Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur mengamankan seorang wanita berinisial HW. Mantan Kepala Departemen Pengadaan PT INKA Multi Solusi (IMS) itu ditetapkan tersangka dan ditahan usai menjalani serangkaian pemeriksaan pada Selasa (5/12/2023) malam.
Kepala Kejati Jatim Mia Amiati mengatakan, PT IMS merupakan anak perusahaan PT INKA. Penyidik telah menetapkan HW sebagai tersangka dan dilakukan penahanan selama 20 hari.
"HW ditahan terhitung Selasa (5/12) sampai Minggu (24/12) mendatang di cabang Rumah Tahanan Negara Kelas 1 Surabaya pada Kejaksaan Tinggi Jawa Timur," kata Mia saat konferensi pers di Kejati Jatim, Selasa (5/12/2023) malam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mia menyatakan, kasus itu bermula pada tahun 2016 dan 2017. Kala itu, PT IMS melaksanakan produksi proyek dari PT INKA. Dalam pelaksanaannya dibutuhkan Raw Material/Non-Consumable atau bahan baku serta Consumable atau barang habis pakai untuk produksi.
Terkait pengadaan barang Consumable, berdasarkan Nota Dinas Direksi Utama PT IMS Nomor: 009/ND/IMS/2015 tanggal 10 November 2015 tentang Pedoman Sistem Akuntansi PT IMS pada lampiran 7 sistem akuntansi pembelian, mengatur prosedur pengadaan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan operasional perusahaan.
Untuk pembayaran kepada penyedia barang dan jasa terdapat 2 mekanisme yakni Purchase Order (PO) atau Surat Perjanjian (SP). Penyedia barang dan jasa melakukan penagihan dengan cara mengumpulkan dokumen penagihan dengan kelengkapannya dan dengan cara pembelian langsung (PL).
"Kepala Departemen Pengadaan mengajukan Permintaan Pengeluaran Kas (PKK) berjenjang, selanjutnya Kepala Departemen Pengadaan membeli barang secara langsung dengan meminta bukti yang sah dan digunakan untuk pertanggungjawaban atau realisasi uang muka atau kas bon," ujarnya.
Sejak 2016 hingga 2017, PT IMS melaksanakan sebagian pengadaan barang consumable yang dikerjakan oleh penyedia barang perorangan, yakni NC dan CV Arundaya Abadi dengan total pengerjaan berdasarkan pertanggungjawaban yang ditemukan sekitar Rp 14 miliar. Namun, kenyataannya tidak melaksanakan keseluruhan pengadaan dan hanya mengerjakan sebagian kecil pekerjaan di PT IMS.
"Saudari HW meminta pemilik penyedia barang perorangan NC dan CV Arundaya Abadi untuk membuat kuitansi serta surat jalan yang digunakan sebagai dokumen pertanggungjawaban terhadap seluruh nilai yang telah dikeluarkan oleh PT IMS ke penyedia barang perorangan NC tersebut," sambungnya.
HW lantas memberi petunjuk kepada TN agar segera membuat perusahaan. TN pun mengamininya, ia bersama suaminya, HES langsung mendirikan CV Arundaya Abadi sesuai arahan dari HW.
Namun, justru setelah CV Arundaya Abadi, HW menyatakan kepada TN bahwa nama penyedia barang perorangan NC akan dipinjam. Lalu, digunakan sendiri oleh HW untuk pengadaan barang dan jasa di PT IMS.
"HW memerintahkan saksi TN untuk membuka tabungan bank atas nama TN yang digunakan untuk rekening tampungan pembayaran seluruh pengadaan yang menggunakan nama penyedia barang perorangan NC dan CV Arundaya Abadi, di mana rekening tersebut pengelolaannya serta kartu ATM-nya dikuasai oleh tersangka HW," terangnya.
HW memakai nama penyedia barang perorangan NC untuk pengadaan Consumable di PT. IMS. Dalam pelaksanaannya, sebagian besar tanpa disertai Surat Permintaan Pembelian (SPP), tanpa adanya perhitungan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) atau Owner Estimate (OE) atau Justifikasi yang memadai. Sehingga, harga barang consumable yang dijabarkan dalam PO memiliki nilai selisih harga satuan yang lebih tinggi dari harga satuan di pasaran.
Atas dasar tersebut lah, HW memesan barang consumable di perusahaan milik keluarganya yang notabene mempunyai kegiatan usaha pengadaan barang sejenis dengan barang Consumable yang diadakan di PT. IMS.
Selain surat jalan, HW membuat nota tagihan dan kuitansi menggunakan nama penyedia barang perorangan NC atas barang yang dipesan secara pribadi melalui orang lain, yakni DK.
Usai pembayaran diterima melalui transfer bank ke rekening tampungan milik TN, TN meminta pembayaran kepada HW atas pekerjaan yang benar-benar dikerjakan 2 oleh NC atau CV. Arundaya Abadi. Namun, selebihnya pengelolaan uang dalam rekening tampungan tersebut dikelola sendiri oleh HW.
"HW juga melakukan transfer ke rekening pribadi, ke rekening saksi DK dan DA, serta ke beberapa rekening vendor yang dipesan saksi DK serta beberapa rekening yang tidak memiliki hubungan dengan pengadaan barang Consumable Tahun 2016 hingga Tahun 2017 di PT IMS," jelasnya.
Usai mengetahui ada yang janggal, Kejati Jatim pun mulai mendalaminya. Lalu, ditemukan bukti pendukung yang diserahkan PT. Asuh Murraya Panikulata (AMP) tidak lengkap. Bahkan, tidak berkontrak dengan PT IMS dalam pengadaan barang Consumable tahun 2016 hingga 2017.
Mia menyatakan, bukti pendukung tersebut merupakan bukti pembelian PT. AMP kepada vendor atau suplier. Sehingga, bukti dukung yang diserahkan tidak dapat divalidasi atau tidak dapat diyakini keabsahannya.
Akibat ulah HW itu, Mia memastikan PT IMS merugi hingga Rp 9 miliar.
Mia mengungkapkan, tidak menutup kemungkinan tersangka bisa bertambah. Sebab, telah dilakukan audit secara detail oleh BPK.
"HW melakukan pengadaan barang dan jasa ini, membuat perusahaan (CV Arundaya Abadi) seolah ada, tapi menggunakan jasa dan barang dari saudara sendiri, lalu membuat PO. Nah, uang yang masuk ke rekening PT IMS ini ada, tapi kartu ATM dipegang pegawai, proses ada, pengeluaran ada, PO ada, tapi barangnya yang tidak ada. PT IMS ini adalah anak perusahaan dari PT INKA, masih ada penyertaan saham dari negara," tuturnya.
Kendati begitu, Mia menyayangkan aksi HW berlangsung di tahun 2016 atau sebelum dirinya menjabat di Jatim. Meski belum diketahui pasti siapa saja yang terlibat di dalamnya, Mia memastikan pihaknya tetap mendalami hal itu lantaran aksi HW dan dinilai merugikan negara.
"Masih kami dalami, karena yang jelas mulai mens rea sampai terbit PO atau memperoleh uang, dia semua inisiatornya, kita belum ada benang merah," tutupnya.
(hil/dte)