Aksi dugaan penipuan dan penggelapan tanah di kawasan Tambak Pring, Asemrowo, Surabaya terungkap. Dalam aksinya, polisi mengamankan 2 orang terduga mafia tanah. Keduanya kini telah ditahan.
"Titiknya di Tambak Pring Timur dan Barat, Surabaya," ujar Kapolsek Asemrowo Surabaya Kompol Hari Kurniawan kepada detikJatim, Senin (20/6/2022).
Saat ini, polisi masih memeriksa sejumlah saksi. Ia mengaku belum bisa menyebut siapa dan berapa banyak orang yang jadi korban. Berdasarkan keterangan yang didapat polisi dari sejumlah saksi, petunjuk mengerucut pada 2 nama yang memenuhi unsur pidana mafia tanah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dua orang terduga mafia tanah itu telah diringkus, ditetapkan sebagai tersangka, dan telah ditahan di Polres Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya.
Hari menambahkan kerugian korban diduga mencapai Rp 5 miliar. Hari memastikan kerugian yang diderita korban diduga mencapai miliaran rupiah.
"Kerugian miliaran ya. Total sekitar Rp 5 M lebih," tuturnya.
Sedangkan modusnya, keduanya diduga memberikan keterangan palsu kepada notaris. "Iya benar, keduanya diduga memberikan keterangan palsu kepada notaris," imbuh hari.
Sayangnya, Hari belum memberikan keterangan lebih lanjut mengenai kronologi penipuan tersebut dan berapa orang yang menjadi korban. Ia hanya memastikan bahwa kedua pelaku itu sudah ditetapkan sebagai tersangka dan saat ini sudah ditahan.
Kepada masyarakat ia pun mengimbau agar lebih berhati-hati dalam urusan jual beli tanah. Karena, dua pelaku telah menjalankan aksi kejahatan itu sejak 2017 silam.
Hari mengatakan, 2 tersangka berinisial A dan C itu telah menjual tanah di Tambak Pring, Tambak Dalam, Kelurahan Asemrowo Surabaya dengan modus tertentu.
Sementara itu, Dosen Program Studi S3 Hukum Universitas 17 Agustus (Untag) Surabaya, Dr. Sri Setyadji menanggapi kasus mafia tanah yang terjadi di Tambak Pring, Surabaya. Menurutnya, penipuan, penggelapan, hingga pemalusan akta autentik tanah ke notaris memang jamak terjadi. Modus mafia tanah di Tambak Pring bukan yang pertama terjadi di Kota Pahlawan.
Sri menambahkan, pemalsuan akta itu tidak bisa dilakukan secara instan. Sri menduga para pelaku telah memahami celah administrasi.
"Karena, mereka (mafia tanah) paham betul terhadap kesemrawutan data administrasi pertanahan. Sehingga, mereka memanfaatkan situasi untuk mendapatkan keuntungan," ujarnya.
Tak ayal, hingga kini masih saja ada masyarakat yang menjadi korban mafia tanah. Meski mereka memegang bukti kepemilikan yang sah sekalipun. "Sekilas, yang dirugikan tentu pembeli ya," tutur salah satu pakar Hukum Pertanahan di Surabaya itu.
Maka dari itu, ia berharap masyarakat lebih jeli untuk melakukan transaksi tanah. Terlebih, saat ditemui klausul atau status surat yang tak jelas peruntukannya.
"Mestinya, sebelum dilakukan transaksi, notaris harusnya kroscek kebenaran data yuridis di kelurahan. Saya baca (berita yang dimuat detikJatim) bahwa tanah yang dijual belum sertifikat saat pembuatan akta. Dan akta tersebut merupakan akta ikatan jual beli dan bukan akta jual beli (PPAT)," lanjutnya.
Masyarakat bisa belajar dari kasus yang terjadi di Tambak Pring. Masyarakat diharapkan bisa mengecek ulang pada buku tanah kelurahan.
"Artinya, dengan recheck ini akan memperjelas status tanah. Apakah benar sudah terdaftar (sertifikat) atau masih petok D, dan seterusnya. Kalau tidak jeli, dengan mudah aksi dan modus (penipuan mafia tanah) akan dilakukan, yang pada akhirnya terjadi pemalsuan karena ketidakpahaman masyarakat tehadap persoalan tanah," Sri melanjutkan.
(hil/iwd)