Menelusuri Sejarah Candi Gunung Gangsir Pasuruan

Menelusuri Sejarah Candi Gunung Gangsir Pasuruan

Irma Budiarti - detikJatim
Selasa, 20 Agu 2024 17:05 WIB
Candi Gunung Gangsir di Pasuruan.
Candi Gunung Gangsir di Pasuruan. Foto: Instagram Disbudpar Provinsi Jawa Timur
Pasuruan -

Candi Gunung Gangsir berada di Desa Gunung Gangsir, Kecamatan Beji, Kabupaten Pasuruan. Candi Gunung Gangsir disebut-sebut sebagai bangunan tertua di Jawa Timur. Simak informasi seputar Candi Gunung Gangsir berikut ini.

Candi Gunung Gangsir telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya Peringkat Provinsi berdasarkan SK No 188/147/KPTS/013/2016. Candi Gunung Gangsir disebut juga Candi Kebon Candi karena berada di Dukuh Kebon Candi.

Dilansir Disbudpar Jatim, candi ini berada di ketinggian 23 meter di atas permukaan laut. Lokasinya cukup strategis, berbatasan dengan Kabupaten Sidoarjo di sisi barat, Kabupaten Probolinggo di sisi timur, dan Kabupaten Malang di sisi selatan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Asal-usul Nama Candi Gunung Gangsir

Dilansir laman Kabupaten Pasuruan, masyarakat mempercayai mitos bahwa nama 'Gunung' diambil dari lokasi bangunan candi yang dikelilingi gunung pada masa lalu. Sementara nama 'Gangsir' dalam bahasa Jawa 'nggangsir' memiliki arti menggali lubang di bawah permukaan tanah.

Kepercayaan yang berkembang di masyarakat, nama Gunung Gangsir berawal dari seseorang yang berusaha 'menggangsir' gunung ini untuk mencuri benda-benda berharga di dalam bangunan candi. Masyarakat kemudian mengenal bangunan ini dengan nama Candi Gunung Gangsir.

ADVERTISEMENT

Sejarah Candi Gunung Gangsir

Konon, Candi Gunung Gangsar dibangun pada masa pemerintahan Raja Airlangga sekitar abad ke-11 M. Candi Gunung Gangsir dibangun menggunakan bahan batu bata,meskipun diperkirakan berasal dari masa yang lebih awal sebelum masa pemerintahan Singasari.

Tidak banyak informasi mengenai Candi Gunung Gangsir. Namun, masyarakat sekitar mempunyai versi cerita bahwa pembangunan Candi Gunung Gangsir sebagai penghormatan kepada Nyi Sri Gati, yang dijuluki Mbok Randa Derma (janda murah hati).

Candi ini dibangun atas jasanya dalam membangun masyarakat pertanian di daerah itu. Nyi Sri Gati merupakan tokoh dalam legenda masyarakat setempat. Pada zaman dahulu, masyarakat setempat belum mengenal kehidupan bercocok tanam.

Mereka senang mengembara dan makanan utamanya adalah rerumputan. Suatu saat, rerumputan yang menjadi makanan pokok masyarakat mulai menipis. Pada saat itu, datanglah seorang wanita, entah dari mana asalnya, bernama Nyi Sri Gati.

Wanita itu mengajak para pengembara berdoa meminta petunjuk kepada Sang Hyang Widi tentang bagaimana caranya mengatasi kekurangan pangan yang terjadi. Tak lama kemudian, datang serombongan sebangsa burung gelatik membawa padi-padian, lalu menjatuhkannya di dekat para pengembara.

Nyi Sri Gati kemudian menanam padi yang jatuh itu. Beberapa bulan kemudian, tanaman Nyi Sri Gati sudah dapat dipanen. Nyi Sri Gati menumbuk hasil panennya untuk dijadikan beras, yang kemudian diolahnya menjadi nasi.

Ia pun mengajarkan cara bercocok tanam kepada para pengembara. Sejak saat itu, masyarakat pengembara menetap dan hidup dari bercocok tanam. Mereka menjadikan padi sebagai makanan pokoknya. Sebagian dari padi yang dijatuhkan burung tadi berubah menjadi permata yang membuat Nyi Sri Gati menjadi kaya raya.

Bangunan Candi Gunung Gangsir

Hingga saat ini, Candi Gunung Gangsir belum pernah mengalami pemugaran secara menyeluruh. Bangunan candi memang masih berdiri megah, namun banyak bagian yang telah hancur.

Candi Gunung Gangsir disebut pernah mengalami kerusakan berat saat masa penjajahan Jepang. Setelah Jepang pergi, penduduk memperbaiki bangunan candi sekadarnya. Sehingga beberapa potongan bata atau hiasan dinding terlihat sangat berbeda dengan tempatnya menempel, seperti menempel bukan di tempatnya.

Candi ini memiliki kaki berbentuk segi empat dengan ukuran sekitar 15 x 15 meter persegi. Tinggi bangunan mencapai sekitar 15 meter. Di dalam tubuh candi terdapat ruangan yang konon cukup luas, sehingga dapat menampung 50 orang.

Pintu masuk ke ruangan tersebut terletak di sebelah barat, berjarak sekitar 5 meter dari tanah. Terdapat tangga cukup lebar yang menjorok jauh ke barat untuk mencapai pintu tersebut. Namun, tangga tersebut sudah hancur sehingga sulit ditapaki.

Pada kiri dan kanan puncak tangga terdapat hiasan berupa pahatan gambar wadah berhiaskan sulur-suluran dan gambar seorang wanita. Hiasan tersebut sangat halus, nyaris terlihat sebagai hasil cetakan, bukan pahatan.

Terdapat relung seperti tempat meletakkan arca pada dinding di sisi kanan dan kiri atas pintu. Relung di sisi selatan sudah hancur, sementara sisi utara masih tampak bekasnya. Sementara atap candi berbentuk melengkung dengan ujung tumpul seperti puncak gunung.

Kini, bagian puncak atap juga sudah hancur. Meski begitu, masih terlihat lapik penyangga puncak atap. Jika dilihat dari belakang, bangunan candi tampak seperti bukit kecil yang terbuat dari batu bata.




(ihc/irb)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads