Sebanyak 17 terpidana mati di Jatim terus berusaha mencari celah untuk lolos dari eksekusi. Mereka berupaya dengan melakukan peninjauan kembali (PK) hingga grasi (pengampunan) ke presiden.
Peninjauan kembali merupakan upaya hukum setelah putusan terpidana telah berstatus berkekuatan hukum tetap (inkrah) setelah adanya putusan pengadilan, banding dan kasasi di Mahkamah Agung (MA).
Adanya proses hukum ini lah, sehingga eksekusi terpidana mati yang telah inkrah menjadi salah satu kendala untuk melaksanakan eksekusi. Sedangkan upaya PK maupun grasi biasanya memakan waktu yang panjang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kajati Jatim Mia Amiati mengatakan selama belum ada putusan final dari PK atau grasi, kejaksaan tidak bisa melakukan eksekusi. "Selama belum final, belum bisa kami lakukan. Di Jatim, kebanyakan (terpidana) pembunuhan, bukan narkoba," kata Mia, Rabu (26/7/2023).
Terkait 17 pidana mati di wilayah hukumnya itu, Mia memastikan sudah proaktif menanyakan hak dan komunikasi pada terpidana. Termasuk melakukan upaya hukum lainnya seperti grasi atau PK sekalipun.
"Tentu (upaya hukum dan hak terpidana) kami sosialisasikan, bila tidak ada upaya hukum ya tidak apa-apa. Seluruhnya (terpidana mati) belum ada yang tuntas dan kami update setiap bulan, salah satu kesulitannya banyak (terpidana mati) yang dipindahkan ke Nusakambangan," tuturnya.
Sebelumnya, sebanyak 17 terpidana mati di Jatim hingga kini belum kunjung dieksekusi. Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim mengatakan pihaknya belum mendapat petunjuk dari pimpinan terkait eksekusi mati.
Meski tak mudah, pihaknya bakal menuntaskan proses yang ada sehingga para terpidana mati segera dieksekusi. "Kami upayakan utang kami, jumlahnya ada 17 perkara, ini juga sudah cukup lama dan belum ada petunjuk dari pimpinan," kata kata Kajati Jatim Mia Amiati, Selasa (25/7/2023).
(abq/iwd)