Cerita di Balik Kesenian Tiban yang Sarat dengan Aksi Saling Cambuk

Cerita di Balik Kesenian Tiban yang Sarat dengan Aksi Saling Cambuk

Andhika Dwi - detikJatim
Senin, 07 Mar 2022 11:58 WIB
Kabupaten Kediri punya berbagai macam kesenian. Salah satunya adalah kesenian Tiban.
Kesenian Tiban/Foto: Istimewa
Kediri - Kabupaten Kediri punya berbagai macam kesenian. Salah satunya adalah kesenian Tiban yang sarat dengan aksi saling cambuk. Bagaimana lahirnya kesenian itu?

"Sejarah kemunculan Tiban secara turun temurun menjadi cerita rakyat dan dimulai masa Kerajaan Kadiri. Berkuasa seorang raja yang otoriter. Sang raja ingin disebut dewa. Dia adalah Raja Dandang Gendis atau Kertajaya dengan nama Kerajaan Katang-Katang," kata Imam Mubarok, Ketua Dewan Kesenian dan Kebudayaan Kabupaten Kediri, Senin (7/3/2022).

Sang raja menuntut rakyat menuruti perintahnya dan membuat rakyat ketakutan. Wilayah Kerajaan Kediri termasuk Kademangan Ngimbang (sekarang Ngadiluwih) Megalamat, Jimbun dan Ceker.

Meski diperintah oleh raja yang otoriter, masyarakat makmur. Segala masalah diselesaikan secara gotong royong. Masyarakat yang lebih dahulu panen membagi kepada tetangga.

Namun sang raja semakin menggila dan ingin disembah siapa saja. Di sisi lain, lumbung-lumbung desa yang biasanya penuh dengan padi lalu cenderung habis. Itu terjadi karana kemarau panjang. Para petani menganggur karena sawahnya tak dapat diolah, sungai-sungai mengering. Musim kemarau seakan-akan tidak ada selesainya.

Segala upaya sudah diusahakan untuk mendapatkan air, tetapi belum dapat memenuhi kebutuhan pengairan. Yang didapat hanya sebatas kebutuhan minum dan kebutuhan dapur.

Kemarau yang berlangsung panjang tersebut dipercaya sebagai kutukan kepada manusia atas ketidakpercayaan dan ketidaktaqwaan terhadap kekuatan Yang Lebih Tinggi.

Untuk itu para demang bermusyawarah dengan para pinisepuh untuk menebus kutukan tersebut. Rakyat Ngimbang memberikan sisa harta sebagai syarat pelaksanaan upacara adat.

Bagi warga yang masih mempunyai padi dimohon untuk menyumbang seikat. Bagi yang memiliki lembu dimohon membawa pecutnya sebagai lambang kekayaannya.

Setelah semua siap, kemudian rakyat memohon ampun kepada kekuatan yang diyakini lebih tinggi. Sebagai ritualnya, masyarakat menyiksa diri dan berjemur di bawah terik matahari.

Aksi penyiksaan diri kemudian dipertajam dengan pemecutan menggunakan pecut yang terbuat dari sodo aren (lidi aren). Mereka saling mencambuk secara bergiliran.

Darah bercucuran. Namun karena mereka khusyuk, sakitnya dicambut seolah tidak terasa.

Kemudian, hujan yang didambakan turun meski bukan musimnya. Hujan itu disebut Hujan Tiban. Kegembiraan rakyat tidak dapat digambarkan. Mereka bersyukur.

Ritual saling cambuk itu kemudian dinamakan Tiban dan diteruskan oleh masyarakat setempat secara turun temurun. Ritual digelar setiap musim kemarau dan diselenggarakan di tengah persawahan sewaktu sawah dalam keadaan kering.

"Kalau membaca setting sejarah sebenarnya daerah Purwokerto Ngadiluwih di masa kerajaan Singosari adalah wilayahnya. Hal ini dibuktikan dengan adannya temuan ambang pintu berangka tahun 1148 Sala yang sekarang berada di Museum Airlangga Kota Kediri. Jika yang menjadi bahan utama kisah di balik lahirnya Tiban adalah sosok Kertajaya maka ini pas dengan cerita permusuhannya dengan Ken Arok/Ken Angrok," jelas Imam Mubarok.

Tujuan penyelenggaraan upacara Tiban dengan harapan turunnya hujan. Sampai saat ini upacara itu terus berlangsung meski telah beralih fungsi. Yang semula sebagai ritual. Sekarang menjadi kesenian sekaligus sebagai tontonan.

"Sayang sekali kesenian ini belum diminati oleh kaum muda sebagai penerus. Kita lihat pemain yang ada saat ini sudah sepuh. Inilah pentingnya pelestarian seni tradisi. Semua bertanggung jawab untuk keberlangsungannya," pungkas Mubarok.


(sun/sun)


Hide Ads