Jawa Timur memiliki beragam cerita rakyat dari kabupaten dan kota di dalamnya. Cerita rakyat itu biasanya mengisahkan tentang sejarah maupun asal-usul daerah tersebut.
Seperti cerita Suku Tengger di kaki Gunung Bromo. Cerita ini bermula dari kisah Jaka Seger dan Rara Anteng.
Baca juga: Joko Dolog Bukan Legenda Tapi Sejarah |
Cerita Suku Tengger
Secara administrasi, Suku Tengger mendiami lereng Bromo di empat kabupaten. Yakni Kabupaten Probolinggo, Pasuruan, Lumajang, dan Malang. Ada dua teori yang menyebutkan asal-usul keberadaan mereka.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada teori pertama, Suku Tengger diyakini merupakan keturunan dari Kerajaan Majapahit. Saat itu, mereka melarikan diri karena di Majapahit sedang pecah perang saudara. Teori ini kemudian dikaitkan dengan legenda Jaka Seger dan Rara Anteng sebagai pasangan suami istri.
Kisah Tengger juga ditulis pada situs Kabupaten Pasuruan. Tulisan itu menerangkan, cerita Tengger dimulai kurang lebih tahun 1115 M atau tahun 1.037 Caka pada masa pemerintahan Kerajaan Kediri yang diperintah oleh Raja Erlangga.
Pada waktu itu, hiduplah seorang petapa atau orang suci yang bernama Resi Musti Kundawa. Resi ini mempunyai kesaktian tinggi karena mempunyai sebuah pusaka bernama Kiai Gliyeng. Setelah diangkat menjadi senopati, Musti Kundawa berganti nama menjadi Resi Kandang Dewa.
Resi Kandang dewa mempunyai 4 orang anak. Yaitu Joko Lanang, Dewi Amisani, Jaka Seger, dan Dani Saka. Dari keempat putranya, Jaka Seger-lah yang mewarisi ilmu dan pusaka Kiai Gliyeng dari sang ayah sehingga menjadi pendekar.
Asal-usul Jaka Seger dan Rara Anteng
Pada suatu hari, Jaka Seger mendengar berita Adipati Surogoto (pemimpin Kadipaten Wengker, daerah Ponorogo) mengadakan sayembara untuk menyembuhkan putrinya, Dewi Ratna Wulan yang menderita penyakit dan tak kunjung sembuh.
Jaka Seger pun memutuskan untuk mengikuti sayembara tersebut dan bersemedi sambil menancapkan pusaka Kiai Gliyeng. Dalam semedinya, Jaka Seger mendapat petunjuk bahwa Dewi Ratna Wulan dapat sembuh apabila diberi ramuan yang terbuat dari buah delima. Nama Dewi Ratna juga perlu diganti sesuai dengan sakitnya.
Setelah semedi, Jaka Seger kembali ke Kadipaten dan melaksanakan petunjuk yang telah diperolehnya. Dewi Ratna Wulan pun sembuh setelah meminum ramuan dari Jaka Seger dan kemudian namanya diganti dengan nama Loro Anteng atau Rara Anteng.
Melihat anaknya sembuh, Adipati Surogoto merasa sangat bahagia. Adipati akhirnya menepati janjinya untuk mengawinkan anaknya dengan Jaka Seger.
Sang Adipati pun melaksanakan upacara selamatan, yaitu Tasyukuran untuk kebahagiaan Jaka Seger dan Rara Anteng. Sampai saat ini tradisi upacara kuno masih tetap dilaksanakan oleh masyarakat Tengger.
Setelah mengarungi bahtera rumah tangga sebagai pasangan suami istri selama satu tahun, Jaka Seger dan Loro Anteng tak kunjung dikaruniai keturunan. Sampai akhirnya, mereka sepakat untuk melakukan semedi di Sanggar Pamujan.
Dalam semedinya, Jaka Seger mendapat petunjuk bahwa ia telah melakukan kesalahan selama 16 tahun karena ia dan keluarganya tidak pernah berkunjung ke Gunung Bromo. Untuk menebus kesalahannya, Jaka Seger harus melaksanakan Numi Purwodan atau melakukan tuwah ongkek ke kawah Gunung Bromo.
Baca Asal-Usul Jaka Seger dan Rara Anteng, serta Kaitannya dengan Suku Tengger
Jaka Seger - Rara Anteng dan Kaitannya dengan Suku Tengger
Dalam kurun waktu 16 tahun, Jaka Seger dan Roro Anteng dikaruniai 9 anak. Salah satunya Joko Ringgit sebagai anak pertama.
Setelah kurang lebih 20 tahun usia Joko Ringgit, Jaka Seger dan Rara Anteng dikaruniai 6 orang anak lagi. Namun, saat melahirkan anak ke-15, bayi yang dikandung Rara Anteng tidak bisa keluar selama 3 hari.
Melihat keganjilan ini, Jaka Seger kembali mengadakan semedi untuk mendapatkan petunjuk. Dalam semedinya, Jaka Seger didatangi Batara Narada yang memberikan petunjuk agar Jaka Seger menyuruh anak-anaknya yang sudah besar untuk bertapa di kawasan Lereng Gunung Bromo. Perintah itu pun segera dilaksanakan dan lahirlah bayi dalam kandungan Rara Anteng.
Dalam masa sekitar 32 tahun, Dewi Roro Anteng melahirkan anak lagi yang ke-16 sampai yang ke-25. Sesuai dengan perjanjian waktu bersemedi, anak yang ke-25 dibawa terbang oleh api yang membara ke gunung Bromo.
Dengan kejadian itu, Jaka Seger memberikan pesan kepada anak-anak dan keturunannya untuk mengunjungi saudaranya yang bungsu ke Gunung Bromo setiap bulan. Dengan membawa sesajen dan bekal makanan dan hasil bumi untuk diberikan kepada Kesuma (anak ke-25) yang berada di Gunung Bromo. Itulah cikal bakal upacara adat Yadnya Kasada di Kawasan Tengger.