Emi Lailatul Uzlifah didakwa menggunakan KTP, KK dan surat kematian palsu untuk mengurus isbat atau pengesahan nikah untuk menguasai sebagian warisan suaminya yang sudah meninggal. Melalui pengacaranya, ia menampik tuduhan tersebut.
Penasihat Hukum Emi, Muhamad Zulfan mengatakan kliennya mengurus pengesahan (isbat) nikah atas permintaan mendiang Handika Susila. Permintaan itu disampaikan ke Emi sekitar 2-3 bulan sebelum Handika meninggal. Emi dan Handika menikah secara siri pada 13 September 2009. Handika meninggal di Kota Malang pada 26 Agustus 2021.
"Karena permintaan Handika yang meminta Bu Emi meresmikan pernikahan mereka. Sampai sekarang buku nikahnya masih ada. Maka kami sayangkan ada pihak yang menuduh Bu Emi pelakor. Buku nikah itu sempat digugat oleh Nina Farida sampai MA, tapi ditolak, sebagian gugatannya dikabulkan," kata Zulfan kepada wartawan, Jumat (18/10/2024).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Nina juga mengaku sebagai istri sah Handika. Ia menikah dengan mendiang suaminya itu pada 1 September 1993. Emi dan Nina saling beradu bukti hukum untuk menjadi istri sah Handika.
Untuk mengurus isbat nikah, lanjut Zulfan, Emi menggunakan KTP dan KK yang diberikan Handika sebelum meninggal. Oleh sebab itu, ia menampik apabila kliennya dituding memalsukan dokumen kependudukan tersebut. Pihaknya bakal membuktikan pelaku pemalsuan tersebut di pengadilan.
Zulfan juga membantah apabila Emi dituduh ingin menguasai sebagian aset peninggalan Handika. Seperti 2 tanah dan rumah di Desa Japan, Sooko, Mojokerto, serta 1 mobil Honda CRV yang nilainya ditaksir mencapai Rp 2 miliar. Menurutnya, mobil tersebut dibeli Emi dari pemilik lama bernama Arin.
"Rumah dan tanah di Japan, Bu Emi tidak pernah tahu. Karena Bu Emi tak pernah memiliki itu. Kalau rumah di Perumahan Pondok Teratai, nanti saya buktikan itu adalah rumahnya Emi," terangnya.
Zulfan justru menuduh Nina yang diduga memalsukan buku nikah. Sebab menurutnya, KUA Bareng, Jombang hanya menerbitkan buku nikah Nina dengan pria bernama Muhammad Taufik. Namun, Nina mempunyai buku nikah dengan Handika.
"Buku nikah itu (Nina dan Handika) dipakai Nina untuk transaksi menjual SPBU di Jalan Gajah Mada, Kota Mojokerto. Saya juga tak tahu dapat dari mana dan bagaimana prosesnya," jelasnya.
Zulfan mengaku telah mengkonfirmasi KUA Bareng. Hasilnya, Nina tercatat menikah dengan Taufik. Tidak pernah ada perubahan nama suami Nina yang dicatat KUA Bareng. Selain itu, Dispendukcapil Kota Malang juga menyatakan Handika tidak pernah mengubah nama menjadi Taufik sejak lahir sampai meninggal.
"Dari sidang kemarin katanya ada putusan penetapan pengadilan Handika dan Taufik orang sama. Handika lahir di Kota Malang sampai meninggal tak pernah mengubah nama. Tidak ada penetapan perintah pengadilan terkait perubahan nama dari Handika menjadi Taufik," ujarnya.
Dugaan pemalsuan buku nikah oleh Nina, kata Zulfan, telah dilaporkan ke Polres Mojokerto awal 2023 lalu. Pihaknya masih terus mengawal laporan tersebut. "Polisi masih menyelidiki (siapa terlapornya). Hambatan penyelidik belum ditemukan buku nikah yang diduga palsu itu," cetusnya.
Pengacara Nina, Eko Arif Muji Antoni menjelaskan Handika menjadi mualaf saat menikah dengan Nina. Sehingga namanya diubah menjadi Taufik. Tidak ada perubahan nama kedua orang tua Handika yang dicantumkan di buku nikah tersebut. Nina dan Taufik menikah di KUA Bareng pada 1 September 1993 silam.
Administrasi pernikahan tersebut sepenuhnya diurus oleh mendiang Handika alias Taufik. Menurutnya, Nina baru mengetahui nama Taufik pada buku nikahnya saat pindahan rumah. Ia tak sengaja menemukan buku nikah tersebut.
"Pada April 2002, ada surat keterangan dari KUA Bareng yang menerangkan bahwa mama Taufik alias Handika satu orang yang sama. Dengan dasar SK KUA Bareng tersebut, kami mengajukan penetapan ke Pengadilan Negeri Malang. Permohonan dikabulkan bahwa Handika dan Taufik orang sama," tandasnya.
Sebelumnya, Emi menjalani sidang perdana di Pengadilan Negeri (PN) Mojokerto pada Selasa (8/10). Warga Kecamatan Kemlagi, Mojokerto itu didakwa dengan pasal 264 ayat (1) KUHP atau pasal 263 ayat (1) KUHP. Yaitu diduga menggunakan KTP, KK dan surat kematian palsu untuk mengurus isbat nikah dengan mendiang Handika.
KTP Handika tersebut palsu karena menggunakan NIK milik mendiang Mokhamad Robiadi, warga Desa Watesumpak, Trowulan, Mojokerto. Dari KTP palsu itu lah, terbit KK yang juga palsu pada 22 Mei 2018. Selanjutnya, Emi meminta bantuan saudaranya mengurus surat kematian Handika di kantor Desa Mojojajar. Lagi-lagi surat kematian yang ditandatangani Kades Mojojajar itu palsu karena Handika meninggal di Kota Malang pada 26 Agustus 2021.
"KK dan surat kematian palsu digunakan terdakwa secara aktif untuk mengurus isbat nikah dan pengajuan akta kematian Handika, serta untuk mengurus waris atas nama Handika untuk dibalik nama menjadi milik terdakwa," jelasnya kepada wartawan, Rabu (9/10).
KTP, KK dan akta kematian palsu tersebut sudah dibatalkan Dispendukcapil Kabupaten Mojokerto. Ari menuturkan, Emi diduga sengaja mengurus isbat nikah menggunakan dokumen palsu agar diakui negara sebagai istri sah mendiang Handika. Sehingga wanita berjilbab ini mempunyai hak untuk mewarisi harta mantan suaminya itu. Yaitu berupa 2 rumah dan 1 mobil Honda CRV yang ditaksir mencapai Rp 2 miliar. Padahal, Handika mempunyai istri sah, Nina yang dinikahinya pada 1 September 1993.
"Ada potensi (warisan dari Handika) akan dikuasai terdakwa karena ada tindakan yang dilakukannya mengubah status kepemilikan aset rumah dari Handika menjadi atas namanya. Beberapa aset ada upaya itu dan ada yang sudah akan berubah namanya," terangnya.
(abq/iwd)