Rojali atau rombongan jarang beli, dan rohana atau rombongan hanya nanya, disebut marak beredar di mal karena turunnya daya beli masyarakat. Bagaimana di Surabaya?
Ketua DPD Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Jawa Timur Sutandi Purnomosidi menyebut, fenomena ini belum tampak di Surabaya. Menurutnya, jika terjadi penurunan penjualan pada periode ini, hal itu dipicu oleh siklus yang wajar terjadi usai libur panjang.
"Itu mereka (Rohana dan Rojali) KTP-nya DKI, jadi mereka adanya di Jakarta aja. Kalau di Surabaya semua masih kondusif kok. Memang setelah masuk sekolah ada penurunan, tapi itu wajar. Siklus setelah hari raya Idul Fitri, libur sekolah ada penurunan penjualan itu lumrah," ujar Sutandi kepada detikJatim, Selasa (29/7/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, Sutandi mengklaim bahwa saat akhir pekan, mal-mal di Surabaya bahkan masih ramai jadi jujugan pengunjung. Sirkulasi ekonominya pun dinilai masih baik.
"Kita kemarin Sabtu, Minggu kan memang puncaknya (kunjungan) kalau mal itu kan Sabtu dan Minggu, penjualan tenant juga terpantau cukup oke," katanya.
Ia menambahkan bahwa mal saat ini juga telah bertransformasi menjadi civic center atau pusat kota. Sehingga masyarakat yang datang tidak harus untuk berbelanja saja, namun bisa melakukan berbagai aktivitas lainnya.
"Kita juga tidak bisa memaksakan orang ke mal harus belanja. Enggak seperti itu konsepnya. Konsepnya mal itu adalah civic center. Artinya kalau dulu mungkin orang jalan-jalan di alun-alun gitu kan, kalau sekarang jalan-jalan di mal pun ya boleh-boleh aja," tambahnya.
Kendati demikian, para pengusaha tetap berupaya untuk mendorong minat beli masyarakat di mal. Salah satunya dengan memberikan stimulus dan insentif berupa diskon.
"Di weekend tertentu kita bikin adanya Buy One Get One Free Program. Karena memang sekarang harus dirangsang dengan seperti itu. Supaya tingkat kunjungan dan pembelanjaan di mal ini tetap stabil," ungkapnya.
Lebih lanjut, berbagai event spesial juga disiapkan untuk menarik minat para pengunjung agar datang ke mal.
"Kita harus terus mengupayakan ada event-event. Kita datangkan contohnya live show. Tujuannya ya tetap supaya keluarga main ke mal gitu," beber Sutandi.
Sementara itu, dari penelusuran detikJatim di salah satu mal kawasan Surabaya pusat, salah seorang pengunjung, Najwa (23) mengaku sering ke mal hanya untuk melakukan window shopping atau berjalan-jalan sambil melihat etalase toko.
Namun, jika ada penawaran yang menarik seperti diskon, tak jarang dirinya akan melakukan pembelian.
"Sering sih window shopping doang. Beda lagi kalau ada diskon biasanya tergiur buat beli, tapi masih ada pertimbangan budget juga pasti," ujar Najwa.
Pengunjung lain, Putri (22) juga mengatakan hal serupa. Namun, selain window shopping, biasanya dia juga melakukan pembelian di tenant makanan dan minuman saat berbelanja ke mal.
Tak jarang, ia juga melakukan aktivitas lain seperti nonton bioskop atau mendatangi salon hingga klinik kecantikan di mal.
"Kalau belanja barang gitu mungkin jarang ya. Tapi kalau beli makanan sama minuman itu pasti, terus biasanya juga ada aktivitas lain tergantung kebutuhan misal mau treatment atau entertain ya," kata Putri.
Dilansir detikFinance, tidak cuma kalangan menengah ke bawah, orang tajir pun turut jadi bagian dalam fenomena rojali dan rohana yang banyak merebak di mal.
Menteri Perdagangan, Budi Santoso, mengatakan fenomena ini bukanlah barang baru. Menurutnya, masyarakat bebas untuk memilih berbelanja di mal atau lewat toko daring (online store).
Bagi Budi, menjadi hal yang wajar jika masyarakat datang ke mal untuk sekadar melihat-lihat terlebih dahulu, yang pada akhirnya tidak membelanjakan uangnya.
"Kita tuh bebas mau beli di online, mau beli di offline. Dari dulu fenomena itu (rojali) juga ada. Namanya orang dari dulu 'kan juga begitu. Orang mau belanja, dicek dulu, yang ingin lihat barangnya bagus atau tidak, harganya seperti apa," ujar Budi saat ditemui di acara peresmian 100 merek UMKM di salah satu pusat perbelanjaan, Jakarta, Rabu kemarin.
(auh/hil)