Sebanyak 15 sertifikat tanah milik warga Desa Dadapan, Kecamatan Solokuro, Lamongan tiba-tiba berpindah nama. Kejadian ini diketahui saat warga pemilik mengurus program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).
Saat pengurusan itu lah, panitia PTSL menyebut sertifikat dinyatakan berstatus K4 kategori bidang tanah bermasalah. Temuan ini otomatis membuat warga pemilik sertifikat bingung.
Belasan warga kemudian mendatangi Polres Lamongan dengan didampingi penasihat hukum, Naning Erna Susanti, Jumat (8/8). Warga menduga tanah mereka berstatus K4 kategori bidang tanah bermasalah oleh panitia PTSL karena telah berpindah nama ke pihak lain.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Warga mempertanyakan kejelasan status sertifikat yang mereka ajukan sebab dinyatakan K4 oleh panitia PTSL dan diduga telah berpindah nama. Warga datang ke Polres Lamongan untuk mencari keadilan untuk mengetahui di mana sertifikat mereka sekarang," kata Naning.
Menurut Naning, saat pengurusan PTSL ini lah sertifikat mereka dikembalikan oleh panitia. Padahal semua persyaratan sudah dipenuhi oleh pemilik sertifikat.
"Semua persyaratan sudah dipenuhi, biaya sudah dibayarkan sesuai ketentuan, namun tiba-tiba dinyatakan K4 tanpa penjelasan yang jelas dan dikembalikan," ujarnya.
Naning menyebut, tanah warga yang dinyatakan K4 tersebut dengan luas lebih dari 2 hektar. Pihaknya, belum tahu pasti alasan penetapan K4 ini.
Untuk itu, pihaknya kemudian lapor ke polisi untuk memastikan apakah tanah-tanah tersebut sudah bersertifikat atau belum. Pihaknya juga sudah melakukan konfirmasi ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan juga pemerintah desa yang cukup terbuka, termasuk penyediaan bukti dan keterangan terkait status K4.
"Kami berharap ada transparansi penuh, sehingga bisa diketahui siapa yang saat ini terdaftar sebagai pemilik sertifikat dan siapa yang melakukan perubahan tanpa sepengetahuan pelapor," paparnya.
Sementara, salah satu warga, Mudzakir menceritakan, permasalahan ini bermula sekira tahun 2013. Ketika itu, sekelompok orang datang ke Desa Dadapan menawarkan pembelian lahan milik warga.
"Waktu itu kami menolak karena tanah ini warisan dari orang tua dan tidak ada transaksi jual beli yang terjadi," kata Mudzakir.
Pada tahun 2017 hingga 2018, diketahui sertifikat tanah telah diterbitkan atas nama orang lain tanpa sepengetahuan pemilik sah. Hal ini baru terungkap saat warga mendaftarkan tanah mereka dalam program PTSL pada 2023, dan didapat informasi bidang tanah mereka telah bersertifikat atas nama pihak lain.
"Warga tidak mengetahui proses penerbitan tersebut hingga mendaftar program PTSL pada 2023. Kami kaget, karena saat mendaftar PTSL ternyata tanah sudah tercatat milik orang lain," ujar Mudzakir.
Akibat kejadian tersebut, sekitar 2 hektare tanah milik warga kini diduga telah berpindah kepemilikan. Para korban menuntut agar aparat penegak hukum baik dari kepolisian, kejaksaan hingga Kementerian ATR/BPN segera turun tangan untuk mengusut dugaan mafia tanah di wilayah mereka.
"Kami hanya ingin keadilan. Kami tidak tahu bagaimana bisa tanah kami tiba-tiba milik orang lain. Kami mohon agar sertifikat kami bisa dikembalikan," ujar Mudzakir.
Kasi Humas Polres Lamongan Ipda M Hamzaid membenarkan pihaknya telah menerima aduan dari masyarakat terkait permasalahan sertifikat yang telah berganti nama tersebut.
"Iya, laporan pengaduan masyarakat tersebut barusan diterima Polres Lamongan," tandas Hamzaid.
(dpe/abq)