Sebagian masyarakat di Desa Nglingi, Kecamatan Ngebel, Ponorogo percaya bahwa ledakan gas belerang di Telaga Ngebel menjadi pertanda awal kemunculan seekor naga bernama Baruklinting. Ada serangkaian tanda yang mengikuti keluarnya naga itu.
Dosen Pendidikan Keagamaan Universitas Muhammadiyah Ponorogo Rido Kurnianto pernah menyaksikan langsung detik-detik keluarnya Naga Baruklinting itu pada 2016. Saat itu dirinya melakukan penelitian tentang Ritual Pelarungan di Telaga Ngebel selama 2 tahun, yakni selama periode 2015-2017.
"Jadi menurut sumber tutur dari sesepuh desa saat saya melakukan penelitian, ledakan gas belerang itu memang dikaitkan dengan kemunculan sosok naga besar yang namanya Jaka Baruklinting itu," ujarnya ketika dihubungi detikJatim, Selasa (3/1/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rido menyebutkan ada 4 tahap yang dipercaya masyarakat setempat menjadi tanda kemunculan Naga Baruklinting di telaga seluas 150 hektare di ketinggian 610 mdpl tersebut. Ledakan atau suara dentuman dari dasar telaga yang disebut ledakan gas belerang itu menjadi tanda pertama.
Setelah suara dentuman itu, tanda kedua adalah kemunculan asap putih di tengah telaga. Setelah itu, masyarakat setempat sudah mahfum bahwa yang selanjutnya terjadi adalah menguarnya bau anyir dan amis dari telaga.
"Tanda terakhir sebelum naga itu muncul adalah ikan-ikan yang menggelepar. Ikan asli di Telaga Ngebel itu Ikan Momok yang pada saat itu terjadi ada yang menggelepar mati ada juga yang sekadar mabuk lalu hidup lagi," katanya.
![]() |
Pada 2016 itu Rido sempat menanti kemunculan sang naga yang disambut dengan ritual nyanyian berbahasa Jawa oleh warga setempat dibimbing oleh sesepuh desa. Ia mendengar dentuman belerang itu, asap putih di tengah telaga, dan bau anyir yang menyeruak.
"Memang terdengar ledakan itu seperti dentuman yang teredam karena berada di bawah air. Saya juga menyaksikan asap di tengah telaga dan mencium bau anyir. Setelah itu saya tunggu naga itu keluar. Sampa Subuh memang tidak terjadi apa-apa. Akhirnya saya simpulkan, naga itu memang cuma legenda yang dipercaya masyarakat setempat secara turun-temurun," katanya.
Pada 2021 detikJatim sempat mewawancarai Budayawan Ponorogo Gondo Puspito tentang Naga Baruklinting yang dipercaya ada di sekitar telaga di lereng Gunung Wilis itu. Gondo menyebutkan, legenda Naga Baruklinting itu memang ada di desa yang letaknya 30 km ke arah timur dari pusat Ponorogo.
Salah satu buktinya, kata Gondo, adalah keberadaan petilasan dan makam Nyi Latung serta lesung yang memfosil di daerah Kare, Madiun. Menurut Gondo, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ponorogo membangun Monumen Naga Baruklinting di sudut telaga juga karena adanya legenda itu.
"Telaga Ngebel itu berawal dari sebuah legenda tentang seorang anak kecil yang merupakan jelmaan dari seekor ular besar atau naga," tutur Gondo kepada detikJatim di rumahnya, Jalan Kiai Solihin, Dukuh Tawangsari, Kelurahan Paju, Kecamatan Kota pada Sabtu 13 Februari 2021.
Ceritanya, kata Gondo, saat itu penduduk desa tengah mengadakan acara besar berupa selamatan atau kenduri. Kemudian masyarakat desa berburu di hutan, dan ternyata hingga sore hari warga belum menemukan satu pun binatang buruan.
Kisah Naga Baruklinting dan upaya konservasi nenek moyang Telaga Ngebel. Baca di halaman selanjutnya.
Penduduk Desa Nglingi saat itu hendak mengadakan acara besar berupa selamatan atau kenduri. Untuk itu masyarakat desa pun berburu di hutan. Namun, hingga sore hari warga belum menemukan satu pun binatang buruan.
"Lha setelah kelelahan, mereka beristirahat di sebuah tempat. Salah satu penduduk kemudian desa menancapkan parang atau goloknya di akar pohon. Saat diamati, getah akar pohon tadi merupakan darah dari seekor ular besar. Kemudian ular besar ini tadi dibunuh oleh masyarakat desa," jelas Gondo.
Tempat kejadian itu oleh warga Ngebel dinamakan Semampir. Hingga saat ini ada satu pohon yang dipercaya warga sebagai lokasi penemuan ular besar di lokasi itu. Sebab, di batang pohon tampak guratan bekas kulit ular yang menempel di pohon yang dikeramatkan warga.
"Setelah dibunuh, daging ular itu pun dibawa ke desa untuk dimasak," imbuh Gondo.
Sementara itu, pada saat yang bersamaan di lain lokasi, muncul seorang anak kecil yang meminta makan kepada seorang nenek bernama Nyi Latung atau Mbok Rondo Latung. Si anak pun sempat dijamu dan diberi makan.
Pada saat makan itulah si anak berpesan ke Nyi Latung, jika nenek itu mendengar teriakan warga desa dan suara air, anak itu memintanya naik ke lesung dan membawa serta centong nasi.
"Si anak kecil tadi kemudian menuju ke pesta atau lokasi selamatan makan daging ular. Dia pun membuat sayembara dengan menancapkan lidi. Bila dicabut maka dia akan kalah. Kalau tidak bisa dicabut maka si anak tadi meminta makanan," kata Gondo.
Ternyata setelah masyarakat berkerumun, tidak ada yang berhasil mencabut lidi itu. Si anak kemudian mencabut lidi hingga mengeluarkan air bah. Daging ular yang dimasak pun kemudian berubah menjadi keong.
![]() |
"Tidak lama kemudian Nyi Latung mendengar teriakan warga desa dan suara air, dia langsung teringat pesan si anak kemudian naik ke lesung dan membawa centong nasi," terang Gondo.
Nyi Latung pun terbawa arus ke arah barat laut hingga terdampar di batu besar yang saat ini dinamakan Bale Batur yang berada di Desa Ngebel. Di sini juga terdapat makam Nyi Latung yang hingga kini kondisinya masih terjaga.
"Sementara itu, lesung Nyi Latung terbawa arus hingga ke sungai di Kare, Madiun yang saat ini telah memfosil," papar Gondo.
Soal legenda Naga Baruklinting yang penamaannya sama persis dengan yang ada di Rawa Pening, Semarang Gondo mengungkapkan yang terjadi adalah 'nunggak asma' atau persamaan nama. Naga, kata dia, adalah hewan mitologi yang dianggap dewa di Jawa. Tak hanya di Jawa Tengah, juga di Jawa Timur.
"Kenapa namanya Baruklinting karena sisiknya berbunyi klinting-klinting, bukan lonceng," pungkas Gondo.
Sementara, mengenai legenda Naga Baruklinting, Rido yang sempat melakukan penelitian di kawasan Telaga Ngebel selama 2 tahun pun pada akhirnya mengambil kesimpulan. Legenda Naga Jaka Baruklinting itu dituturkan turun temurun agar warga setempat senantiasa menjaga alam dan ekosistem.
"Jadi nenek moyang di Telaga Ngebel itu menaruh legenda itu agar warga setempat menjaga telaga. Kalau sekarang begitu, nenek moyang masyarakat Ngebel pada saat itu punya misi melakukan konservasi, ya. Dan menurut saya itu sangat efektif," kata Rido ketika diwawancarai hari ini.