Air yang dikirim Gubernur Jatim ke titik nol geodesi IKN Nusantara juga diambil dari Petirtaan Jolotundo di Mojokerto. Situs purbakala di kaki Gunung Penanggungan ini mewakili peradaban Medang abad 10 masehi. Yaitu menjadi tempat para resi menyucikan diri sampai era Kerajaan Majapahit.
Struktur petirtaan kuno di Dusun Biting, Desa Seloliman, Trawas, Mojokerto ini seluas 18x12,5 meter persegi. Air yang mengisi kolam berbentuk persegi di dalamnya, mengalir keluar melalui dinding batu di atasnya. Terdapat sebuah pripih nawasanga atau peti berceruk sembilan di dasar kolam.
Arkeolog Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jatim, Wicaksono Dwi Nugroho mengatakan terdapat pahatan angka tahun 899 saka atau 977 masehi pada dinding belakang sisi kanan Petirtaan Jolotundo. Pahatan Gempeng pada sisi kiri dinding yang sama. Sedangkan pada bilik utama terdapat pahatan Mregawati dan Udayana.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sebenarnya tak terkait dengan Udayana bapaknya Airlangga, tapi menjelaskan relief pada bilik utama. Itu ada dalam kitab sastra kuno India, kisah raja Sahasranika. Jadi, Mregawati dan Udayana tokoh cerita, Mregawati punya anak namanya Udayana," kata Wicaksono kepada detikJatim, Kamis (17/3/2022).
Untuk menelisik sejarahnya, lanjut Wicaksono, bisa merujuk pada pahatan angka tahun 977 masehi di Petirtaan Jolotundo. Ia berpendapat, petirtaan suci ini dibangun pada masa Ratu Sri Isyana Tunggawijaya, Putri Raja Medang Kamulan, Mpu Sindok. Istri Sri Lokapala itu memimpin sejak tahun 947 masehi.
![]() |
Selain itu, sejarah Petirtaan Jolotundo juga berkaitan dengan Prasasti Cunggrang di lereng timur laut Gunung Penanggungan, Desa Bulusari, Gempol, Pasuruan. Prasasti yang dibuat Mpu Sindok tahun 851 saka atau 929 masehi ini menyebut Pawitra. Yaitu tempat para resi melakukan ritual pemujaan.
"Jadi, itu menegaskan daerah Gunung Penanggungan dijadikan kawasan para resi. Interpretasi kami, pintu masuknya di Situs Sumber Tetek (Candi Belahan di Desa Wonosunyo, Gempol, Pasuruan) turun ke Jolotundo. Kan ada jalur purba di Gunung Penanggungan, bisa diakses dari Belahan ke Kunjorowesi, memutar ke gunung, turunnya melalui jalur pendakian yang ekstrem ke Jolotundo," terangnya.
Wicaksono menjelaskan Petirtaan Jolotundo menjadi bangunan suci yang terus digunakan dari zaman Kerajaan Medang Kamulan sampai Majapahit. Sedangkan kawasan Pawitra di Gunung Penanggungan diperkirakan sudah ada sebelum Mpu Sindok memindahkan kekuasaannya dari Jateng ke Jatim pada 929 masehi.
"Mpu Sindok hanya memfasilitasi dengan memberikan tanah bebas pajak untuk biaya perawatan karena tidak disebutkan eksplisit di beberapa prasastinya. Kecuali Jolotundo jelas berangka tahun 977 masehi, angka tahun pembangunan Jolotundo masa pemerintahan Sri Isyana Tunggawijaya," jelasnya.
Pada zaman kerajaan, kata Wicaksono, Petirtaan Jolotubdo menjadi bangunan suci tempat pemujaan terhadap Dewa Wisnu. Konsep yang biasa melekat yaitu pencarian air suci Samudra Mantana. Jika dikaitkan dengan Petirtaan Sumber Tetek dan kawasan Pawitra di Gunung Penanggungan, Jolotundo menjadi tempat menyucikan diri.
"Sumber Tetek untuk menyucikan diri sebelum ritual di Pawitra, setelahnya menyucikan diri di Petirtaan Jolotundo. Juga adanya pahatan kata Gempeng yang artinya melebur dosa-dosa dan kesalahan," ungkapnya.
Hanya saja pada masa lalu, Petirtaan Jolotundo bukanlah tempat ritual masyarakat umum maupun kaum bangsawan. Menurut Wicaksono, petirtaan ini dibangun khusus untuk memfasilitasi para resi atau para petapa.
"Kaum resi pada zaman itu sebagai tokoh keagamaan yang berpengaruh. Dalam beberapa prasasti, raja ditasbihkan oleh resi. Jadi, sebagai imbal balik atas kekuasaannya, raja membangun Jolotundo. Sehingga para resi mendukung kekuasaan para raja," tandasnya.
(iwd/iwd)