Fenomena Rojali dan Rohana akronim dari 'rombongan jarang beli' dan 'rombongan hanya nanya' yang marak di pusat perbelanjaan belakangan jadi sorotan publik. Pengamat ekonomi pun turut melakukan analisis dan menyebutkan sejumlah faktor penyebab fenomena ini.
Meski di Surabaya fenomena itu tidak terlalu mencolok, tidak bisa dimungkiri bahwa memang ada sebagian masyarakat yang memiliki kecenderungan datang ke mal hanya untuk sekedar window shopping atau jalan-jalan saja.
Pengamat ekonomi dari Universitas Airlangga (Unair) Gigih Prihantono menanggapi fenomena ini. Berdasarkan hasil analisis yang dia lakukan, fenomena Rojali dan Rohana itu terjadi akibat 2 faktor utama. Pertama karena daya beli masyarakat turun atau perubahan preferensi belanja ke platform online.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Bisa jadi (karena daya beli turun), bisa juga karena perubahan preferensi masyarakat untuk melakukan pembelian secara online," ujar Gigih kepada detikJatim, Rabu (30/7/2025).
Menurut Gigih, penurunan daya beli memang jadi masalah yang masih terjadi hingga saat ini. Meski kondisi ekonomi Indonesia saat ini, menurutnya mulai menunjukkan arah pertumbuhan, tapi daya beli memang tidak sepenuhnya pulih.
"Memang daya belinya mungkin menurun karena lihat pertumbuhan ekonominya juga. Sebelum puasa memang kita sempat mengalami penurunan, tapi kemudian kita sudah menunjukkan pertumbuhan ekonomi kita kembali ke 5% karena pemerintah sudah melakukan banyak kelonggaran," katanya.
Ia menilai, kebijakan pemerintah terutama pelonggaran sektor pariwisata dan layanan mulai memberikan efek positif terhadap pertumbuhan. Meski demikian, tantangan tentu masih ada.
"Kita juga menunggu dampak tarif (tarif impor AS), karena kita 19%. Mungkin ada yang skeptis dengan langkah Presiden Prabowo, tapi kalau saya sih menganggapnya positif. Pengaruhnya, harapannya positif untuk mendorong produk-produk kita," tambah Gigih.
Fenomena window shopping tanpa transaksi ini menurutnya bukan hanya sekadar soal uang, melainkan juga perilaku. Ia melihat bahwa perubahan gaya hidup digital telah membuat banyak konsumen lebih nyaman berbelanja secara daring dibandingkan datang langsung ke toko fisik.
"Pasti, memang perubahan ini pasti. Jadi pengusaha harus mulai menata dan memetakan ulang customer, perilaku customer, bisa lewat seperti market intelligence atau survey pasar kembali untuk bisa tahu sebenarnya pergeseran preferensi konsumen seperti apa?" Ungkapnya.
Untuk bisa bertahan di tengah pergeseran ini, Gigih menyarankan para pelaku usaha lebih aktif berinovasi dan tidak ragu memanfaatkan data dan riset. Dia contohkan pengalaman membantu salah satu platform e-commerce nasional yang memetakan waktu belanja pelanggan mereka.
"Pasti perlu inovasi. Perlu market intelligence, kita lihat lagi pergeseran customer seperti apa. Misalnya dulu kita pernah membantu salah satu e-commerce, memetakan orang belanja di e-commerce ternyata biasanya di jam-jam tidur di atas jam 8 sampai jam 9 malam. Akhirnya di situ kami sarankan kasih diskon," katanya.
Sebelumnya, dari penelusuran detikJatim di salah satu mal kawasan Surabaya pusat, memang tidak sedikit masyarakat yang melakukan window shoping atau yang kini disebut kaum Rojali atau Rohana. Salah satunya adalah Najwa (23). Dia mengaku sering ke mal hanya untuk jalan-jalan sambil melihat etalase toko.
"Sering sih window shopping doang, karena kadang memang belum ada budget buat belanja. Tapi pengen ke mal buat jalan-jalan dan refreshing saja. Atau lihat-lihat dulu barangnya, nanti beli pas habis gajian," ujar Najwa.
Pengunjung lain, Putri (22) juga mengatakan hal serupa. Namun selain window shopping, biasanya dia juga melakukan pembelian di tenant makanan dan minuman saat berbelanja ke mal. Tidak jarang dia juga melakukan aktivitas lain seperti nonton bioskop atau mendatangi salon hingga klinik kecantikan.
"Kalau belanja barang gitu mungkin jarang ya. Tapi kalau beli makanan sama minuman itu pasti, terus biasanya juga ada aktivitas lain tergantung kebutuhan misal mau treatment atau entertain ya," kata Putri.
Fenomena Rohana Rojali ini disebut belum merebak di Surabaya menurut Ketua DPD Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Jawa Timur Sutandi Purnomosidi.
"Itu mereka (Rohana dan Rojali) KTP-nya DKI, jadi mereka adanya di Jakarta aja. Kalau di Surabaya semua masih kondusif, kok. Memang setelah masuk sekolah ada penurunan, tapi itu wajar. Siklus setelah Hari Raya Idul Fitri, libur sekolah ada penurunan penjualan. Itu lumrah," ujar Sutandi.
(dpe/hil)