Fajar di ufuk timur baru saja menyingsing saat puluhan warga menuntun seekor kambing jantan. Hewan mamalia ini oleh warga dibawa ke bawah pohon besar tak jauh dari sebuah sumber mata air.
Dalam hitungan menit, kambing berukuran cukup besar ini sudah mati setelah seorang jagal menyembelihnya. Tak sampai di situ. Hewan ini langsung dipotong kepalanya hingga lepas dari tubuhnya.
Setelah dilakukan prosesi singkat dengan doa-doa, kepala kambing ini lantas dikubur di lobang yang telah disiapkan. Lengkap dengan ubo-rampe yang sebelumnya telah disiapkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Prosesi di atas merupakan salah satu ritual rokat atau ruwat Nyonteng Kolbuk yang dilakukan warga Desa/Kecamatan Sumberwringin Bondowoso.
Rokat Nyonteng Kolbuk berasal dari bahasa lokal (Madura), yang artinya meruwat sumber mata air. Ritual ini merupakan tradisi turun-temurun di desa itu yang bertujuan menyelamati (mendoakan) sumber mata air.
Ritual ini dilakukan dan diikuti warga setempat di sebuah sumber mata air. Tempat ini berada di tengah rerimbunan pohon-pohon besar yang berada di dasar jurang.
Ritual Nyonteng Kolbuk digelar setiap sekali dalam setahun, tepatnya saat bulan Suro atau Muharam. Penyembelihan kambing serta mengubur kepalanya merupakan prosesi ritual pertama yang biasanya digelar setelah salat Subuh.
Menurut kepercayaan masyarakat setempat, sumber mata air tersebut sangat membantu masyarakat dengan sumber airnya yang tak pernah mengecil.
"Sumber air tersebut memang tak pernah kecil, meski musim kemarau panjang sekalipun," ujar Kepala Desa Sumberwringin Dedi Hendriyanto saat berbincang dengan detikJatim, Kamis (24/8/2023).
Seluruh rangkaian Nyonteng Kolbuk dipimpin oleh tetua desa setempat. Dan diikuti semua lapisan masyarakat di desa yang terletak di lereng Gunung Ruang tersebut.
"Kalau zaman dulu, seluruh warga pasti ikut. Bahkan mereka membawa sendiri alas atau tikar dari rumah masing-masing," jelas Hendri, sapaan karib Kades.
Selain menyembelih dan mengubur kepala kambing, ritual Nyonteng Kolbuk juga diikuti pasar tani. Yakni saling bertukar hasil bumi antar warga desa. Hal itu dilakukan sebagai bentuk syukur atas hasil pertaniannya.
Namun dalam situasi kekinian, pasar tani tak berkonsep saling bertukar hasil bumi, namun berubah menjadi hasil bumi dijual kepada warga lain yang membutuhkannya. Namun hal itu tetap tak mengurangi nilai sakralnya sebagai bentuk syukur.
Kembali ke ritual Nyonteng Kolbuk. Bagi warga desa, rangkaian beserta syarat dan ketentuannya sudah berlangsung sejak zaman dulu. Dan itu tak boleh ada yang kurang atau terlewat satupun.
Sebab, jika ada yang terlewatkan atau kurang lengkap, dipercaya niat tersebut tak akan dikabulkan atau gagal. Akibatnya, bisa jadi akan ada mara bahaya yang akan menimpa warga desa.
"Dulu katanya pernah ada prosesi atau syarat ritual yang terlewati. Lalu kejadian Gunung Raung meletus dan menimpa warga desa," tutur Suhari, salah seorang warga desa.
Setelah kejadian tersebut, seluruh rangkaian ritual Nyonteng Kolbuk dilalui dengan seksama. Pun termasuk pantangan yang memang dilarang dalam prosesi tersebut.
Sekadar diketahui, Desa Sumberwringin merupakan desa terluar di Kecamatan Sumberwringin, Bondowoso. Desa ini berada di lereng dan berbatasan langsung dengan Gunung Raung.
(sun/iwd)