Dari dapur sederhana di Desa Jimbe, Kecamatan Kademangan, aroma jamu tradisional menguar setiap hari. Di sanalah, Umma Sa'diyah (37), seorang ibu rumah tangga, meracik kunyit, beras kencur, hingga sirih menjadi minuman sehat yang kini mengantarkannya meraup omzet belasan juta rupiah per bulan.
Usaha jamu tradisional itu dirintis Umma sejak pandemi COVID-19, saat banyak penjual jamu memilih berhenti berjualan. Berbekal ketekunan, resep racikan sendiri, dan proses produksi tanpa pengawet, jamu buatan Umma perlahan mendapat tempat di hati pembeli hingga berkembang menjadi usaha yang memberdayakan warga sekitar.
detikJatim mengunjungi rumah produksi sederhana milik perempuan yang disapa jJeng Umma itu. Ia dibantu tiga karyawannya memproduksi jamu tradisional. Dari awal hingga proses pembuatan jamu dilakukan secara tradisional.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mulanya, air perasan dari sari kunyit dimasak ke dalam panci besar. Dicampur dengan racikan asam, gula dan sebagainya. Proses memasak air sari kunyit kurang lebih 60 menit. Setelah matang, jamu akan disaring kembali sebelum dimasukkan ke dalam botol.
"Setelah matang memang tidak menunggu dingin, masih agak hangat langsung dimasukkan ke botol agar tahan lama. Botolnya ukuran 600 mililiter," kata Umma kepada detikJatim, Senin (22/12/2025).
Umma menyebut dapat memproduksi jamu sebanyak 150 liter dalam sehari. Ada berbagai jenis jamu yang diproduksi. Mulai dari kunyit asam, kunyit madu, beras kencur, sirih luntas dan sirih kunci.
"Kurang lebih ya sekitar 150 liter, atau 240 botol per hari. Itu macam-macam jenisnya, dari kunyit asam, beras kencur dan sirih kunci," terangnya.
Usaha jamu tradisional mulai dirintis sejak Januari 2021. Saat masih pandemi COVID-19, Umma memutuskan untuk mencoba memproduksi jamu tradisional dengan skala besar.
Umma Sa'diyah, IRT penjual jamu tradisional di Blitar Foto: Fima Purwanti/detikJatim |
"Awalnya ya karena sering minum jamu buatan sendiri. Terus karena pas pandemi banyak yang butuh jamu tradisional, tapi penjual jamu pada tutup karena takut tertular COVID-19. Nah, pas momen itu saya gunakan untuk membuat usaha rumahan," jelasnya.
Menurut perempuan berjilbab itu, tak mudah memproduksi jamu dengan skala besar. Bahkan tak jarang mendapat komentar pedas dari pembeli. Selama hampir 7 bulan, Umma menemukan resep jamu tradisional yang dapat diterima oleh lidah pembeli.
Selain itu, memastikan jamu tak mudah basi juga menjadi pekerjaan rumah saat awal merintis usaha. Sebab, Ia memilih untuk tidak menggunakan bahan pengawet.
"Alhamdulillah setelah saya tidak putus asa, setelah 7 bulan baru menemukan resep jamu yang pas. Dari situ baru mulai berani memproduksi dengan jumlah yang banyak," terangnya.
Kini, Umma dibantu dengan tujuh orang karyawan. Terdiri dari tiga orang di bagian produksi, tiga orang di bagian sales penjualan dan 1 orang sebagai administrasi.
"Alhamdulillah dibantu dengan warga sekitar sini, ya sedikit banyak memberdayakan warga sekitar. Termasuk bahan jamu juga ambil dari warga di sini," katanya.
Harga jamu tradisional buatan Umma itu dijual mulai dari Rp 7.500 sampai Rp 10 ribu per botol. Jamu tradisional itu juga dijual dengan cara dititipkan di toko oleh-oleh, swalayan hingga tukang sayur keliling.
"Untuk omzetnya tidak menentu, tapi alhamdulillah kadang bisa Rp 17 juta per bulan. Semoga produksi jamu ini bisa sedikit membantu memberdayakan ibu-ibu di sekitar sini," tandasnya.
(irb/hil)












































