3 Versi Cerita Buto Melahap Bulan di Balik Fenomena Gerhana

3 Versi Cerita Buto Melahap Bulan di Balik Fenomena Gerhana

Nanda Syafira - detikJatim
Jumat, 05 Mei 2023 07:00 WIB
Salah satu fenomena alam akan terjadi pada tanggal 5 Mei 2023, yaitu gerhana bulan penumbra. Lalu, bagaimana proses gerhana bulan penumbra? Cek informasinya!
Ilustrasi/Foto: AFP via Getty Images/CHAIDEER MAHYUDDIN
Surabaya -

Pada Jumat (5/5/2023) akan terjadi gerhana bulan penumbra. Dalam sebuah kepercayaan masyarakat Jawa, gerhana bulan digambarkan sebagai momen di mana Buto melahap bulan.

Buto merupakan makhluk raksasa yang juga dikenal dengan sebutan Batara Kala atau Kala Rahu. Dalam cerita yang berkembang disebutkan, Batara Kala menaruh dendam kepada Batara Soma atau Dewa Bulan.

Cerita Buto Melahap Bulan:

1. Versi I

Mengutip situs Parisada Hindu Dharma Indonesia Pusat, alkisah Kala Rahu ingin mempersunting salah seorang dewi kahyangan. Namun hasrat tersebut ditolak mentah-mentah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Meski begitu, Kala Rahu tetap memaksa sang dewi. Dewa Surya (Matahari) dan Dewa Candra (Bulan) yang tak suka melihat pemaksaan itu kemudian mengadu kepada Dewa Wisnu.

Seorang Sejarawan Bangka, Akhmad Elvian menjabarkan Dewa Wisnu menghukum Kala Rahu dengan memanah lehernya hingga terputus dari badan. Kepala Kala Rahu jatuh ke dalam Telaga Amerta yang dikenal berisi air suci untuk keabadian para dewa.

ADVERTISEMENT

Kepala raksasa yang abadi itu kemudian membalas dendam. Sehingga sang dewi selalu bersembunyi di bulan maupun matahari.

Itu alasan mengapa Kala Rahu selalu berusaha memakan bulan dan matahari. Ia ingin sang Dewi muncul. Gerhana bulan diibaratkan peristiwa itu.

Atas kepercayaan itu, masyarakat pada suatu zaman menyemarakkan bebunyian. Mereka menggunakan bebunyian sebagai senjata untuk menghalau Kala Rahu atau Buto.

Mereka percaya, bebunyian dapat menembus langit. Sehingga dapat menghempas angin-angin serta menembak Buto. Semakin riuh bebunyian yang dihasilkan, maka semakin besar kekuatan yang dikerahkan.

Masyarakat waktu itu memukul lesung agar Buto memuntahkan bulan yang dimakan. Kekalahan Buto ditandai dengan bulan yang kembali bersinar.

2. Versi II

Dalam naskah Jawa Kuno Adiparwa tahun 998 Masehi, yang diduga sebagai naskah paling tertua di Tanah Air, juga diceritakan mengenai mitologi gerhana yang serupa. Di mana ada sesosok raksasa pemakan bulan dan matahari. Namun, raksasa tersebut tidak bernama.

Dalam Bab IV naskah tersebut tertulis, raksasa itu berubah wujud menjadi dewa dengan meminum air amerta. Sang Hyang Aditya (Dewa Matahari) dan Sang Hyang Candra (Dewa Bulan) yang mengetahui ulah sang raksasa kemudian mengadukannya kepada Dewa Wisnu.

Sehingga sewaktu air amerta memasuki kerongkongannya, Dewa Wisnu segera memenggal lehernya. Badan raksasa yang belum terkena air kemudian mati dan jatuh ke tanah. Peristiwa tersebut disebutkan ditandai dengan gempa bumi.

Namun kepala raksasa melayang-layang di angkasa karena sudah terkena air suci amerta. Rasa dendam terhadap bulan dan matahari membuat raksasa selalu berusaha melahapnya.

3. Versi III

Juga ada cerita serupa yang berasal dari lakon dalam pewayangan bertajuk Samudramantana. Inti dari cerita ini adalah kisah tentang perebutan air suci tirta amerta antara para dewa dan asura (raksasa atau makhluk jahat).

Perseteruan itu terjadi karena sumber air suci tersebut berkhasiat keabadian bagi yang meminumnya. Dewa Wisnu kemudian mengusulkan agar kedua belah pihak bekerja sama untuk mendapatkannya.

Namun, usai mendapatkan tirta amerta, mereka kembali memperebutkannya. Burung Garuda kemudian mengamankan dengan membawa terbang jauh tirta amerta.

Dewa Wisnu menjelma wanita untuk membagikan tirta amerta. Air suci ini dibagikan kepada para dewa terlebih dahulu.

Namun dari kelompok asura yang bernama Swarbanu mengetahui hal itu. Ia kemudian berubah wujud menjadi dewa untuk mendapat tirta amerta terlebih dahulu.

Perbuatannya itu diketahui dewa bulan dan matahari. Sehingga mereka mengadukannya.

Modus tersebut kemudian diketahui Dewa Wisnu. Ia memenggal kepala Swarbanu tepat sesaat Swarbanu sedang meminum tirta amerta.

Air suci yang menyentuh kerongkongannya tersebut kemudian menyebabkan kepalanya masih bisa hidup. Kepala yang disebut Rahu itu kemudian membalaskan dendam dengan selalu berusaha memakan matahari dan bulan.

Meski ada banyak versi mengenai mitologi di balik gerhana, semuanya memiliki inti cerita yang sama. Cerita soal raksasa yang selalu ingin melahap bulan dan matahari.

Gerhana Bulan Menurut BMKG

Gerhana bulan adalah peristiwa terhalanginya cahaya matahari oleh bumi sehingga tidak semuanya sampai ke bulan. Peristiwa yang merupakan salah satu akibat dinamisnya pergerakan posisi matahari, bumi, dan bulan ini hanya terjadi pada saat fase purnama dan dapat diprediksi sebelumnya.

1. Gerhana Bulan Total

Gerhana bulan total merupakan peristiwa yang terjadi ketika seluruh bayangan umbra bumi jatuh menutupi bulan. Sehingga matahari-bumi-bulan berada tepat dalam satu garis yang sama.

2. Gerhana Bulan Sebagian

Gerhana bulan sebagian atau yang disebut gerhana bulan parsial, merupakan gerhana bulan yang terjadi ketika bumi tidak secara keseluruhan menghalangi bulan dari sinar matahari. Sebagian permukaan bulan berada di daerah penumbra, sehingga masih terdapat sebagian sinar matahari yang sampai ke permukaan bulan.

3. Gerhana Bulan Penumbra

Gerhana bulan penumbra merupakan gerhana bulan yang terjadi ketika seluruh bagian bulan berada di bagian penumbra. Sehingga bulan masih dapat terlihat namun dengan warna yang suram.

Gerhana bulan penumbra dapat terjadi ketika bulan, matahari dan bumi berada dalam posisi sejajar sehingga bulan hanya masuk ke bayangan penumbra bumi. Akibatnya, bulan terlihat lebih redup dari saat purnama.




(sun/iwd)


Hide Ads