Mengenal KH Musthofa, Ulama Besar Mojokerto Berjuluk 'Kiai Tiban'

Urban Legend

Mengenal KH Musthofa, Ulama Besar Mojokerto Berjuluk 'Kiai Tiban'

Enggran Eko Budianto - detikJatim
Kamis, 13 Apr 2023 12:56 WIB
Mengenal KH Musthofa, Ulama Besar Mojokerto Berjuluk Kiai Tiban
KH Musthofa, Ulama Berjuluk 'Kiai Tiban' di Mojokerto (Foto: Enggran Eko Budianto)
Mojokerto -

Banyak ulama yang berjasa besar menyebarkan Islam di Mojokerto. Salah satunya KH Moh Musthofa yang berjuluk 'Kiai Tiban'. Pemilik nama asli Mustamin ini mendapatkan julukan tersebut karena konon ilmu agama tiba-tiba saja jatuh kepada dirinya.

Lantunan azan dari Masjid Al Musthofa memecah keheningan di dalam makam. Aroma wangi begitu kuat di dalam makam berbalut kain putih bersih ini. Pada dinding sebelah utara dipajang foto semasa hidup sosok yang dimakamkan di tempat ini. Yaitu KH Moh Musthofa yang wafat 27 September 1955.

Makam tunggal di belakang Masjid Al Musthofa, Dusun Kedungsumur, Desa Canggu, Kecamatan Jetis ini menjadi peristirahatan terakhir ulama kondang pada zamannya. Sekelumit kisah hidupnya dituturkan Muhammad Arif Billah, warga Dusun Kedung Klinter, Canggu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Arif merupakan putra H Muhammad Syufai. Mendiang ayahnya mempunyai guru bernama Abdulloh Salam, salah seorang pendiri Yayasan Al Musthofa. Salam sendiri teman dari santri KH Musthofa bernama Muhammad Mustofa dari Desa Gayam, Bangsal, Mojokerto. Mustofa adalah santri KH Musthofa yang mewarisi Tarikat Qadariyah Naqsabandiyah.

Semasa kecilnya dulu, pria yang saat ini mengajar sejarah kebudayaan Islam (SKI) di MTs Al Musthofa ini mengaku kerap ikut ayahnya berkunjung ke para santri KH Musthofa. Sehingga sekelumit kisah hidup KH Musthofa masih tersimpan di dalam memorinya.

ADVERTISEMENT

"Kiai Musthofa awal mulanya suka ilmu kanuragan, ilmu abangan untuk kuda lumping, atau ilmu hitamlah. Sering menghabiskan uang orang tua untuk berjudi," kata Arif mengawali perbincangan dengan detikJatim di musala depan rumahnya, Kamis (13/4/2023).

Menurut Arif, KH Musthofa lahir di Dusun Kedung Klinter dengan nama Mustamin sekitar tahun 1883. Ayahnya menjabat Kepala Desa Canggu bernama Singokerto. Sedangkan istrinya bernama Marfuah asli warga Dusun Kedungsumur. Sayangnya, putranya meninggal ketika baru berusia 2 tahun.

Praktis KH Musthofa tidak mempunyai seorang pun keturunan. Ia baru menuntut ilmu di pondok pesantren ketika berusia dewasa. Menurut Arif, Mustamin mondok di usia 30-40 tahun. Antara lain di Ponpes Sidoresmo atau Ndresmo, Surabaya, di Ngares, Sukodono, Sidoarjo, serta di Njrebeng sekitar Krian, Sidoarjo.

Berbeda dengan santri pada umumnya yang menimba ilmu bertahun-tahun di pesantren, lanjut Arif, Mustamin hanya mondok sebentar. Namun, ilmu agama seolah-olah jatuh kepada dirinya. Sehingga Mustamin tiba-tiba saja menjadi ulama yang mumpuni.

"Beliau mondoknya sudah agak tua baru mencari ilmu, seperti Sunan Kalijaga. Makanya dapat julukan Kiai Tiban, kiai yang tiba-tiba bisa," ungkapnya.

Ketua PC Lembaga Ta'lif wan Nasyr (LTN) NU Kabupaten Mojokerto, Isno Woeng Sayun menjelaskan, Mustamin muda begitu tergila-gila dengan ilmu kanuragan. Putra Lurah Singokerto itu menyerap banyak ilmu putih dan hitam dari berbagai guru. Namun, ia gemar menguji kesaktiannya dengan berkelahi, mencuri dan perbuatan onar lainnya.

Alih-alih sosoknya begitu ditakuti, ulah Mustamin juga meresahkan masyarakat. Lurah Singokerto pun turun tangan sembari mencari tahu tujuan putranya berbuat onar. Rupanya Mustamin hanya ingin menjadi sakti. Sehingga sang ayah berjanji mencarikan guru untuk mencapai tujuannya itu. Mustamin pun diarahkan menimba ilmu di Pesantren Sidoresmo, Surabaya yang kala itu diasuh KH Baidlowi.

"Mustamin tidak diajar mengaji, tetapi hanya ditugasi menabuh beduk untuk salat lima waktu. Maka ia sering diejek teman temannya, akan memperoleh ilmu apa kelak kalau nyantrinya hanya menabuh beduk saja. Dijawab oleh Mustamin kalau yang ia perbuat hanya menaati perintah gurunya," jelasnya.

KH Musthofa, Ulama Berjuluk 'Kiai Tiban' di MojokertoMakam KH Musthofa (Foto: Enggran Eko Budianto)

Hanya satu tahun di Pesantren Sidoresmo, Mustamin pindah ke Pati, Jateng. Lagi-lagi ia tidak pernah diajar mengaji oleh gurunya. Setiap hari ia ditugasi menaja meja untuk para santri lain mengaji. Mustamin pun nekat menguping pengajian dari atas genting. Sampai suatu hari ia tertidur di atas genting.

Ia terjatuh dari atap bertepatan dengan kiainya keluar dari tempat mengaji. Sontak saja gurunya pun marah. Mustamin pun meminta maaf. Ia nekat memanjat genting karena sangat ingin mengaji. Namun, sang guru tetap mengusirnya sambil mengatakan 'Kalau begitu ilmuku ambil semua'.

"Kata-kata kiai itu yang kemudian menjadi sebab ilmu laduni diperoleh Mustamin. Ia memiliki ilmu tingkat tinggi, pandai membaca kitab kuning, perbendaharaan kitabnya pun begitu melimpah," ungkap Isno.

Selanjutnya, Mustamin menimba ilmu di pesantren Jrebeng, Krian, Sidoarjo yang diasuh KH Dasuki. Namun, para santri menolaknya tidur di dalam pondok maupun masjid. Mereka menilai Mustamin najis karena konon ia pernah mempelajari ilmu kanuragan dengan meminum darah anjing. Sehingga ia terpaksa tidur di lapangan.

Pada suatu hari ketika akan salat malam, KH Dasuki melihat cahaya menembus langit dari Mustamin yang tidur di lapangan. Sehingga pria yang sebelumnya dikenal sakti dan kerap berbuat onar itu dibaiat menjadi pengikut Tarikat Naqsabandiyah Qodiriyah. Selesai menimba ilmu, ia pulang kampung dan meminta dibangunkan masjid oleh ayahnya di Dusun Kedungsumur.

"Warga berduyun-duyun ikut membangun masjid. Di Masjid Al Musthofa itulah Mustamin memulai dakwahnya. Ia mulai menerima santri," terang Isno.

Nama Mustamin diganti dengan Moh Musthofa setelah menunaikan haji. Menurut Isno, ilmu agama yang dimiliki KH Musthofa diakui para santri yang pernah mengaji kitab-kitab berbahasa Arab dengannya. Koleksi kitabnya juga berjibun. Bahkan, Kiai Musthofa memiliki karya kitab berbahasa Arab tentang tarikat.

"KH Musthofa wafat tanggal 27 September 1955. Tiap tahun, khususnya pada bulan Saffar, peringatan haul dilakukan," tandasnya.

Dakwah dan Kesaktian KH Musthofa, Ulama Besar Mojokerto Berjuluk 'Kiai Tiban'

KH Musthofa, Ulama Berjuluk Kiai Tiban di Mojokerto Masjid Al Musthofa di Canggu (Foto: Enggran Eko Budianto)
KH Moh Musthofa juga mempunyai jasa besar dalam penyebaran Islam di Mojokerto. Ulama kelahiran Desa Canggu, Kecamatan Jetis ini dijuluki 'Kiai Tiban' karena konon ilmu agama jatuh tiba-tiba kepada dirinya. Selain itu, ia juga mempunyai banyak kesaktian.

Ketua PC Lembaga Ta'lif wan Nasyr (LTN) NU Kabupaten Mojokerto, Isno Woeng Sayun menerangkan, KH Musthofa mempunyai nama asli Mustamin, putra dari Kepala Desa Canggu, Singokerto. Mustamin yang sebelumnya tergila-gila dengan ilmu kanuragan, berubah haluan menjadi santri.

Mustamin pernah menimba ilmu di Pesantren Sidoresmo, Surabaya, di Pati, Jateng, serta di Pesantren Jrebeng, Krian, Sidoarjo. Dari tiga pesantren itu, ia mendapatkan ilmu laduni sehingga menjadi 'Kiai Tiban'. Karena Mustamin hanya sebentar menjadi santri. Namun, ia benar-benar menaati semua perintah gurunya.

Sepulang dari menimba ilmu, Mustamin meminta ayahnya membangun masjid di Dusun Kedungsumur, Desa Canggu. Masjid yang kini bernama Al Musthofa itu menjadi tempat Mustamin berdakwah dengan mengajar mengaji para santri.

"Di tengah kesibukannya mengajar ngaji para santrinya, ia merasa belum sempurna perjalanannya sebelum berangkat haji. Usai menjalankan ibadah haji itulah namanya berubah menjadi KH Moh Musthofa," terangnya kepada detikJatim, Minggu (9/4/2023).

Kiai Musthofa mengajarkan ilmu Tarikat Qadariyah Naqsabandiyah di masjid tersebut. Tidak hanya dari Desa Canggu dan sekitarnya, santrinya datang dari berbagai daerah dengan beragam latar belakang. Tak sedikit pencuri dan orang sakti yang menjadi santrinya setelah ia taklukkan.

Saking banyaknya pengikut Kiai Musthofa, lanjut Isno, masjid Al Musthofa menjelma bak pasar setiap pengajian rutin Kamisan. Bahkan, sejumlah ulama besar Mojokerto pernah berguru kepadanya. Seperti KH Achyat Chalimi dan Kiai Bajuri, Mojosari. Kiai Bajuri belajar kanuragan dari Kiai Musthofa untuk berjuang melawan Belanda.

"Bisa jadi para pejuang kemerdekaan menjadikan Kiai Musthofa sebagai jujukan. Karena pada usia itu, beliau tergolong kiai yang disepuhkan juga terkenal akan kesaktiannya," jelasnya.

KH Musthofa sejatinya dikaruniai seorang putra buah pernikahannya dengan Marfuah, warga Dusun Kedungsumur. Namun, ia menerima petunjuk kalau kelak anaknya sangat nakal dan tidak mempunyai jalan bertobat. Sehingga ia mengumpulkan para santri untuk berdoa kepada Allah SWT memohon yang terbaik bagi putranya.

"Dari peristiwa itu, pada akhirnya anak KH Musthofa memang benar-benar meninggal dunia," ungkapnya.

Sampai wafat 27 September 1955, KH Musthofa tidak mempunyai keturunan. Jenazahnya dimakamkan di belakang Masjid Al Musthofa. Haulnya masih rutin diperingati oleh anak-anak dan cucu dari para santrinya. Sayangnya, Kiai Musthofa wafat tanpa menunjuk penerus tarikatnya sehingga sempat vakum.

"Namun, di kemudian hari ada salah satu santrinya bermimpi dan diberi tongkat sebagai penanda estafet kepemimpinan berikutnya. Namanya Mustofa asal Sawahan, Bangsal," cetusnya.

Pemerhati Sejarah Hidup KH Musthofa, Muhammad Arif Billah menuturkan KH Musthofa lahir di Dusun Kedung Klinter dengan nama Mustamin sekitar tahun 1883. Ayahnya menjabat Kepala Desa Canggu bernama Singokerto. Sedangkan istrinya bernama Marfuah, warga Dusun Kedungsumur. Sayangnya, putranya meninggal ketika baru berusia 2 tahun.

Menurut Arif, Kiai Musthofa mulai berdakwah setelah mondok di beberapa pesantren yang hanya sebentar. Menurutnya, ulama kelahiran Dusun Kedung Klinter, Desa Canggu itu dijuluki Kiai Tiban. Karena tiba-tiba saja menguasai ilmu agama. Putra Lurah Singokerto itu mengawali dakwah dengan mendirikan pamulangan di sebelah selatan sungai Desa Canggu.

Pamulangan itu berupa bangunan panggung berbahan kayu yang membelakangi sungai. Pada kondisi sekarang, posisinya di sebelah utara Masjid Al Musthofa. Sayangnya, bangunan tersebut tak tersisa sedikit pun. Kala itu, santrinya sekitar 60-70 orang saja.

"Setelah banyak santri, inisiatif membuat masjid, ada yang mengatakan tahun 1935. Bentuknya seperti Masjid Demak, atapnya bersusun, ada tangga untuk azan. Bangunannya sekarang sudah tidak ada," jelasnya.

Semasa hidupnya, lanjut Arif, Kiai Musthofa mengajarkan Tarikat Qadariyah Naqsabandiyah. Kitab-kitab yang dia ajarkan kepada para santri antara lain Sufi Syahadat, Kitab Majnullah, serta Kitab Bidayatul Hidayah. Dakwah Kiai Musthofa membuat mayoritas masyarakat Desa Canggu taat beribadah. Santrinya juga datang dari berbagai daerah.

"Saat itu, Canggu banyak orang abangan, belum banyak mengenal agama, belum mengenal baca Al-Qur'an, hanya beberapa orang yang taat beribadah. Masih banyak perjudian, miras. Kiai Musthofa mempunyai kelebihan sehingga ditokohkan," ungkapnya.

Kesaktian Kiai Musthofa membuatnya ditakuti penjajah Belanda. Menurut Arif, pernah suatu ketika tentara kolonial merampas kitab-kitab dari kediaman KH Musthofa. Semua kitab itu diboyong ke markas Belanda di Kota Mojokerto. Namun, penjajah mengembalikan kitab-kitab itu lantaran mendung gelap tiba-tiba datang. Mereka pun takut dengan kesaktian sang kiai.

"Kiai Musthofa hanya duduk murobek. Mendung gelap datang, pimpinan Belanda ketakutan dengan ilmunya Kiai Musthofa," terangnya.

Ketika barisan Hizbullah berjuang mengusir Belanda di Surabaya tahun 1945, kata Arif, KH Musthofa juga mengirim 25 santrinya untuk mengangkat senjata. Pengiriman 25 santri itu atas permintaan KH Achyat Chalimi. Kiai Musthofa pun membekali para santri dengan amalan-amalan sebelum berperang di Krian, Sidoarjo.

"Mereka perang di Krian, Sidoarjo, 25 santri itu melawan tank tak ada yang terbunuh," ujarnya.

Ilmu tarikat KH Musthofa mengajarkan para santri menyembah nama Allah SWT beserta makna dan hakikatnya. Bahkan, ilmu tarikat itu konon juga membuat para santri bisa memprediksi kematian. Dengan ilmu itu, menurut Arif, para pengikut Kiai Musthofa bisa merasakan tanda-tanda akan datangnya kematian.

"Saya menyaksikan sendiri yang terjadi pada mbah-mbah saya, terakhir ibu saya," ungkapnya.

KH Musthofa wafat pada 27 September 1955. Jenazahnya dimakamkan di belakang Masjid Al Musthofa. Menurut Arif, rumah Kiai Musthofa dulunya persis di sebelah selatan masjid tersebut. Namun, kini sudah dibongkar habis. "Ketika waktu asar, beliau meminta para santrinya menunggu di luar. Sedangkan beliau masuk ke dalam rumah. Kemudian beliau meninggal," tandasnya.

Warisan Berharga KH Musthofa, Ulama Besar Mojokerto Berjuluk 'Kiai Tiban'

KH Musthofa, Ulama Berjuluk Kiai Tiban di Mojokerto Sekolah peninggalan KH Musthofa (Foto: Enggran Eko Budianto)
KH Moh Musthofa mengajarkan Tarikat Qadariyah Naqsabandiyah hingga mempunyai banyak santri. Ulama berjuluk 'Kiai Tiban' asal Desa Canggu, Jetis, Mojokerto itu juga mempunyai banyak kesaktian. Meski telah lama tiada, warisannya yang sangat berharga sampai kini masih bisa dinikmati masyarakat.

KH Musthofa lahir di Dusun Kedung Klinter dengan nama Mustamin sekitar tahun 1883. Ayahnya menjabat Kepala Desa Canggu bernama Singokerto. Sedangkan istrinya bernama Marfuah, warga Dusun Kedungsumur. Sayangnya, putranya meninggal ketika baru berusia 2 tahun.

Sehingga Kiai Musthofa tidak mempunyai keturunan. Mustamin pernah menimba ilmu di Pesantren Sidoresmo, Surabaya, di Pati, Jateng, serta di Pesantren Jrebeng, Krian, Sidoarjo. Dari tiga pesantren itu, ia mendapatkan ilmu laduni sehingga menjadi 'Kiai Tiban'. Karena Mustamin hanya sebentar menjadi santri. Namun, ia benar-benar menaati semua perintah gurunya.

Pulang dari mondok, Kiai Musthofa berdakwah di Desa Canggu. Ia mendirikan pamulangan untuk mengajar ilmu Tarikat Qadariyah Naqsabandiyah di lahan warisan keluarganya. Pamulangan berupa bangunan panggung berbahan kayu di sebelah selatan sungai Dusun Kedungsumur. Posisinya saat ini di sebelah utara Masjid Al Musthofa. Sayangnya, bangunan itu sudah tak tersisa.

Karena santrinya semakin banyak, Kiai Musthofa mendirikan masjid di sebelah selatan pamulangan sekitar tahun 1935. Masjid itu dulunya mirip dengan Masjid Agung Demak sebab atapnya bersusun. Sedangkan rumahnya persis di sebelah selatan masjid. Selain dari Canggu dan sekitarnya, para santri juga datang dari berbagai daerah.

Kini, semua bangunan itu sudah tiada karena digantikan dengan bangunan modern yang dinamai Masjid Al Musthofa. Ulama yang dikenal sakti itu wafat 27 September 1955. Jenazahnya dimakamkan di belakang Masjid Al Musthofa. Meski begitu, keharuman namanya masih terus dikenang. Haulnya rutin diperingati para santri maupun anak cucu santri di Masjid Al Musthofa.

Tidak hanya itu, warisan Kiai Musthofa juga masih bisa dinikmati masyarakat sampai saat ini. Lahan miliknya yang dulu menjadi masjid dan pamulangan, kini diwakafkan untuk masjid dan lembaga pendidikan di bawah naungan Yayasan Al Musthofa. Bahkan, tanahnya kian luas seiring berkembang pesatnya lembaga pendidikan tersebut.

"Tanah ini sudah diwakafkan. Lahan sekarang lebih dari 1 hektare, sudah ada perluasan lahan sekitar 40 persen dari aslinya dulu," kata Kepala MTs Al Musthofa, Taufiqurohman kepada detikJatim di kantornya, Jalan Raya Canggu nomor 303 A, Kamis (13/4/2023).

Sejak Kiai Musthofa wafat, para santri meneruskan pamulangan untuk mengajarkan ilmu agama kepada anak-anak di Desa Canggu dan sekitarnya. Selanjutnya, mereka mengubah tempat mengaji itu menjadi Madrasah Ibtidaiyah (MI) Al Musthofa. Bangunan sekolah dasar itu di sebelah utara masjid yang sekarang menjadi menara masjid.

"Saya tidak tahu persis kapan berdirinya MI itu. Sejak saya usia SD, MI sudah ada. Usia saya sekarang 57 tahun," terangnya.

Seiring berjalannya waktu, MI Al Musthofa kian diminati masyarakat. Madrasah di Dusun Kedungsumur, Desa Canggu ini mempunyai 6 kelas, setiap kelas berisi 25-30 siswa. Sehingga tahun 1988, berdirilah Madrasah Tsanawiyah (MTs) Al Musthofa untuk menampung lulusan MI.

Taufiqurohman mengajar di MTs Al Musthofa sejak awal berdirinya. Kala itu, sekolah jenjang SMP ini hanya mempunyai 40 siswa. Ia sempat mengajar Matematika, IPA, Bahasa Indonesia dan Ekonomi. Akhirnya ia diangkat menjadi kepala sekolah tahun 2016. Disusul pendirian Madrasah Aliyah (MA) Al Musthofa tahun 1995.

Tiga lembaga pendidikan itu berkembang sangat pesat. Saat ini, MI Al Musthofa mempunyai 18 kelas dengan sekitar 600 siswa. MTs Al Musthofa mempunyai 14 kelas dengan sekitar 380 siswa. Masing-masing angkatan mempunyai 1 kelas unggulan. Sedangkan MA Al Musthofa mempunyai 6 kelas dengan sekitar 140 siswa.

"Mungkin program pendidikannya selalu inovatif mengikuti perkembangan. Kelas unggulan ada tambahan english training program dan Bahasa Arab di luar jam pelajaran, serta pelajaran tambahan sains," jelasnya.

Pemerhati Sejarah Hidup KH Musthofa, Muhammad Arif Billah menambahkan, pamulangan dilanjutkan para santri sejak KH Musthofa wafat 27 September 1955. Menurutnya, tempat mengaji itu mulai diformalkan menjadi lembaga pendidikan MI Al Musthofa sekitar tahun 1958.

"Ayah saya pernah mengaji, lalu mengajar di situ, kemudian menikah dengan santrinya," tandasnya.

Halaman 2 dari 3
(dpe/iwd)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads