Penulis Wahyuni Refi resmi meluncurkan novel yang berjudul Bumi Larosae. Karya sastra ini dibedah oleh penulisnya di Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surbaya (Unesa).
Refi menyebut, karya fiksinya ini mengisahkan berbagai peristiwa penting soal hubungan Indonesia dan Timor Leste mulai dari era kolonial Portugis, integrasi hingga berpisah dengan Indonesia.
"Selama ini kebanyakan publik atau mungkin dunia internasional memahami, bahwa Indonesia adalah penjajah dan sebagainya tanpa mengetahui latar belakang," kata Refi, Kamis (27/2/2025). .
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Di balik sepanjang perjalanan integrasi ataupun invasi Indonesia ke Timor Lesteada hal-hal yang sangat humanistik, tidak banyak diketahui oleh publik maupun internasional. Buku Bumi Lorosae ini mengangkat kembali dan merefleksikan sejarah yang ada antara Indonesia dan Timor Leste," imbunya.
Refi mengatakan, proses kreatif dalam bukunya ini diangkat dari perjalanannya ke Timor Leste untuk melakukan riset pembuatan film Persahabatan Indonesia Timur Leste. Namun dia merasa sayang bila tidak membagikan ke khalayak.
"Karena memang ini menjadi hal yang sangat penting dan layak diketahui oleh semuanya tentang, apa sih yang sebenarnya terjadi selama ini antara Indonesia dan Timor Leste. Ini berjalan 1 tahun, 7 bulan, karena itu simultan, dimulai di tahun 2023," ujarnya.
Ia menjelaskan alasannya menuangkan cerita dalam tulisan novel, karena melihat sejarah sudah sering dituangkan dalam bentuk buku atau literasi penulisan sejarah. Tapi yang dia tulis menyesuaikan gaya zaman sekarang.
"Gaya bertutur atau bercerita itu juga penting untuk generasi ke depan. Saya pikir itu menjadi lebih menarik kemasannya ketika ini menjadi sebuah novel yang basisnya sejarah. Intinya adalah keterpanggilan sejarah untuk memberikan edukasi dan pengetahuan kepada publik, tapi dengan gaya menyesuaikan zamannya," jelasnya.
Dengan hadirnya Bumi Lorosae, Refi berharap generasi mendatang dapat lebih memahami kompleksitas hubungan antara Indonesia dan Timor Leste tanpa terjebak dalam luka masa lalu, melainkan dengan semangat rekonsiliasi dan kemanusiaan. Novel ini jug menjadi inspirasi film 'Saat Luka Bicara Cinta' yang segera masuk tahap produksi dan rencana tayang Agustus 2025.
Pesan yang disampaikan dalam buku ini ialah, perang merupakan sesuatu hal yang tidak baik dan harus dihindari oleh negara manapun dan era kolonialisme sudah berakhir. Lalu, setiap peristiwa, insiden, konflik perang selalu ada cinta dan humanity yang harus dikedepankan.
"Itulah yang ingin kita gaungkan, ingin kita sampaikan pesan kepada dunia, bahwa cinta itu lebih baik dan mengalahkan segala sesuatu perbedaan ataupun konflik apapun," pesannya.
Pada peluncuran dan diskusi novel Bumi Lorosae, Penyair dan Budayawan, Afrizal Malna menyebut, buku ini penting untuk generasi saat ini agar tahu Timor Leste atau Bumi Lorosae itu apa.
"Kita adalah bangsa yang mungkin mudah lupa. Republik Demokratik Timor Leste berdiri tahun 2002," kata Afrizal.
Afrizal menyebut novel ini menarik, karena berbasis sejarah dan dibuat puluhan tahun pasca berdirinya Timor Leste. Biasanya sejarah ditulis oleh pemenang, bukan yang kalah.
"Salah satu sejarah yang sulit kita bongkar adalah tahun 1965. Dan praktik militer kita di Timor Leste tidak jauh dari 1965. Mereka menggunakan rakyat untuk saling membunuh, agar tangan mereka bersih. Dari sini kita bisa melihat, bagaimana perempuan menulis darah, kekerasan, dan luka akibat perang," jelasnya.
Akademisi Sastra dan dosen FBS Unesa Ririe Rengganis membahas novel Refi, kesan pertama yang ia tangkap dimulai dari sampul bergambar Bunda Maria. Dia melihat perempuan yang ingin bercerita atau suara perempuan di konflik Bumi Lorosae.
Dalam sebuah perang dan konflik, lanjut Ririe, yang banyak menjadi korban ialah perempuan dan anak-anak. Kejahatan perang yang dilakukan oleh sistem, paling banyak menelan korban perempuan dan anak-anak.
Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa narasi sejarah juga harus banyak diulas oleh perempuan. Lantaran tidak banyak akademisi sejarah di Indonesia yang punya kepedulian terhadap penulisan sejarah dari sisi perempuan.
"Banyak konflik di negara ini berakarnya militer. Misalnya konflik 1965, reformasi 1998, hingga integrasi Timor-Timur. Ada represi orde baru terjadi di Bumi Lorosae, termasuk militer ketika menduduki Timor Timur. Kalau dulu kita pernah dikolonialisasi Belanda. Ternyata Indonesia pernah juga melakukan kolonisasi di Timor Timur," kata Riri.
Ia menjelaskan, cerita Bumi Lorosae ini unik dan perlu dibaca perlahan, agar bisa memahami narasi sejarah masuknya Timor Timur ke Indonesia. Di luar penggambaran sejarah masa lalu, aspek lain dalam novel ini, Ririe melihat penggambaran tentang upaya-upaya rekonsiliasi
"Kita bisa belajar bahwa karya sastra itu bukan Cuma hiburan, tapi juga jadi sumber sejarah yang selama ini dalam buku-buku sejarah hanya ditulis oleh pemenang. Dalam buku semacam ini, kita bisa dapat sudut pandang berbeda. Sisi lain dari peristiwa sejarah, dari sisi korban, atau dari sisi pelaku. Wahyuni Refi menuliskan secara rinci, bagaimana imbas penempatan Indonesia di Timor Timur sejak 1975 sampai 1999. Karya sastra bisa menjadi alat agar kita bisa melihat, bagaimana kekerasan di Timor Timur itu terjadi. Kita bisa menabung empati terhadap apa yang terjadi di sana," pungkasnya.
(abq/iwd)