Sejumlah hotel dan restoran di Jawa Timur mengeluhkan penarikan royalti musik yang dinilai membingungkan dan memberatkan. Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jatim menyebut keresahan ini terjadi hampir di seluruh daerah, dan mendesak pemerintah untuk segera merevisi aturan yang berlaku.
Diketahui, pembayaran royalti tertuang dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
"Hotel dan restoran di Jawa Timur ngeluh semua gitu (terbebani royalti musik). Jadi memang kita semua PHRI seluruh Indonesia mendesak pemerintah, untuk merevisi undang-undang tentang Hak Cipta ini. Karena ini satu-satunya jalan," kata Ketua PHRI Jatim, Dwi Cahyono, saat dihubungi detikJatim, Selasa (19/8/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dwi menjelaskan, penarikan royalti sebenarnya sudah dilakukan sejak beberapa tahun lalu. Namun, penerapannya dinilai belum merata dan masih menimbulkan banyak kebingungan di lapangan.
"Selama ini kita 2-3 tahun yang lalu sudah ada penarikan tapi tidak masif. Jadi langsung masuk ke hotel di Malang, Surabaya, Batu, Banyuwangi itu, itu mereka sebetulnya 2 tahunan ini sudah masuk gitu. Tapi tertentu aja misalnya bintang 5 gitu ya. Tapi ini sekarang kan semua (terdampak), semua jadi resah," jelasnya.
PHRI Jatim juga mengaku belum menerima sosialisasi resmi dari Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) di tengah polemik royalti musik ini.
"Setelah undang-undang itu (diterapkan) sampai sekarang kita belum (menerima sosialisasi) sih. Makanya minggu-minggu ini juga kita akan undang LMKN. Jadi karena kebingungan itu, jadi sepertinya (penagihan) ke masing-masing restoran dan hotel itu tidak sama. Jadi itu yang bikin bingung," tambahnya.
Dwi mengungkapkan, sebelumnya sempat terjadi praktik penagihan ganda oleh beberapa pihak di salah satu hotel.
"Kalau dulu itu sempat yang nagih itu banyak. Yang nagih itu ada dari salah satu penyanyi, dengan grupnya. Ada yang satu hotel ditagih dua kali gitu, oleh ini, oleh ini, terus aturannya gimana," bebernya.
Padahal, menurut Dwi, sesuai undang-undang yang berlaku, hanya Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) yang memiliki kewenangan menarik royalti.
"Sebetulnya undang-undang ini lahir kan karena banyak yang nagih-nagih, semuanya nagih ini terus, terus undang-undang mengamanatkan satu kan, LMKN. Yang boleh menagih hanya LMKN," tegasnya.
PHRI Jatim sempat menyarankan hotel dan restoran untuk memutar musik tradisional seperti gamelan yang diproduksi sendiri dan tidak terdaftar dalam Sistem Informasi Lagu dan Musik. Namun langkah itu ternyata tidak membebaskan mereka dari kewajiban membayar royalti.
"Sudah kita sempat share ke seluruh Jawa Timur, seluruh hotel, restoran ya, kalau mau muter ini, mereka tidak mendaftarkan ke Sistem Informasi Lagu dan Musik itu, berarti tidak ada didaftar itu. Tidak perlu membayar royalti, dan itu kita rekam sendiri gitu. Itu pun masih kena," jelas Dwi.
Bahkan, lagu-lagu yang sudah masuk dalam domain publik pun tetap dikenai tagihan. Hal ini menambah kebingungan karena tidak ada kejelasan sistem, termasuk rumus penghitungan royalti.
"Jadi kalau aturannya, restoran dihitung per kursi ya, kalau hotel itu per kamar yang ada. Itu sebetulnya yang kita kurang setuju. Soalnya kalau kursi ataupun kamar itu kan tidak semua dipakai, tidak semua terisi okupansinya. Tapi kan dianggap semua terisi dalam satu tahun, terus harus membayar sekian, dianggap terisi semua. Itu tidak fair," keluhnya.
Untuk sementara waktu, PHRI Jatim menyarankan agar para anggota tidak memutar musik sembari menunggu polemik ini terselesaikan. Meski pihaknya akhirnya kerap menerima komplain dari para tamu.
"Pasti ada komplain. Kalau restoran, lobi, lain-lain, katanya kok sepi anyep gini sih," kata Dwi.
Kendati demikian, ia juga menegaskan bahwa bukan berarti pihaknya menolak membayar royalti, namun ia mendesak agar aturan diperjelas dan tidak memberatkan.
"Jadi bukan kita enggak mau bayar. Kita ini pengen menghargai. PHRI pengen menghargai karya ciptaan bangsa atau luar negeri atau siapapun. Itu yang terdaftar di situ. Tetapi dengan aturan yang benar gitu. Dengan aturan yang sesuai dengan ini dan tidak memberatkan," ujarnya.
PHRI pun menilai bahwa saat ini waktunya kurang tepat untuk penerapan aturan tersebut. Pasalnya, industri perhotelan masih menghadapi banyak tekanan. Hal ini pun menambah beban baru bagi operasional hotel dan restoran.
"Kemudian satu lagi ini tidak tepat waktunya. Jadi waktunya sekarang pas efisiensi. Kemudian pas ada permasalahan-permasalahan yang lain. Terus ditambah lagi ini. Jadi waktunya itu berat gitu. Sangat tinggi sekali ini beban operasional," ungkap Dwi.
Dampak kebijakan royalti musik ini paling terasa di restoran dan area lobi hotel, terutama pada hotel keluarga dan bisnis yang memiliki kafe atau ruang sarapan pagi.
"Ya kalau anggota kita seribuan (hotel dan restoran) ya. Lebih mungkin 50 persen yang mengeluhkan, tapi yang terdata di kita 50 persen, yang aktif menanyakan terus komplain itu," ungkapnya.
Bahkan hotel bintang 3 hingga 5 yang sudah membayar royalti pun tetap merasa terbebani.
"Yang sekarang meskipun hotel bintang 3-5. Kalo kondisi yang sekarang ini mereka juga berat. Jadi semuanya kena dampaknya," ucapnya.
PHRI juga telah menyampaikan pemberitahuan resmi kepada para tamu terkait penghentian sementara pemutaran musik.
"Kita beritahukan jadi kalau yang tidak terlalu penting ini kita tidak memutar (musik atau lagu). Jadi semua kita jelaskan. Mulai dari front office semua kita jelaskan, setidaknya sampai polemik ini selesai," pungkas Dwi.
PHRI Jatim pun akan meminta pemerintah untuk meninjau ulang keseluruhan sistem penarikan dan distribusi royalti musik, agar lebih adil dan transparan.
"Jadi bukan kita tidak mau membayar ini. Kita menghargai, kalau kita memutar kita menghargai penciptanya. Tapi ya aturannya, aturan penagihan, pengenaannya itu harus jelas," pungkas Dwi.