Banyak ulama yang berjasa besar menyebarkan Islam di Mojokerto. Salah satunya KH Moh Musthofa yang berjuluk 'Kiai Tiban'. Pemilik nama asli Mustamin ini mendapatkan julukan tersebut karena konon ilmu agama tiba-tiba saja jatuh kepada dirinya.
Lantunan azan dari Masjid Al Musthofa memecah keheningan di dalam makam. Aroma wangi begitu kuat di dalam makam berbalut kain putih bersih ini. Pada dinding sebelah utara dipajang foto semasa hidup sosok yang dimakamkan di tempat ini. Yaitu KH Moh Musthofa yang wafat 27 September 1955.
Makam tunggal di belakang Masjid Al Musthofa, Dusun Kedungsumur, Desa Canggu, Kecamatan Jetis ini menjadi peristirahatan terakhir ulama kondang pada zamannya. Sekelumit kisah hidupnya dituturkan Muhammad Arif Billah, warga Dusun Kedung Klinter, Canggu.
Arif merupakan putra H Muhammad Syufai. Mendiang ayahnya mempunyai guru bernama Abdulloh Salam, salah seorang pendiri Yayasan Al Musthofa. Salam sendiri teman dari santri KH Musthofa bernama Muhammad Mustofa dari Desa Gayam, Bangsal, Mojokerto. Mustofa adalah santri KH Musthofa yang mewarisi Tarikat Qadariyah Naqsabandiyah.
Semasa kecilnya dulu, pria yang saat ini mengajar sejarah kebudayaan Islam (SKI) di MTs Al Musthofa ini mengaku kerap ikut ayahnya berkunjung ke para santri KH Musthofa. Sehingga sekelumit kisah hidup KH Musthofa masih tersimpan di dalam memorinya.
"Kiai Musthofa awal mulanya suka ilmu kanuragan, ilmu abangan untuk kuda lumping, atau ilmu hitamlah. Sering menghabiskan uang orang tua untuk berjudi," kata Arif mengawali perbincangan dengan detikJatim di musala depan rumahnya, Kamis (13/4/2023).
Menurut Arif, KH Musthofa lahir di Dusun Kedung Klinter dengan nama Mustamin sekitar tahun 1883. Ayahnya menjabat Kepala Desa Canggu bernama Singokerto. Sedangkan istrinya bernama Marfuah asli warga Dusun Kedungsumur. Sayangnya, putranya meninggal ketika baru berusia 2 tahun.
Praktis KH Musthofa tidak mempunyai seorang pun keturunan. Ia baru menuntut ilmu di pondok pesantren ketika berusia dewasa. Menurut Arif, Mustamin mondok di usia 30-40 tahun. Antara lain di Ponpes Sidoresmo atau Ndresmo, Surabaya, di Ngares, Sukodono, Sidoarjo, serta di Njrebeng sekitar Krian, Sidoarjo.
Berbeda dengan santri pada umumnya yang menimba ilmu bertahun-tahun di pesantren, lanjut Arif, Mustamin hanya mondok sebentar. Namun, ilmu agama seolah-olah jatuh kepada dirinya. Sehingga Mustamin tiba-tiba saja menjadi ulama yang mumpuni.
"Beliau mondoknya sudah agak tua baru mencari ilmu, seperti Sunan Kalijaga. Makanya dapat julukan Kiai Tiban, kiai yang tiba-tiba bisa," ungkapnya.
Ketua PC Lembaga Ta'lif wan Nasyr (LTN) NU Kabupaten Mojokerto, Isno Woeng Sayun menjelaskan, Mustamin muda begitu tergila-gila dengan ilmu kanuragan. Putra Lurah Singokerto itu menyerap banyak ilmu putih dan hitam dari berbagai guru. Namun, ia gemar menguji kesaktiannya dengan berkelahi, mencuri dan perbuatan onar lainnya.
Alih-alih sosoknya begitu ditakuti, ulah Mustamin juga meresahkan masyarakat. Lurah Singokerto pun turun tangan sembari mencari tahu tujuan putranya berbuat onar. Rupanya Mustamin hanya ingin menjadi sakti. Sehingga sang ayah berjanji mencarikan guru untuk mencapai tujuannya itu. Mustamin pun diarahkan menimba ilmu di Pesantren Sidoresmo, Surabaya yang kala itu diasuh KH Baidlowi.
"Mustamin tidak diajar mengaji, tetapi hanya ditugasi menabuh beduk untuk salat lima waktu. Maka ia sering diejek teman temannya, akan memperoleh ilmu apa kelak kalau nyantrinya hanya menabuh beduk saja. Dijawab oleh Mustamin kalau yang ia perbuat hanya menaati perintah gurunya," jelasnya.
Hanya satu tahun di Pesantren Sidoresmo, Mustamin pindah ke Pati, Jateng. Lagi-lagi ia tidak pernah diajar mengaji oleh gurunya. Setiap hari ia ditugasi menaja meja untuk para santri lain mengaji. Mustamin pun nekat menguping pengajian dari atas genting. Sampai suatu hari ia tertidur di atas genting.
Ia terjatuh dari atap bertepatan dengan kiainya keluar dari tempat mengaji. Sontak saja gurunya pun marah. Mustamin pun meminta maaf. Ia nekat memanjat genting karena sangat ingin mengaji. Namun, sang guru tetap mengusirnya sambil mengatakan 'Kalau begitu ilmuku ambil semua'.
"Kata-kata kiai itu yang kemudian menjadi sebab ilmu laduni diperoleh Mustamin. Ia memiliki ilmu tingkat tinggi, pandai membaca kitab kuning, perbendaharaan kitabnya pun begitu melimpah," ungkap Isno.
Selanjutnya, Mustamin menimba ilmu di pesantren Jrebeng, Krian, Sidoarjo yang diasuh KH Dasuki. Namun, para santri menolaknya tidur di dalam pondok maupun masjid. Mereka menilai Mustamin najis karena konon ia pernah mempelajari ilmu kanuragan dengan meminum darah anjing. Sehingga ia terpaksa tidur di lapangan.
Pada suatu hari ketika akan salat malam, KH Dasuki melihat cahaya menembus langit dari Mustamin yang tidur di lapangan. Sehingga pria yang sebelumnya dikenal sakti dan kerap berbuat onar itu dibaiat menjadi pengikut Tarikat Naqsabandiyah Qodiriyah. Selesai menimba ilmu, ia pulang kampung dan meminta dibangunkan masjid oleh ayahnya di Dusun Kedungsumur.
"Warga berduyun-duyun ikut membangun masjid. Di Masjid Al Musthofa itulah Mustamin memulai dakwahnya. Ia mulai menerima santri," terang Isno.
Nama Mustamin diganti dengan Moh Musthofa setelah menunaikan haji. Menurut Isno, ilmu agama yang dimiliki KH Musthofa diakui para santri yang pernah mengaji kitab-kitab berbahasa Arab dengannya. Koleksi kitabnya juga berjibun. Bahkan, Kiai Musthofa memiliki karya kitab berbahasa Arab tentang tarikat.
"KH Musthofa wafat tanggal 27 September 1955. Tiap tahun, khususnya pada bulan Saffar, peringatan haul dilakukan," tandasnya.
(dpe/iwd)