Berabad-abad sebelum kata 'kemerdekaan' lahir, seorang raja bernama Sri Aji Jayabaya telah menuliskan ramalan tentang masa depan Nusantara. Jejak spiritual dan kisah moksa sang raja kini masih terjaga di Desa Menang, Kediri.
Lokasi ini dipercaya sebagai tempat moksa Sang Raja bijaksana Kerajaan Kediri, Prabu Sri Aji Jayabaya.
Nama Jayabaya tak hanya dikenal sebagai raja besar, tetapi juga sebagai sosok spiritual yang meninggalkan warisan berupa ramalan Jangka Jayabaya, sebuah naskah kuno yang dipercaya mampu menyingkap perjalanan panjang Nusantara, dari masa penjajahan hingga kemerdekaan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Petilasan Prabu Jayabaya di Kediri Foto: Andhika Dwi/detikJatim |
Ramalan yang Menyentuh Sejarah Nusantara
Ramalan Jayabaya tersebar dalam berbagai versi, namun sejumlah bagian dianggap paling akurat karena dianggap sejalan dengan peristiwa nyata dalam sejarah Indonesia.
Dalam ramalannya, Jayabaya menyebut akan datang masa ketika tanah Jawa dikuasai oleh "bangsa kulit putih" dan "bangsa berkulit kuning", yang kemudian diasosiasikan dengan penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang.
Ia juga menggambarkan zaman penuh penderitaan:
"Akan datang zaman edan, wong bener kalah karo wong licik, wong cilik nggeragas, wong gedhe nggege mangsa." (Akan datang masa kacau, ketika orang benar kalah oleh yang licik, rakyat kecil menderita, sementara penguasa hidup berlebihan).
Bagi masyarakat Jawa, ramalan ini seolah menggambarkan masa kelam kolonialisme dan penindasan yang berakhir dengan datangnya masa merdeka. Jayabaya pun dipercaya telah meramalkan hadirnya pemimpin adil yang membawa kemakmuran:
"Sawijining dina bakal ana ratu sing adil lan welas asih, kang marakake kamulyan." (Akan datang seorang pemimpin adil dan penuh kasih yang membawa kemakmuran).
Petilasan Pamuksan: Jejak Moksa Sang Raja
Petilasan Pamuksan Sri Aji Jayabaya diyakini sebagai tempat moksa sang raja, yang meninggalkan dunia tanpa jasad menuju kesempurnaan spiritual. Di kompleks ini terdapat tiga titik penting yang disebut sebagai jejak terakhirnya:
β’ Loka Mahkota, tempat Jayabaya melepas mahkota kerajaannya.
β’ Loka Busana, tempat ia meninggalkan pakaian kebesaran.
β’ Loka Moksa, titik terakhir sebelum lenyap menuju keabadian.
Meski belum ada bukti arkeologis yang memastikan peristiwa moksa tersebut, masyarakat setempat tetap menjaga tradisi dan keyakinan yang diwariskan turun-temurun. Ia rutin datang setiap bulan untuk berdoa dan memohon kelancaran usaha keluarganya.
"Kalau saya ke sini, rasanya adem. Ada yang beda dari tempat lain," ujar Sulastri (45), peziarah asal Nganjuk.
Tradisi 1 Suro: Ziarah dan Napak Tilas Spiritual
Setiap tanggal 1 Suro dalam kalender Jawa, petilasan ini ramai dikunjungi ratusan peziarah dari berbagai kota di Jawa Timur. Mereka melakukan prosesi napak tilas menuju tiga prasasti utama tempat Jayabaya dipercaya moksa.
"Kita sebagai anak-cucu Nusantara tidak boleh lupa pada leluhur yang telah membangun peradaban tanah Jawa," ujar Eko, warga Desa Menang, Kediri.
Bagi masyarakat setempat, prosesi ini bukan sekadar ritual mistis, melainkan simbol andhap asor-kerendahan hati dan penghormatan kepada leluhur.
Warisan Budaya yang Dilestarikan
Petilasan Sri Aji Jayabaya kini menjadi bagian dari warisan budaya tak benda yang dijaga oleh Pemerintah Kabupaten Kediri. Kawasan ini bukan hanya situs spiritual, tetapi juga destinasi wisata sejarah yang sarat nilai filosofi.
Plt Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kediri, Mustika Prayitno Adi menegaskan, tradisi dan situs tersebut merupakan aset penting daerah.
"Petilasan tersebut adalah salah satu peninggalan budaya di Kediri yang harus dilestarikan. Ritual sesaji Sri Aji Joyoboyo juga telah terdaftar sebagai kekayaan intelektual komunal di Kementerian Hukum pada tahun 2021," jelas Mustika, Rabu (8/10/2025)
Hingga kini, Petilasan Pamuksan Sri Aji Jayabaya tetap menjadi ruang pertemuan antara mitos dan sejarah. Bagi sebagian orang, kisah moksa Jayabaya mungkin sekadar legenda. Namun bagi masyarakat Kediri, tempat ini adalah simbol kebijaksanaan dan keabadian, sekaligus pengingat bahwa nilai luhur leluhur tetap hidup di tengah modernitas.
Simak Video "Video: Benda Purbakala di Museum Pemkab Kediri Hilang Dijarah"
[Gambas:Video 20detik]
(irb/hil)