Syahdu Tradisi Berebut Larungan di Telaga Ngebel Ponorogo

Syahdu Tradisi Berebut Larungan di Telaga Ngebel Ponorogo

Charolin Pebrianti - detikJatim
Jumat, 27 Jun 2025 15:40 WIB
Tradisi Larungan di Telaga Ngebel Ponorogo
Tradisi Larungan di Telaga Ngebel Ponorogo (Foto: Charolin Pebrianti/detikJatim)
Ponorogo -

Ribuan warga tumplek blek memadati pinggiran Telaga Ngebel Ponorogo. Telaga ini kerap menjadi saksi tradisi sakral Larungan Telaga Ngebel.

Sejak pagi, warga dari berbagai penjuru Ponorogo datang bersama rekan hingga keluarga. Bukan hanya untuk menikmati keindahan alam telaga yang sejuk dan asri ini, namun demi tradisi yang terjadi setahun sekali, yakni berebut 22 gunungan hasil bumi.

Gunungan yang tersusun dari sayur mayur seperti tomat, terong, hingga jeruk ini diyakini membawa berkah. Semuanya disusun dalam bentuk buceng gunungan raksasa yang menjadi simbol kemakmuran dan doa syukur masyarakat Ponorogo kepada Sang Pencipta dan alam semesta.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Salah satu buceng istimewa terbuat dari beras merah tidak diperebutkan. Ia perlahan-lahan didorong ke tengah telaga, dilarung sebagai bentuk sedekah kepada para penghuni alam, khususnya makhluk hidup yang hidup di danau alami ini.

Tradisi Larungan di Telaga Ngebel PonorogoTradisi Larungan di Telaga Ngebel Ponorogo Foto: Charolin Pebrianti/detikJatim

"Saya kangen sama vibe-nya. Rebutan itu seru pol! Meski harus dorong-dorongan demi dapet terong atau tomat, tapi rasanya puas. Pengen dapat berkah," ungkap Melinda Sari, warga Desa Ngebel, yang ikut dalam kerumunan berebut gunungan. Rona bahagia terlihat jelas di wajahnya, meski rambutnya berantakan dan bajunya sedikit kusut karena berdesakan.

ADVERTISEMENT

Tradisi Larungan ini memang bukan hanya ritual, tapi sudah menjelma jadi pesta rakyat. Perpaduan antara spiritualitas, budaya, dan hiburan yang membuat siapa pun yang hadir merasakan atmosfer yang khas: antara sakral dan penuh tawa.

Di tengah hiruk-pikuk warga yang bersorak saat gunungan mulai diporak, Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko berdiri tak jauh dari bibir telaga. Dengan tenang, ia menyampaikan makna di balik ritual yang telah menjadi warisan budaya ini.

"Larungan ini bukan sekadar acara. Ini bentuk kita berbagi dengan alam, dengan sesama makhluk hidup. Sedekah itu tidak hanya untuk manusia, tapi juga untuk bumi dan seluruh isinya," tutur pria yang akrab disapa Kang Giri itu.

Ia menambahkan, momen larungan menjadi saat yang tepat untuk introspeksi dan meninggalkan keburukan di tahun sebelumnya.

"Harapan kami, melarung semua masa lalu. Melarung semua keburukan, semua kesalahan, semua kekeliruan. Menatap 1 Muharram sebagai awal tahun Hijriah, saatnya kita hijrah dari yang tidak baik menjadi baik. Dari hal negatif ke hal positif. Menuju Ponorogo Hebat," tegasnya.

Di akhir acara, sisa-sisa buceng yang sudah tercerai-berai masih dikumpulkan oleh warga. Bagi mereka, sepotong terong atau beberapa butir jeruk bukan sekadar hasil bumi itu simbol harapan, berkah, dan ikatan kuat antara manusia, budaya, dan alam.




(dpe/hil)


Hide Ads