Cerita Warkop Pak Untung dari Jaga Warung Kini Jadi Juragan

Cerita Warkop Pak Untung dari Jaga Warung Kini Jadi Juragan

Amir Baihaqi - detikJatim
Rabu, 23 Apr 2025 05:30 WIB
Warkop Pak Untung di Ketintang Banru 1 Surabaya
Habib pemilik Warkop Pak Untung di Jalan Ketintang Banru 1 Surabaya (Foto: Amir Baihaqi/detikJatim)
Surabaya -

Muhammad Habib pagi itu sibuk melayani pelanggan warungnya di Jalan Ketintang Baru 1, Surabaya. Setelah memanaskan air untuk membuat kopi, ia lantas memasak mi instan dan mencuci gelas serta piring.

Meski tak pernah sepi pelanggan, namun warung yang diberi nama 'Warkop Pak Untung' itu tidak buka 24 jam. Namun hanya buka setengah hari atau hingga sore saja.

Ada sejumlah alasan kenapa Habib tak membuka warkopnya selama 24 jam seperti warkop pada umumnya, selain karena tak ada tenaga yang menjaga, Jalan Ketintang Baru memang merupakan jalanan akses dan banyak kantor instansi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Beda dengan warkop lain. Yang ramai terus 24 jam. Sini kalau Sabtu Minggu saja sepi. Masalahnya ini akses jalan tembusan jadi gak seberapa ramai setiap saat," kata Habib kepada detikJatim.

Menurut Habib, warkopnya biasanya ramai pada pagi dan waktu istirahat kerja siang. "Pas jam istirahat itu kan banyak pekerja yang cari makan, ngopi ya antara pukul 11.00 WIB - 12.00 WIB," ujar Habib.

ADVERTISEMENT

Untuk omzetnya, Habib mengaku cukup lumayan. Sebab dari jualan minuman saja, ia bisa mengantongi laba kotor sekitar Rp 600 ribu dengan laba bersih Rp 300 ribu hingga Rp 400 ribu per harinya.

Terbentukanya Paguyuban PKL Mandiri Jaya

Di kawasan Jalan Ketintang Baru, Habib sudah mulai berjualan sejak tahun 2003. Karena masih terhitung liar, tak jarang warung sering terkena razia Satpol PP.

Karena hal ini, pada tahun 2004, Lurah Ketintang merangkul para pedagang dengan mendirikan Paguyuban PKL Mandiri Jaya. Sejak saat itu, ia dan PKL lainnya pun bisa resmi berjualan.

"Sejak itu kita resmi berdagang karena semua pihak sudah tanda tangan sepakat," ujar pria 43 tahun itu.

Kebijakan Lurah Ketintang ini seperti angin segar. Sebab, selain merasa PKL dirangkul, pihak kelurahan juga memberi fasilitas dengan memberikan tenda yang harus dibeli para pedagang.

"Tendanya itu diutangi harganya Rp 1,2 juta. Itu dicicil 3 kali. Jadi setiap bulan 400 ribu," tutur Habib.

"Itu programnya pak lurak bagus lah, ngerangkul. Karena memang di sini memang banyak instansi kan semua pegawainya kan butuh warung untuk makan dan minum biar gak jauh saat istirahat biar gak jauh," imbuhnya.

Nekat Pergi ke Surabaya

Meski mulai membuka warung sejak 2003. Namun Habib mengaku sudah di Surabaya sejak tahun 1999. Ada cerita di balik keputusannya yang nekat datang ke Kota Pahlawan itu.

Di kampung halamannya, Desa Ngawun, Kecamatan Parengan, Tuban, Habib telah jadi anak yatim-piatu sejak sekitar usia 2 tahun. Karena hal ini, ia kemudian diasuh oleh kakak perempuannya bernama Khutsiah.

"Kakak saya itu anak pertama saya anak terakhir. Kebetulan Mbak Yu sudah berkeluarga tapi belum diberi anak. Makanya saya diasuh seperti anaknya sendiri" tutur Habib.

Tak hanya diasuh, namun Habib juga disekolahkan hingga lulus SMP. Nah saat itu lah Habib berkeinginan untuk meneruskan sekolah ke Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).

Sayangnya, niatnya itu banyak ditentang kakak dan keluarga lainnya. Sebab saat itu citra SMK dinilai negatif sebagai biang tawuran dan tempatnya anak-anak nakal.

Meski sempat dibujuk dan diiming-imingi akan dibelikan motor, Habib tetap bersikeras untuk tetap masuk SMK. Ia lantas membulatkan tekad jika tak masuk SMK lebih baik tak usah sekolah.

Warkop Pak Untung di Ketintang Banru 1 SurabayaWarkop Pak Untung di Ketintang Banru 1 Surabaya (Foto: Amir Baihaqi/detikJatim)

Ia pun kemudian memilih untuk mencari pekerjaan, namun lapangan kerja di desanya sangat minim selain tani. Terlebih tani di desanya mengandalkan sistem tadah hujan.

"Desa saya ini daerah tandus. Jadi tani yang tadah hujan. Kalau gak hujan ya gak tanam," tutur Habib.

Karena hal ini, banyak anak muda dari desanya yang kemudian pergi ke kota untuk mencari pekerjaan yang layak. Habib pun tergiur setelah diajak temannya yang lebih dahulu di Surabaya.

Dengan berbekal selembar alamat tempat tinggal temannya di Gubeng, Habib selanjutnya pamitan ke keluarganya. Ia lalu naik bus menuju Surabaya untuk bekerja.

Namun setiba di Surabaya, ternyata pekerjaan yang dijanjikan tak ada. Ia pun harus sabar mencari dan menunggu lowongan pekerjaan sambil tetap menumpang di tempat temannya.

"Akhirnya ada yang nawarin kerja kuli bangunan, mau gak. Ya saya ambil saja yang penting kerja. Terus ada tawarin lagi mau gak jaga warung kopi di Wonokromo," kenang Habib.

"Saya waktu sekitar 4 tahun kerja jaga warung di Wonokromo milik bos saya," tutur Habib.

Selama kerja, Habib rupanya selalu menyisihkan penghasilannya untuk ditabung. Sedikit demi sedikit ia pun mencoba untuk membuka warung sendiri.

Gayung bersambut, keinginan untuk membuat warung ternyata didukung bosnya. Bahkan, bosnya juga ikut menyumbang modal warung yang akan dibuka Habib.

"Awalnya modalnya bayaranku disisihkan, ditabung. Terus diberi sama bosku, orang baik itu. Katanya pokoknya kamu bikin warung saya senang, nanti saya yang ngisi (dagangannya)," tutur Habib.

Sejak saat itu, habib pun menjaga warung kopinya bergantian bersama istrinya di Jalan Ketintang Baru.

Pinjam KUR BRI Saat Pandemi COVID-19 Datang

Pelan tapi pasti, usaha warung kopi rintisan Habib pun berkembang dan berjalan. Hingga pandemi COVID-19 datang. Semua usaha terdampak tak terkecuali warungnya.

"Pas COVID sebenarnya masih buka. Tapi kita tetap terapkan protokol kesehatan, nyediain air buat cuci tangan, jaga jarak, maskeran," tuturnya.

Meski begitu, penghasilannya turun drastis. Karena hal ini, ia mengajukan pinjaman KUR BRI untuk tambahan modal pada tahun 2019. Saat itu, Habib mengajukan pinjaman Rp 5 juta dengan angsuran 2 tahun.

Lunas dengan pinjaman yang pertama, ia kembali mengajukan pinjaman. Total, ia sudah empat kali mengajukan pinjaman KUR BRI. Selain untuk modal usahanya juga untuk menyekolahkan anaknya yang akan masuk SMA.

"Yang terakhir Rp 50 juta. Ini pas anakku sekolah. Kan yang besar masuk SMA. KUR memang sangat membantu. Di samping prosesnya enak, bunganya juga ringan. Sangat membantu," terangnya.

Dari usahanya membuka warung itu, Habib pun sempat membeli sepetak rumah yang masih di kawasan Ketintang. Namun sayangnya, tanah tempat bangunan tersebut ternyata milik PT KAI. Ia dan keluarganya pun harus tergusur.

"Tapi KAI baik, jadi digusur tapi diberi ganti rugi saya belinya rumah sekitar Rp 35 juta dapat ganti rugi sekitar Rp 50 juta karena satu lantai. Ada yang tetangga saya dua lantai lebih lagi dapatnya," ujarnya.

Kini, Habib dan keluarganya pindah ke kos-kosan yang tak jauh dari warungnya. Di tempat kos tersebut juga, pemiliknya mempercayai Habib sekaligus jadi penjaga kos.

Terpisah, mantri BRI Unit Wonokromo, Arif Sultoni membenarkan Habib merupakan nasabahnya yang tergabung di Paguyuban PKL Mandiri Jaya. Dalam paguyuban tersebut terdapat 17 PKL yang rata-rata berjualan nasi. Sedangkan 2 lainnya adalah warung kopi.

"Paguyuban itu saya klaster PKL. Dan Pak Habib ini sudah beberapa kali pinjam KUR yang tak hanya pinjaman untuk modal, tapi juga untuk kebutuhan finansial para pedagang," kata Arif.




(abq/iwd)


Hide Ads