Komnas Perempuan mendesak kekerasan seksual yang dialami pelajar perempuan di Banyuwangi ditangani dengan serius. Apa yang dialami pelajar itu telah melanggar pasal berlapis di dalam undang-undang. Mulai dari kekerasan seksual, kekerasan terhadap anak, hingga pernikahan anak.
Komisioner Komnas Perempuan Theresia Sri Endras Iswarini menyatakan bahwa kekerasan yang terjadi pada korban telah melanggar undang-undang berlapis. Seharusnya penanganan kasus ini harus dilakukan dengan segera karena kasus dengan korban anak-anak ini bukan delik aduan.
"Ini PR besar bagi APH (aparat penegak hukum) dan lembaga layanan pemerintah. APH harus mencari pelakunya dan memproses. Karena satu yang harus diperjelas KS (kekerasan seksual) pemerkosaaan kalau korbannya adalah anak-anak itu bukan delik aduan, itu delik biasa," ujar perempuan yang akrab disapa Rini kepada detikJatim, Jumat (22/7/2022).
Penanganan kasus yang dialami pelajar asal Blimbingsari, Banyuwangi itu menurutnya juga harus dilakukan secara serius oleh semua pihak terkait. Selain mengusut, menangkap, dan memproses hukum para pelaku agar tidak muncul korban baru, banyak hal yang menurutnya harus dilakukan untuk memberikan apa yang seharusnya menjadi hak korban.
"Ada praktik penyederhanaan, yakni korban dinikahkan dengan salah satu pelaku. Padahal sesuai undang-undang perlindungan anak, korban harusnya dilindungi. Ini malah dinikahkan dan sekarang ditinggal pula. Pemerkosaan itu berdampak besar pada hidup seseorang, bahkan mungkin selamanya. Harusnya kasus perkosaan ini diproses secara serius, baik oleh APH maupun oleh pemerintah," katanya.
Rini menyebut apa yang telah dialami korban yang masih berstatus pelajar salah satu Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) itu menjadi pekerjaan rumah bagi banyak pihak. Terutama dalam menangani kasus-kasus kekerasan seksual secara umum yang bisa terjadi sewaktu-waktu.
"Ini PR besar bagi APH dan lembaga layanan pemerintah yang bertugas membantu korban dan keluarganya. Hak-hak korban harus diperhatikan dalam situasi ini. Tricky-nya, ketika anak dinikahkan dianggap dewasa. Padahal secara umur dan badan dia anak, secara pikiran mungkin juga masih anak-anak. Ini menjadi bagian yang harus dipikirkan," ujar Rini.
Ya, pelajar perempuan di salah satu PKBM di Banyuwangi kini telah melahirkan seorang anak. Korban telah mengalami pengalaman pahit di usianya yang masih anak. Rini sebelumnya menyebutkan apa yang dialami korban telah melanggar sejumlah undang-undang.
Dia diperkosa di usia yang belum genap 18 tahun, dipaksa menikah di usia 18 tahun, bahkan pemaksaan itu dilakukan oleh perangkat desa dan oleh pihak yang diduga oknum kepolisian setempat. Sementara kedua orang tuanya tidak mampu secara ekonomi dan tidak memahami apa yang dialami putrinya.
"Jadi yang dilanggar juga berlapis. Pemerkosaan itu melanggar Undang-Undang TPKS (Tindak Pidana Kekerasan Seksual). Dia diperkosa saat usia anak, itu melanggar Undang-Undang Perlindungan Anak. Kemudian korban juga dinikahkan di usia anak, sehingga melanggar Undang-Undang Perkawinan yang sudah diubah dengan undang-undang baru tahun 2019," ujar Komisioner Komnas Perempuan yang akrab disapa Rini itu.
Sesuai UU 16/2019 tentang Perubahan atas UU 1/1974 tentang Perkawinan, usia pernikahan yang diizinkan bagi laki-laki dan perempuan adalah 19 tahun. Sementara pelajar perempuan Banyuwangi yang menjadi korban pemerkosaan 3 pria itu dinikahkan Maret 2022 lalu ketika ia masih berusia 18 tahun. "Kemudian, kalau betul ada indikasi keterlibatan oknum kepolisian, ini juga menyalahi aturan restorative justice," kata Rini.
Kekerasan seksual memilukan yang dialami pelajar di Banyuwangi. Baca di halaman selanjutnya.
(dpe/iwd)