Setiap tahap ritual dijalankan dengan aturan tertentu, menjadikannya sebagai warisan budaya yang tetap dijaga hingga kini. Berikut tata cara pelaksanaan ritual Manten Kucing.

Mengarak Sepasang Kucing Condromowo

Sepasang kucing jantan dan betina dimasukkan ke dalam keranji. Mereka kemudian diarak keliling desa oleh sepasang laki-laki dan perempuan yang mengenakan busana pengantin adat Jawa, didampingi para tokoh masyarakat.

Pemandiannya

Kedua kucing dimandikan menggunakan air telaga yang diberi taburan bunga sebagai simbol penyucian.

Prosesi di Pelaminan

Setelah dimandikan, kucing dibawa ke pelaminan yang telah dipenuhi sesajen. Sepasang pengantin manusia duduk di pelaminan sambil memangku kedua kucing tersebut.

Pembacaan Doa

Sesepuh desa memimpin doa sebagai permohonan agar hujan segera turun.

Selametan dan Ujub

Setelah prosesi selesai, warga mengadakan selametan dan membacakan ujub atau doa keselamatan.

Tiban

Acara ditutup dengan Tiban, yaitu tarian tradisional di mana dua laki-laki bertelanjang dada saling mencambuk menggunakan lidi aren, sebagai simbol permohonan berkah alam.

Perlengkapan yang Digunakan dalam Ritual

Ritual Manten Kucing tidak terlepas dari berbagai perlengkapan khusus yang memiliki simbol dan fungsi masing-masing. Setiap benda yang digunakan dipercaya memperkuat makna dan tujuan pelaksanaan tradisi.

Mulai dari sarana untuk memandikan kucing hingga perlengkapan sesaji. Kelengkapan inilah yang menjadikan prosesi Manten Kucing semakin sakral dan penuh nilai budaya. Berikut daftarnya.

  • Jarik atau kain panjang: untuk menggendong kucing.
  • Tiban: alat untuk menggiring kucing selama prosesi.
  • Ujung aren: digunakan dalam tarian Tiban.
  • Bunga: untuk menghias tubuh kucing.
  • Pakaian pengantin kucing: sebagai simbol pernikahan.
  • Minyak harum: untuk mengharumkan tubuh kucing.
  • Sesajen: sebagai perlengkapan doa dalam upacara.

Nilai-nilai yang Terkandung dalam Tradisi Manten Kucing

Tradisi Manten Kucing menyimpan beragam nilai penting yang mencerminkan kearifan lokal masyarakat. Tidak hanya sebagai ritual untuk memohon hujan, tradisi ini juga mengandung dimensi pendidikan dan sosial yang memperkuat hubungan antarwarga.

1. Nilai Pendidikan

Tradisi ini mengajarkan pentingnya melestarikan warisan budaya lokal. Generasi muda dapat mempelajari sejarah, makna, serta simbol-simbol dalam upacara adat khas Tulungagung.

2. Nilai Kesejahteraan

Bagi masyarakat, Manten Kucing bukan sekadar ritual, tetapi juga harapan akan turunnya hujan untuk menunjang kebutuhan pertanian dan kehidupan sehari-hari saat kemarau panjang

Artikel ini ditulis Eka Fitria Lusiana, peserta magang PRIMA Kemenag di detikcom.




(ihc/irb)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads