Kisah Soekarno Matangkan Pemikiran tentang Republik Indonesia di Surabaya

80 Tahun Indonesia Merdeka

Kisah Soekarno Matangkan Pemikiran tentang Republik Indonesia di Surabaya

Mira Rachmalia - detikJatim
Minggu, 10 Agu 2025 12:45 WIB
Museum HOS Tjokroaminoto, rumah masa muda Soekarno di Surabaya ramai dikunjungi di Hari Lahir Pancasila.
Potret Soekarno. Foto: Esti Widiyana/detikJatim
Surabaya -

Soekarno, tokoh sentral dalam sejarah perjuangan kemerdekaan. Nama dan perannya begitu lekat dengan peristiwa Proklamasi 17 Agustus 1945. Bersama Mohammad Hatta, ia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, mewakili suara jutaan rakyat yang selama berabad-abad terbelenggu penjajahan.

Namun, jauh sebelum naik ke panggung sejarah sebagai proklamator, perjalanan panjang pemikiran Soekarno telah ditempa sejak masa mudanya, khususnya ketika ia tinggal dan tumbuh di Surabaya.

Kota Surabaya memainkan peran sangat penting dalam membentuk pemikiran konseptual Soekarno mengenai nasionalisme, kemerdekaan, dan gagasan dasar negara Republik Indonesia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

ADVERTISEMENT

Mulai dari masa pendidikan di HBS, indekos di rumah tokoh pergerakan Islam HOS Tjokroaminoto, menjadi aktivis organisasi pemuda, hingga aktif menulis di media. Seluruh proses pembelajaran itu menjadi fondasi pematangan gagasannya tentang Indonesia merdeka.

Sebagaimana sering dikatakan Soekarno, "Bangsa yang tidak percaya pada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa, tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka". Prinsip ini lahir dari pergumulannya sejak remaja saat menyaksikan ketidakadilan dan penindasan pihak kolonial terhadap bumiputera.

Surabaya bagaikan sekolah besar kehidupan yang menempanya menjadi sosok orator ulung, ideolog, dan pemimpin revolusi. Berikut kisah Soekarno matangkan tentang Republik Indonesia di Surabaya dirangkum dari Tayangan Youtube berjudul Jiwa Muda Soekarno.

Masa Muda dan Awal Pembentukan Nasionalisme di Surabaya

Lahir di Surabaya pada 6 Juni 1901, sejak kecil Soekarno telah akrab dengan suasana ketidakadilan yang dialami rakyat pribumi. Kebencian terhadap kolonial Belanda tumbuh subur seiring dengan bertambahnya usia.

Saat melanjutkan pendidikan di HBS Surabaya, ia menetap sebagai anak kos di rumah HOS Tjokroaminoto, pemimpin besar Sarekat Islam. Kehidupan di rumah pahlawan nasional ini secara langsung mempertemukan Soekarno muda dengan para tokoh pergerakan seperti Alimin, Musso, Darsono, dan Haji Agus Salim.

Selama masa tinggal di "sekolah para pemimpin" milik Tjokroaminoto, Soekarno bukan hanya menyerap ilmu organisasi dan agama, tetapi juga mengenal diskursus politik serta teori-teori kebangsaan.

Ia mulai aktif di organisasi pemuda Tri Koro Dharmo (kemudian dikenal Jong Java), dan belajar menulis di Harian Utusan Hindia, menggunakan nama samaran "Bima". Semua pengalaman ini menguatkan rasa nasionalismenya sekaligus menggugah kesadaran tentang perlunya kesatuan nasional.

Pengembangan Intelektual dan Gagasan Marhaenisme

Tamat dari HBS Surabaya pada 1921, Soekarno melanjutkan pendidikan ke Technische Hoogeschool te Bandoeng (kini ITB). Di Bandung, pemikiran politiknya semakin matang.

Ia intens bergaul dengan tokoh elite pergerakan, termasuk tiga serangkai pendiri Indische Partij, yaitu Douwes Dekker, Cipto Mangunkusumo, dan Suwardi Suryaningrat. Dari diskusi-diskusi tajam itu, Soekarno mulai merumuskan gagasan "Marhaenisme", bentuk sosialisme khas Indonesia yang berpihak pada rakyat kecil.

Di antara aktivitas pergerakannya di Bandung, Soekarno juga mendirikan "Algemeene Studie Club" pada 1926. Perkumpulan ini menjadi cikal bakal gerakan radikal yang mengusung nasionalisme progresif.

Pada 1927, ia menulis artikel berseri berjudul Nasionalisme, Islam, dan Marxisme yang menyerukan pentingnya front persatuan anti-kolonial dengan cara non-kooperatif. Tulisan itu menjadikannya tokoh yang disegani, sekaligus dicurigai pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Pendirian Partai Nasional Indonesia dan Aktivitas di Surabaya

Pada 4 Juli 1927, semangat pergerakannya mengkristal dalam pendirian Partai Nasional Indonesia (PNI) bersama tokoh muda lain, seperti Sartono, Sunarto, dan Cipto. Soekarno kemudian terpilih sebagai ketuanya.

Kongres pertama PNI digelar di Surabaya pada Mei 1928 sebuah peristiwa penting yang menunjukkan kiprah Surabaya sebagai basis gerakan nasionalis. Dalam forum akbar diikuti 3.500 orang itu, Soekarno menyampaikan asas-asas nasionalisme PNI dengan retorika yang membakar semangat.

Rapat-rapat umum PNI di Surabaya dan kota-kota lain makin membangkitkan kesadaran rakyat. Namun, pemerintah kolonial merespons dengan tindakan represif.

Akhirnya, pada 29 Desember 1929, Soekarno ditangkap di Yogyakarta dan ditahan di Penjara Banceuy, kemudian Sukamiskin, Bandung. Dalam pengadilan, ia menyampaikan pidato pembelaan monumental berjudul Indonesia Menggugat, yang isinya mengecam kolonialisme dan menegaskan tekad merdeka.

Pengasingan, Penguatan Spirit, dan Lahirnya Pancasila

Walaupun dijatuhi hukuman empat tahun penjara, Soekarno hanya menjalani satu tahun setelah mendapatkan pengurangan. Kekuatan PNI melemah tanpa dirinya, hingga akhirnya partai itu dibubarkan.

Setelah bebas, ia masuk Partindo dan kembali aktif melawan pemerintah kolonial. Akibat pengaruhnya yang besar, pemerintah Belanda kembali menangkap dan membuang Soekarno ke Ende (Flores) pada 1934.

Di masa pengasingan ini, Soekarno banyak merenung, memperdalam Islam, dan merumuskan gagasan dasar negara. Kelak, hasil perenungannya itu dikenal sebagai embrio Pancasila. Empat tahun kemudian, ia dipindahkan ke Bengkulu, bergiat dalam Muhammadiyah, mengajar, dan bertemu Fatmawati, ibu negara pertama RI.

Warisan Pemikiran dari Surabaya hingga Republik Indonesia

Perjalanan Soekarno menuju puncak sejarah bangsa tidak terjadi seketika. Surabaya, sebagai tempat ia lahir dan ditempa, adalah lokasi kunci yang mematangkan ideologinya tentang bangsa, republik, dan kebebasan.

Gagasan-gagasannya tentang nasionalisme, persatuan, dan keberanian melawan penjajahan semua berakar dari dinamika intelektual-politik di kota pahlawan ini. Sebagai pusat pergerakan nasional awal abad ke-20, Surabaya memberi Soekarno ruang untuk belajar, berdialektika, dan memperluas jaringan dengan para tokoh pergerakan lintas ideologi.

Tak mengherankan bila kemudian lahir konsep-konsep besar seperti "Marhaenisme" dan "Pancasila" yang menjadi dasar negara Indonesia merdeka. Berkat pemikiran yang ditempa sejak mudanya di Surabaya, Soekarno muncul bukan hanya sebagai pemimpin politik, tetapi juga sebagai arsitek bangsa.

Pada akhirnya, Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah puncak dari perjuangan panjang Soekarno, yang sejak belia telah membulatkan tekad untuk mengakhiri era kolonialisme.

Dari Surabaya, gagasan republikanisme itu tumbuh, mengakar, dan mewujud dalam berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebuah tanah air merdeka yang menjadi kebanggaan hingga hari ini.




(ihc/irb)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads