Kiai Muhammad Moenasir Ali mempunyai andil besar dalam mengusir penjajah dari Ibu Pertiwi. Sejak lulus pesantren, ia mengangkat senjata hingga menjadi Komandan Batalyon (Danyon) Condromowo. Tentara berpangkat mayor ini dikenal sebagai ahli perang gerilya.
Kiai Moenasir lahir di Desa Modopuro, Mojosari, Kabupaten Mojokerto pada 2 Maret 1919. Orang tuanya yakni Haji Ali dan Hasanah.
Ayahnya seorang kepala desa atau lurah yang kaya raya. Istri pertamanya Nyai Muslichah, putri KH Achmad Dahlan As Syafi'i.
Mertuanya pendiri pesantren yang sekarang menjadi lembaga pendidikan Yayasan Dahlan As Syafi'i di Desa Pekukuhan, Kecamatan Mojosari.
Keponakan Kiai Moenasir, Muhammad Habibullah mengatakan, pamannya itu mengangkat senjata setelah mendapat pelatihan militer dari penjajah Jepang di Cibarusah, Bekasi, Jabar. Kala itu Moenasir tergabung dalam Heiho, serdadu cadangan yang dibentuk Jepang untuk melawan tentara Sekutu.
Selepas pelatihan militer, ia bergabung dengan Laskar Hizbullah yang dibentuk 14 Oktober 1944. Hizbullah dibentuk atas usulan KH Wahid Hasyim, putra pendiri NU sekaligus pendiri Ponpes Tebuireng, Jombang KH Hasyim Asy'ari. Ketika bergabung dengan Hizbullah, usia Moenasir sekitar 25 tahun.
"Pulang dari pelatihan militer di Cibarusah, beliau melatih anak buahnya di Hizbullah untuk perang, dilatih pendidikan militer. Sehingga ketika menjelang kemerdekaan beliau mempunyai pasukan," kata Habibullah kepada detikJatim di rumahnya, Jalan Raya Desa Pekukuhan, Kamis (3/11/2022).
"Sebelum dilatih Jepang, beliau sudah bergerilya berperang, tapi belum membentuk komunitas pasukan," imbuhnya.
Habibullah menjelaskan, Kiai Moenasir dikenal cerdas sejak masih menjadi santri. Ketika menimba ilmu di Ponpes Tebuireng, KH Wahid Hasyim menjadikan Moenasir salah seorang kader inti Madrasah Nidzomiyah.
Simak Video "Video: Menonton Teatrikal 'Kereta Api Terakhir Surabaya' di Stasiun Gubeng"
(sun/dte)