Sejumlah restoran di kawasan Kayutangan Heritage memutuskan menghentikan kegiatan live music demi menghindari persoalan hukum akibat belum punya izin dari Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN). Ini terkait dengan kebijakan royalti yang tarifnya pun dianggap terlalu tinggi.
Kebijakan soal royalti musik itu merujuk pada UU 28/2014 tentang Hak Cipta yang mewajibkan pelaku usaha seperti hotel, restoran, pusat perbelanjaan, dan tempat hiburan lain membayar royalti atas pemanfaatan lagu atau musik komersial.
Ketua PHRI Kota Malang Agoes Basoeki menyebutkan bahwa hampir seluruh hotel berbintang 3 ke atas di wilayahnya telah mendaftarkan diri ke LMKN. Bahkan mereka telah mematuhi aturan dengan melakukan pembayaran royalti.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Hotel-hotel bintang tiga ke atas rata-rata sudah mendaftar dan tertib membayar royalti," ujar Agoes kepada detikJatim, Sabtu (16/8/2025).
Namun tidak demikian dengan sektor restoran. Banyak pengusaha kuliner menolak atau menunda pembayaran royalti karena mengeluhkan besaran tarif yang dianggap memberatkan. Bahkan, sejumlah restoran memilih menghentikan live music secara total.
"Beberapa restoran di Kayutangan dan kawasan wisata lainnya mulai menghentikan live musik karena belum urus izin atau merasa tarifnya terlalu tinggi," ungkapnya.
PHRI Kota Malang dalam waktu dekat akan melakukan koordinasi lanjutan dengan DPD dan DPP PHRI. Koordinasi ini untuk meninjau ulang skema tarif yang diterapkan oleh LMKN.
"Kami akan sampaikan ke pusat agar ada penyesuaian tarif. Bukan menolak, tapi berharap bisa disesuaikan dengan skala usaha," tegasnya.
Sementara itu mengacu pada situs resmi LMKN, tarif royalti untuk restoran tergantung pada luasan tempat, frekuensi pemutaran musik, dan kapasitas pengunjung.
Untuk restoran kecil, tarif bisa berkisar dari Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta per bulan. Sedangkan restoran besar dengan live music reguler bisa membayar hingga Rp 5 juta hingga Rp 10 juta per bulan.
Bagi pelaku usaha yang tidak mengantongi izin dari LMKN, sanksi hukum cukup serius bisa diberlakukan. Mulai dari denda hingga penutupan usaha jika terbukti melanggar hak cipta secara komersial.
Banyak pengusaha restoran mengaku belum mengurus sertifikat dan izin karena merasa kebijakan ini belum tersosialisasi secara maksimal dan transparan, sehingga mereka memilih menghindari risiko dengan cara menyetop pertunjukan live music.
Terpisah, Ketua Asosiasi Pengusaha Kafe dan Restoran Indonesia (Apkrindo) Kota Malang Indra Setiyadi mengatakan di tengah daya beli masyarakat yang turun, banyak kafe atau restoran di Kota Malang memilih tidak memutar lagu.
Apalagi, pembayaran royalti yang harus ditanggung kafe dan restoran cukup mahal. Sehingga banyak kafe dan restoran menghindari polemik royalti dengan tidak memutar lagu Indonesia atau memutar lagu dari luar negeri.
"Para pengusaha juga sedang menghadapi penurunan daya beli masyarakat. Sehingga memilih untuk tidak memutar lagu," ungkap Indra.
Menurutnya, penarikan biaya royalti berdasarkan jumlah kursi dinilai tidak ideal. Sebab dari kursi yang disediakan tentu tidak menjamin seluruh kursi terisi setiap hari. Pelanggan pun belum tentu menikmati lagu yang kebetulan diputar petugas kafe atau restoran karena sifatnya hanya pelengkap suasana.
Menurut Indra, tidak sepatutnya kafe dan restoran dipungut royalti tinggi. Berbeda dengan pub atau diskotik, jenis usaha itu baru bisa dimaklumi saat ditarik royalti tinggi. Sebab daya tarik utamanya memang ada di musik yang diputar.
"Kalau pun atau diskotik komoditas utama mereka memang menjual musik," tandasnya.
Indra pun menyarankan agar penetapan tarif royalti dilihat berdasarkan kelas restoran atau kafe. Misalnya restoran bintang lima tarifnya lebih tinggi dari bintang dua. Skema itu dinilai meyakinkan dan lebih adil untuk diterapkan.
(dpe/abq)