Polemik Royalti seperti Pisau Mata Dua, Simak Kata Pengusaha dan Musisi

Polemik Royalti seperti Pisau Mata Dua, Simak Kata Pengusaha dan Musisi

Muhammad Aminudin - detikJatim
Sabtu, 16 Agu 2025 18:30 WIB
Kampung Heritage Kayutangan Malang
Ilustrasi. Kampung Heritage Kayutangan Malang. (Foto: Istimewa)
Kota Malang -

Polemik tentang royalti musik yang diputar di kafe maupun restoran agaknya berpotensi mematikan para pengusaha makanan dan minuman (mamin) di berbagai daerah, termasuk di Kota Malang. Banyak yang merasa kebijakan itu menjadi beban tanpa adanya transparansi dan aturan atau sistem yang jelas.

Adanya penarikan royalti musik yang belakangan ramai menuai respons dari pelaku usaha kafe di Malang. Hal itu seperti disampaikan Marketing New Order Coffee Khan Dafaa. Dia mempertanyakan mengapa kebijakan ini baru diterapkan sekarang? Padahal aturan hak cipta sudah ada sejak lama.

Menurut Dafaa, untuk menghindari risiko, banyak pelaku usaha memilih untuk tidak memutar lagu Indonesia, dan tentu ini bisa mematikan eksistensi musisi lokal itu sendiri.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kalau ini diributkan terus, dampaknya domino. Masyarakat bisa enggan mendengar lagu lokal, musisi Indonesia akhirnya kehilangan kepercayaan," kata Dafaa kepada wartawan, Sabtu (16/8/2025).

Dafaa mengkritik langkah Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) yang dianggap hanya menyasar tempat-tempat ramai atau besar. Dafaa bahkan menilai beban pelaku usaha semakin berat dengan adanya kewajiban membayar royalti yang sangat tergesa gesa tanpa ada transparansi ini.

ADVERTISEMENT

"Kita sudah dipajaki, bahan baku naik, pendapatan terbatas, masih harus bayar karyawan. Kalau ditambah royalti musik, gimana? Saya sebagai pengelola kafe jelas tidak sepakat," ungkapnya.

Ia pun menilai persoalan ini belum mendesak untuk diperhatikan dibandingkan berbagai persoalan nasional lainnya.

"Sebenarnya saya tidak terlalu peduli, karena banyak isu nasional yang lebih besar. Ini bisa dianggap sebagai pengalihan saja," katanya.

Dafaa mengaku hingga kini pihaknya belum menerima surat penarikan royalti musik. Meski demikian, ia menyebut ada 2 tempat di Malang yang sudah terdampak.

"Di kafe saya tidak ada live music, dan kami lebih sering memutar lagu luar negeri supaya lebih aman," katanya.

Ia juga menegaskan bahwa pada prinsipnya dirinya tidak akan menolak hak musisi yang telah diatur undang-undang. Asalkan, mekanisme dari royalti itu jelas dan transparan.

"Kalau transparan dari awal, ya setuju saja. Tapi kalau sekarang, kami tidak tahu sistemnya, uangnya ke mana, dari hulu ke hilir seperti apa," tegasnya

Dafaa juga mengingatkan bahwa ketidakjelasan ini bisa berdampak luas pada keberlangsungan usaha mamin, termasuk UMKM.

"Kalau sistemnya tetap tidak jelas, bisa mematikan usaha kecil seperti kafe. Pemerintah dibayar rakyat, tapi kok malah bikin rakyat sengsara," ucapnya.

Musisi pun Kaget

Dari sisi musisi, vokalis Coldiac, Sambadha Wahyadyatmika mewakili suara para pencipta lagu. Dia mengatakan polemik penarikan royalti musik yang belakangan ramai diperbincangkan memiliki 2 sisi yang perlu dilihat seimbang, baik dari sudut pandang musisi maupun masyarakat.

"Dari sisi positif, akhirnya ada sosialisasi soal ini. Tapi sayangnya terkesan mendadak, jadi banyak orang kaget," ujar Sambadha terpisah.

Dia menjelaskan bahwa isu yang berkembang saat ini adalah soal performing right, yaitu hak cipta atas nada dan lirik lagu yang diputar di tempat umum. Meski UU Hak Cipta mengatur hal itu sejak lama, ia menilai kesalahan terbesar ada pada minimnya sosialisasi dan belum adanya sistem penarikan royalti yang jelas dan transparan.

"Akhirnya seperti kejar setoran tanpa penjelasan. Masyarakat kan nggak semua paham utuh," katanya.

Sambadha menegaskan, musisi justru khawatir dibenturkan dengan masyarakat karena mekanisme distribusi royalti belum transparan.

"Dari musisi juga kaget, ini yang ditarik duitnya masuk ke saya atau nggak? Harusnya LMKN kolaborasi dengan pemerintah membuat sistem yang benar sebelum menagih," tuturnya.

Ia mendorong LMKN dan pemerintah memanfaatkan era digital untuk menciptakan sistem monitoring yang transparan, sehingga jumlah pemutaran lagu bisa dihitung dengan akurat dan dapat diakses publik, termasuk pemilik usaha.

"Kalau nggak gitu rawan permainan. Jangan-jangan nanti kafe lebih memilih mutar lagu luar daripada lagu Indonesia," ungkapnya.

Pengalaman Sambadha sendiri menunjukkan hubungan baik antara musisi dan pelaku usaha mamin, salah satunya seperti kerja sama Coldiac dengan 100 kedai kopi di Indonesia. Ia pun khawatir tanpa sosialisasi dan sistem yang jelas, akan muncul stigma negatif terhadap lagu-lagu lokal.

"Musik bagian dari hidup kita. LMKN kan lembaga bantuan negara tanpa dana APBN. Jadi ayo dibicarakan dengan pemerintah, jangan diam melihat polemik ini," katanya.

Meski begitu, untuk saat ini Sambadha tidak pernah mempermasalahkan lagunya dibawakan ataupun diputar di kafe, resto bahkan di pernikahan.

"Kalau aku nggak masalah, putar saja, mainkan saja. Silakan," katanya.

Dampak aturan pembayaran royalti musik di tempat usaha mulai dirasakan pengusaha kafe di Kota Malang, terutama di kawasan Kayutangan Heritage. Para pengusaha memutuskan menghentikan kegiatan live music demi menghindari persoalan hukum karena belum memiliki izin dari LMKN.

Kebijakan ini merujuk pada UU 28/2014 tentang Hak Cipta yang mewajibkan pelaku usaha seperti hotel, restoran, pusat perbelanjaan, dan tempat hiburan lainnya membayar royalti atas pemanfaatan lagu atau musik komersial.




(dpe/abq)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads