KH Abdul Hamid bin Abdullah bin Umar, atau yang akrab disapa Mbah Hamid Pasuruan, dikenal sebagai ulama kharismatik yang jejaknya tak hanya meninggalkan warisan ilmu, tetapi juga kisah kewalian.
Di kalangan Nahdliyin, ia diyakini sebagai waliyullah dengan berbagai karamah yang mengagumkan, dari kemampuan membaca isi hati hingga kehadiran di tempat jauh tanpa diketahui orang lain.
Keistimewaan Mbah Hamid tidak terlepas dari akhlaknya yang lembut, kesabarannya menghadapi ujian, dan sikapnya yang selalu membalas keburukan dengan kebaikan. Kisah-kisah tentang karamahnya tersebar luas di kalangan santri, keluarga, dan ulama sepuh, menjadikan sosoknya teladan bagi umat Islam di Jawa Timur.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Biografi KH Abdul Hamid
Dilansir Nahdlatul Ulama (NU) Online, KH Abdul Hamid adalah seorang ulama karismatik yang dikenal luas sebagai waliyullah. Ia lahir pada tahun 1333 Hijriah di Desa Sumber Girang, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah.
Ayahnya, Abdullah bin Umar, merupakan seorang tokoh Islam yang taat, sedangkan ibunya, Raihannah, adalah putri Kiai Shiddiq. Nama kecilnya adalah Abdul Mu'thi atau Dul, anak keempat dari 12 bersaudara.
Sejak kecil, Abdul Mu'thi dikenal lincah dan ceria, namun rajin membantu orang tua. Ia dididik langsung ibunya untuk membiasakan salat berjemaah dan ayahnya mengajarinya Al-Qur'an. Pada usia 7 tahun, ia sudah hafal nadham Jawahir al-Maknun, dan pada usia 9 tahun mulai menghafal Alfiyah Ibnu Malik.
Pada usia 12 tahun, ia nyantri di Pesantren Kasingan Rembang, di bawah asuhan KH Kholil bin Harun. Setahun kemudian, ia mengabdi kepada kakeknya, Kiai Muhammad Shiddiq di Jember. Usia 15 tahun, Abdul Mu'thi berangkat haji bersama kakeknya, yang konon berjumpa Rasulullah saat ziarah ke makamnya di Madinah.
Sepulang haji, ia melanjutkan pendidikan di Pesantren Tremas Pacitan, selama lima tahun di bawah asuhan Kiai Dimyati. Di Tremas, ia menjadi lurah pondok, sekaligus mengajar fiqih, tafsir, dan hadis. Di sinilah namanya mulai dikenal sebagai Abdul Hamid.
Pada usia 22 tahun, Kiai Hamid menikah dengan sepupunya, Nyai Nafisah binti KH Ahmad Qusyairi, pada 12 September 1940. Dari pernikahan ini lahir lima anak, yaitu Muhammad Nu'man, Muhammad Nasih, Muhammad Idris, Anas, dan Zainab (dua terakhir wafat saat kecil).
Awal kehidupan rumah tangganya tidak mudah. Kiai Hamid sempat mengayuh sepeda 30 kilometer setiap hari sebagai blantik sepeda untuk menafkahi keluarga. Namun, ketabahannya luar biasa, ia tidak pernah mengeluh dan mendidik anak-anaknya dengan keteladanan, bukan kemarahan.
Beberapa bulan setelah menikah, ia dipercaya menggantikan KH Ahmad Qusyairi mengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Pasuruan. Selain itu, ia juga berguru kepada Habib Ja'far bin Syichan Assegaf, menghadiri pengajian mudzakarah setiap sore, dan kerap diminta menjadi juru bicara dalam diskusi kitab Ihya Ulumuddin.
KH Abdul Hamid wafat pada Sabtu 25 Desember 1982 pukul 03.00 WIB, pada usia sekitar 70 tahun (hitungan Hijriah). Kabar wafatnya mengguncang umat, ribuan pelayat memadati Pasuruan hingga keranda jenazah sulit dibawa ke Masjid Jami' Al-Anwar.
Ia dimakamkan di kompleks barat masjid, berdampingan dengan makam guru dan keluarganya. Hingga kini, makam KH Abdul Hamid tak pernah sepi dari peziarah. Setiap malam Jumat Legi, kawasan sekitar masjid dan alun-alun Pasuruan selalu ramai.
Keberadaan makamnya membawa berkah bagi masyarakat sekitar, baik secara spiritual maupun ekonomi. KH Abdul Hamid bukan hanya sosok ulama dan pengasuh pesantren, tetapi juga wali yang hidupnya penuh kesederhanaan, keteguhan, dan keteladanan. Namanya dikenang sebagai cahaya yang menuntun umat hingga kini.
Karamah KH Abdul Hamid
Banyak kisah kewalian Kiai Hamid yang diyakini masyarakat. Salah satunya, ia disebut-sebut rutin hadir di Baghdad setiap tahun untuk menghadiri haul Syekh Abdul Qadir al-Jailani, sebuah karamah karena selama hidupnya ia diketahui tidak pernah bepergian jauh selain haji.
Dalam buku dan kisah masyarakat, Kiai Hamid juga dikenal weruh sakdurunge winarah (tahu sebelum kejadian). Salah satu peristiwa masyhur adalah ketika seorang tamu salah memberikan uang salam tempel. Sebelum tamu itu meminta, Kiai Hamid sudah memberikan "kembaliannya" tanpa diminta.
Mbah Hamid Pasuruan diyakini sebagai seorang waliyullah dengan berbagai karamah yang dikenang hingga kini. Kisah-kisah tentang keistimewaannya banyak dihimpun dari para santri, keluarga, dan ulama sepuh, sebagaimana dilansir NU Online Jatim berikut ini.
1. Pergi ke Bagdad Setiap Tahun
Kisah ini berawal dari pengalaman langsung Kiai Masyhudi Sanan Kulon, Kabupaten Blitar, yang baru ia ceritakan menjelang wafat sekitar tahun 2007-2008, sesuai amanah Kiai Hamid untuk tidak disebarkan semasa beliau hidup.
Pada awal 1980-an, saat menunaikan ibadah haji, Kiai Masyhudi berkenalan dengan Syekh Hasan dari Bagdad di Masjidil Haram. Dalam perbincangan hangat berbahasa Arab itu, Syekh Hasan bertanya apakah Kiai Masyhudi mengenal KH Abdul Hamid Pasuruan.
Betapa terkejutnya Kiai Masyhudi saat Syekh Hasan mengaku sering menjamu Kiai Hamid setiap haul Syekh Abdul Qodir Jaelani di Bagdad. Sekembalinya ke tanah air, Kiai Masyhudi menyampaikan salam titipan Syekh Hasan.
Namun, sebelum ia sempat bercerita, Kiai Hamid sudah menyambutnya di depan rumah dan berbisik, "Nak Masyhudi, jangan cerita ke siapa pun ya kalau ketemu Syekh Hasan. Salam sudah saya terima,".
Setelah Kiai Hamid wafat, cerita ini dibuka dan dikonfirmasi kepada putranya, Kiai Idris, yang justru menjelaskan bahwa sang ayah tidak pernah bepergian jauh selain berhaji. Inilah yang diyakini sebagai karamah seorang wali, hadir di tempat jauh tanpa diketahui orang lain.
2. Wujudnya Pernah Terlihat di Tempat Lain
Banyak masyarakat meyakini Mbah Hamid bisa hadir di dua tempat sekaligus. Kisah ini tersebar di berbagai desa dan menjadi salah satu karamah yang paling sering diceritakan para santri dan ulama sepuh.
Seperti diceritakan Habib Baqir Mauladdawilah, yang bertamu kepada Mbah Hamid. Ia melihat sosok yang tampak seperti Mbah Hamid, padahal sebenarnya sang kiai sedang berada di tanah suci Mekkah. Sosok yang bertemu Habib Baqir hanyalah wujud gaib yang menyerupainya
3. Kesabaran Luar Biasa dalam Menghadapi Gangguan
Dikisahkan bahwa tetangga Mbah Hamid sering melempar batu ke rumahnya saat malam hari. Meski tahu pelakunya, ia tidak marah melainkan tetap sabar. Ia justru meminta santri memperbaiki kerusakan rumah setiap hari dan tetap berbuat baik pada pelaku yang zalim, teladan akhlak seperti Nabi Muhammad SAW.
4. Membantu Tetangga yang Zalim
Suatu ketika, ia tahu tetangganya yang zalim akan mengadakan hajatan seminggu kemudian. Ia pun meminta santri membeli kambing untuk diberikan sebagai hadiah, padahal belum ada persiapan atau undangan dari orang lain. Hal ini membuka hati tetangga dan memperlihatkan sifat waliyullahnya.
5. Mengubah Daun Menjadi Uang
Diceritakan, santri bernama Asmawi sedang kesulitan membayar utang sebesar Rp 300.000 kepada panitia pembangunan masjid. Atas anjuran Mbah Hamid, ia menggoyang pohon kelengkeng, lalu mengumpulkan daun yang gugur.
Daun tersebut dimasukkan ke saku Mbah Hamid, dan selanjutnya berubah menjadi uang kertas-sejumlah Rp 225.000. Kekurangan kemudian datang dari tamu yang tak dikenal, melengkapi jumlah hingga Rp 300.000.
Karamah-karamah ini menunjukkan bahwa Mbah Hamid bukan hanya dikenal sebagai ulama, tetapi juga diyakini sebagai waliyullah dengan akhlak mulia dan kedalaman spiritual yang tinggi.
Peringatan Haul ke-44 KH Abdul Hamid
Haul ke-44 Mbah Hamid tahun ini tidak sekadar menjadi ajang mengenang, melainkan momentum meneguhkan kembali nilai-nilai keilmuan dan keteladanannya. Sejumlah ulama besar, santri, serta masyarakat umum hadir mendoakan.
Mereka juga menyimak tausiah yang menekankan pentingnya melanjutkan perjuangan KH Abdul Hamid dalam menyebarkan syiar Islam dengan pendekatan damai. Bagi masyarakat Pasuruan dan sekitarnya, figur KH Abdul Hamid telah menjadi simbol perekat sosial dan religius.
Nilai kesederhanaan, keikhlasan, dan pengabdiannya diabadikan dalam berbagai kisah lisan maupun tulisan yang terus diwariskan lintas generasi. Haul ini menjadi pengingat peran ulama tidak hanya terbatas pada lingkup pesantren, tetapi sebagai pilar moral yang meneguhkan ketahanan sosial dan spiritual masyarakat.
Artikel ini ditulis Fadya Majida Az-Zahra, peserta magang PRIMA Kemenag di detikcom.
(auh/irb)