Warga Ngajum, Kecamatan Balesari, Kabupaten Malang berbondong-bondong mendatangi SPKT Polda Jatim. Mereka mengaku menjadi korban dan melaporkan dugaan kasus mafia tanah di Malang.
Dari pantauan detikJatim, ada 20 warga Ngajum yang memadati SPKT Polda Jatim. Warga yang berprofesi sebagai petani tebu melaporkan dugaan pemalsuan sertifikat tanah yang dimiliki.
Salah satunya adalah Ponidi. Kepada awak media, ia mengaku terkejut begitu mendapat surat somasi dari seseorang yang mengaku sebagai pemilik lahannya. Padahal, ia memiliki Sertifikat Hak Milik (SHM) secara resmi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Awal mula saya tahunya ada dugaan pemalsuan itu karena dapat surat ancaman dari saudara SE yang mengaku memiliki SHM. Setelah saya cek di BPN, sertifikat yang dia sebut itu lokasinya persis di atas tanah saya," kata Ponidi saat ditemui awak media di Polda Jatim, Rabu (24/9/2025).
Ponidi mengaku tanahnya memiliki sejarahnya singkat namun memiliki usia yang panjang. Mulanya, ia membeli dari pemegang hak garap di tahun 2000.
"Tanah itu asalnya tanah kelebihan maksimum seluas 73 hektare. Kemudian tanah itu dibagikan kepada masyarakat setempat sebanyak 65 KK, 1 orang ada yang dapat 1 sampai 1.5 hektar. Lalu, yang menjual ke saya ada 2 orang yang kebetulan memiliki hak garap itu dan saya merasa lega sudah membeli karena mereka bisa menunjukkan ke saya ada faktur tagihan dari negara," ujarnya.
"Maksudnya adalah kalau faktur tagihan tadi ditebus oleh pemegang hak, dia akan memiliki tanah itu dan bukan sekadar sebagai penggarap. Sayangnya bapak 2 itu belum sampai menebus, sehingga saat saya membeli hak garap disertai faktur tadi saya dengan cepat memperoleh sertifikat setelah mengurus ke BPN," imbuhnya.
Dari situ lah, kemudian baru diketahui Ponidi muncul sertifikat baru. Ia pun terkejut dan bingung. Kemudian, berdiskusi dengan warga lain yang rupanya juga mengalami hal serupa.
"Di luar dugaan kami dan saya kaget saat terima surat (somasi). Jadi surat tahu-tahu muncul tahun 2024 sertifikatnya, tapi suratnya (somasi) saya terima tanggal 25 Juli 2025," paparnya.
Sampai sekarang, Ponidi mengklaim dirinya masih menggarap dan menguasai secara legal sejak tahun 2000. Namun, pemilik lama hanya memiliki hak garap.
Dalam surat somasi tersebut, Ponidi disebut menguasai lahan orang lain. Padahal, ia memiliki legalitas resmi secara SHM.
Usai hal itu, ia bersama warga yang mengalami hal serupa melaporkan ke polisi terkait hal itu. Bahkan, ia merasa terganggu dan terhina dengan adanya somasi yang menurutnya tak berdasar.
"Saya dituduh menguasai lahan orang lain dengan kualifikasi melawan hukum, ini kan keterlaluan, saya ya marah dan jengkel, terus terang saya terganggu dan merasa terhina," tuturnya.
Ia menilai, mafia tanah menjadi ancaman serius yang dapat merugikan masyarakat, pemerintah, dan negara. Praktik mereka dianggap tak hanya berdampak pada kepemilikan tanah secara perorangan, tapi juga mengganggu stabilitas hukum, ekonomi dan sosial.
Ponidi berkisah, perkebunan tebu yang telah dikuasai secara resmi oleh warga Ngajum, Kecamatan Balesari, Kabupaten Malang selama 30 tahun. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya tanda bukti kepemilikan sah hak atas tanah, berupa Sertifikat Hak Milik yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Malang sejak tahun 1994.
Setiap tahunnya, warga rutin membayar PBB, kini pada tahun 2024 di atas tanah yang mereka kuasai dan miliki tersebut BPN Kabupaten Malang telah menerbitkan SHM atas nama orang lain. Menyadari atas tanah perkebunan tebu milik mereka terancam oleh pihak-pihak yang diduga sebagai mafia tanah tersebut, akhirnya warga berbondong-bondong mendatangi Ruang SPKT Polda Jatim untuk membuat laporan pidana.
Sementara itu, pengacara warga Ngajum, Masbuhin menjelaskan, sejak Jumat (19/9/2025) ia melakukan identifikasi serta check and re-check kebenaran atas cerita para warga tersebut. Menurutnya, terdapat puluhan hektar tanah perkebunan tebu milik para warga yang sudah lama dikuasai dan dimiliki oleh mereka dengan tanda bukti kepemilikan hak atas tanah, berupa sertifikat hak milik.
"Tetapi sekarang di atas tanah yang sama juga pada tahun 2024 telah diterbitkan SHM baru alias double Sertifikat atau Sertifikat ganda. Untuk sementara yang melapor ke kantor kami baru kurang lebih 20-an warga, dengan luas tanah total kira kira 15 hektar," ungkap Masbuhin.
Ia menduga masih ada sekitar 30-an warga lagi yang belum melapor bahwa dirinya menjadi korban mafia tanah. Dirinya menduga mafia tanah tersebut telah menggunakan cara-cara untuk merebut atau mengklaim tanah milik warga ini secara illegal dengan modus operandi yang digunakan adalah diduga dengan memalsukan dokumen untuk proses sertifikasi melalui program PTSL, dengan berkolusi melalui oknum aparat atau pejabat terkait, sehingga bisa diterbitkan Sertifikat Hak Milik Ganda.
"Contohnya warga atas nama Tarimin, dia sudah menguasai dan memiliki lahan perkebunan sejak tahun 1993, dengan Sertifikat Hak Milik Nomor 603 dengan luas 4.630 mΒ², tiba-tiba diatas tanah perkebunan dia sekarang ini, muncul dan terbit SHM baru dari BPN Kabupaten Malang pada tanggal 31 Juli 2024, Sertifikat Nomor 01049, atas nama MSE dengan menggabungkan luas tanah milik 3 warga termasuk Tarimin," jelasnya.
Selain itu, pada tanah SHM Nomor 173 atas nama Soekari Poerwanto juga diduga telah dipalsukan usai dijual sejak tahun 2013 kepada Sri Rahayu dengan Akta Jual Beli (AJB) di hadapan PPAT setempat Nomor 134/2013. Tiba tiba, di atas tanah tersebut pada tahun 2024 ternyata diterbitkan SHM baru dengan Nomor 02148 atas nama MDZ yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Malang.
"Masih banyak lagi modus modus kejahatan serupa dan memiliki pola yang sama. Atas dasar itulah, hari ini warga kami dampingi dalam proses laporan pidana di unit SPKT Polda Jatim, sehingga langsung dimulai pemeriksaan saksi-saksi secara cepat dan profesional oleh Para Penyidik Polda Jatim dengan nomor Laporan Polisi teregister Nomor : LP/B/1197/VIII/2025/SPKT/POLDA JAWA TIMUR," sambungnya.
Masbuhin berharap kajaran penyidik Ditreskrimum Polda Jatim segera dapat membongkar kasus mafia tanah yang meresahkan warga Malang. Serta bisa menyeret pihak-pihak yang menjadi Dader atau pelaku utama, Doen Pleger atau Penyuruh, Medepleger atau Turut melakukan, dan Medeplichtige atau Pembantu, termasuk sponsorship atau pendana alias bandarnya.












































