Makam Peneleh Surabaya merupakan satu dari sekian makam yang tertua sekaligus artistik di Jawa Timur. Konon, kompleks kuburan di jalan bernama sama itu, di Jalan Makam Peneleh nomor 35 A, Surabaya, menjadi tempat peristirahatan terakhir para tuan dan puan Belanda.
Selasa (24/5/2022) pagi, detikJatim mengunjungi Makam Peneleh yang berlokasi di pusat kota. Jaraknya sekitar 100 meter dari tepi Sungai Kalimas, Surabaya.
Sebelum memasuki kawasan makam, para pengunjung harus melintasi pagar terali berbahan baja murni berukuran sekitar 4x3 meter persegi yang sepertinya baru dicat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Pada sisi dinding dekat pintu masuk ada tulisan 'Makam Belanda Peneleh'. Saat memasuki halaman utama makam, sejumlah peti mati terlihat pada sisi selatan, tepatnya di gudang piranti makam. Kemudian, 4 hingga 6 langkah ke timur akan terlihat ribuan makam sejauh mata memandang.
Kompleks makam yang diresmikan pada 1 Desember 1847 silam ini memiliki luas kurang lebih 6,5 hektare. Konon, pemakaman ini menjadi tempat peristirahatan para pejabat Hindia Belanda, juga tuan dan puan Eropa asal Swiss, Norwegia, Belanda, Jerman, Inggris, Italia, Armenia, Prancis, Belgia, hingga Austria.
Pada nisan makam-makam di sana, yang coraknya masih terlihat klasik dan sangat artistik, tertera juga biografi singkat siapa yang menghuni kuburan tersebut. Tapi tentu saja dengan Bahasa Belanda.
Di lokasi itu detikJatim bertemu dengan Pengamat Sejarah Kota Surabaya Kuncarsono Prasetyo. Sembari menunjukkan sejumlah makam bersejarah itu, pria yang akrab disapa Mas Kuncar itu menyatakan bahwa Makam Peneleh adalah satu di antara makam tertua di Kota pahlawan.
Sebelum tertata rapi dan dirawat oleh Pemkot Surabaya, dulu makam Peneleh dikelilingi perkampungan kaum marjinal. Namun, semenjak kepemimpinan Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini Peneleh mulai bersolek. Kendati sebagian besar nisan dan liang lahat sudah tak utuh, rusak karena ulah manusia dan faktor alam.
"Makam ini (Peneleh) dihuni puluhan ribu jasad warga Eropa yang sempat tinggal atau cuma sekedar transit di Kota Pahlawan. Bahkan, jauh sebelum masa kemerdekaan RI. Berdasarkan data yang saya punya, jumlah jenazah di sini sekitar 33.000. Dulu ada jasadnya, ada juga yang hanya abunya saja setelah dikremasi keluarga," kata Kuncarsono kepada detikJatim, Selasa (24/5/2022).
![]() |
Ia menjelaskan, bagaimana Makam Peneleh dibangun pada sekitaran Desember 1847 silam. Konon, makam yang kental dengan nuansa gotik itu dibangun sebagai opsi untuk memecah kebuntuan. Kala itu, Makam Krembangan yang notabene makam utama segera penuh.
"Biyen, kuburan londo nak Krembangan tahun 1844 iki dibangun terus sebagian pindah nak kene (Dulu, kuburan Belanda di Krembangan, pas tahun 1844 Makam Peneleh dibangun terus sebagian dimakamkan di sini)," ujarnya.
Mantan pewarta salah satu surat kabar lokal Surabaya itu menjelaskan, jasad yang bakal menghuni Makam Peneleh kala itu tak boleh orang sembarangan. Sebagian besar pejabat, ningrat, atau darah biru. Hingga orang atau kelompok yang memiliki andil besar di era kala itu.
Perihal itu diperkuat dengan beberapa tulisan yang tersurat di nisan marmer, beton, hingga baja murni berkualitas tinggi yang masih bisa terbaca meski sebagian tak utuh. Mulai dari mantan suster di Gereja, pebisnis andal, hingga elit politik serta tentara dengan pangkat tinggi.
Kepala Kebersihan Makam Peneleh Surabaya Agus Wahyudi mengatakan, sejak era Wali Kota Tri Rismaharini Makam Peneleh mulai terawat. Mulai dari menambah petugas, hingga menempatkan aksesoris berupa lampu penerangan di tahun 2006.
"Sebelumnya, sama sekali tidak ada sentuhan (dari Pemkot Surabaya). Lalu ada 6 orang petugas," kata dia.
![]() |
Ia mengeklaim, Makam Peneleh saat ini sama sekali tidak terkesan kesan angker. Sebab, sudah ada lampu penerangan yang menyebar di 36 titik di kompleks makam.
Agus juga mengatakan, biasanya, pada awal dan akhir tahun sering ada wisatawan mancanegara asal Eropa yang datang ke kompleks tersebut. Menurut Agus, para tuan dan puan itu sedang berziarah ke kerabat dan nenek moyang mereka.
"Biasanya Sabtu dan Minggu sering ada bule-bule, ada juga dari suster-suster dari gereja, biasanya 2 sampai 3 bulan sekali ke sini untuk tabur bunga. Pas Pandemi COVID-19, sudah 2 tahun ini enggak ada, karena tidak diperbolehkan juga mungkin ya," tutupnya.
(dpe/sun)