Masih Banyak Kejahatan di Surabaya, Sosiolog Soroti Soal Penegakan Hukum

Masih Banyak Kejahatan di Surabaya, Sosiolog Soroti Soal Penegakan Hukum

Aprilia Devi - detikJatim
Jumat, 23 Agu 2024 03:00 WIB
Perampasan honda beat milik petugas kebersihan disabilitas di Balai Kota Surabaya terekam kamera CCTV rumah dinas Wali Kota Surabaya.
Ilustrasi. Begal di Surabaya yang menyasar pegawai kebersihan difabel Pemkot Surabaya. (Foto: Istimewa/tangkapan layar)
Surabaya -

Berbagai bentuk kejahatan masih cukup marak di Surabaya. Termasuk kejahatan yang disertai kekerasan seperti begal, jambret, hingga kelompok gangster yang meresahkan masyarakat.

Yang menjadi sasaran aksi kejahatan pun beragam. Termasuk di antaranya dari kelompok rentan seperti anak-anak, lansia, bahkan disabilitas.

Pakar sosiologi dari Universitas Airlangga Prof Dr Bagong Suyanto menilai maraknya kejahatan ini terjadi karena adanya peluang di tengah masyarakat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Seperti marak begal karena ruang terjadinya kejahatan terbuka. Di Indonesia sudah jadi rahasia umum aparat penegak hukum sangat tidak memadai dibanding luas wilayah yang harus dilindungi. Ini yang membuat begal menemui lumbungnya," ujar Bagong saat dihubungi detikJatim, Kamis (22/8/2024).

Selain itu Bagong juga menyampaikan bahwa aparat penegak hukum semestinya bisa merangkul komunitas masyarakat untuk turut mengantisipasi terjadinya kejahatan.

ADVERTISEMENT

"Namanya pendekatan community support system. Polisi yang terbatas ndak mungkin bisa kalau tidak merangkul komunitas lokal untuk ikut berpartisipasi membangun kelompok yang bentuk kepeduliannya masih dalam koridor wilayah hukum," jelasnya.

Hal tersebut menjadi penting agar terbangun masyarakat yang memiliki kepedulian terhadap masalah hukum. Sehingga tidak mudah melakukan penghakiman sepihak apabila menjumpai kasus kejahatan.

"Sebab saat ini ada kecenderungan begal kualitas kekerasannya meningkat. Mereka sadar resiko ada dihakimi massa, jadi dikembangkan ancaman makin jahat dan keras biar langsung memperdaya korban," tutur Bagong.

Sementara itu terkait penyebab fenomena masih maraknya begal maupun jambret, Bagong juga menjelaskan bahwa salah satu pemicunya adalah gelombang PHK massal yang terjadi, serta sulitnya mengakses sektor pekerjaan.

"Ruang pekerjaan yang masih mudah diakses adanya di sektor informal, baik legal maupun ilegal. Maraknya begal mau gak mau harus dikaitkan dengan kondisi ekonomi yang makin sulit ini," jelasnya.

Apalagi jika ditambah masyarakat cenderung menolak eks pelaku kejahatan untuk bekerja di sektor yang legal. Ini bisa memicu munculnya resedivis pelaku kejahatan.

"Di sektor lama masyarakat cenderung menolak, akhirnya mereka menemukan habitat lama kembali dan terdorong makin canggih masuk di dunia kejahatan. Maka resedivis perlu pengawasan khusus, perlu ada pihak yang menjamin," pungkasnya.




(dpe/fat)


Hide Ads