Dudun Abi Manaf tampak sibuk di rombong siomay-nya pagi itu. Dengan cekatan, pria 31 tahun itu melayani satu persatu pembelinya yang datang silih berganti minta dibungkuskan kuliner khas asal Jawa Barat itu.
Salah satu pembeli, Dini mengaku kerap membeli siomay 'Doa Ibu' milik Dudun di Pasar Rakyat Jambangan. Pasar ini terletak persis di sisi utara Masjid Al Akbar Surabaya.
"Iya, sering ke sini. Ini sama teman saya beli. Enak, murah per porsinya Rp 12 ribu. Kalau siomay lain, harganya sudah Rp 14 ribu per porsinya," ujar Dini kepada detikJatim, Rabu (16/4/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dudun sendiri selalu mulai berjualan siomay sejak pukul 07.00 WIB hingga sore menjelang. Jika tak habis, pria asal Garut Jawa Barat itu akan menjualnya di Kebonsari yang masih masuk Kecamatan Jambangan.
"Biasanya kalau siomay masih banyak saya keliling ke SMA Al Hikmah di Jalan Kebonsari Elveka. Sore baru pulang," tutur pria yang hanya lulusan SD itu.
"Kalau tak habis siomay sama tahu masih bisa dibuat besok. Tapi kalau sayuran seperti kubis dan pare dibuang," imbuh Dudun.
Sepulang dari berjualan itu, Dudun biasanya berbelanja bahan-bahan untuk siomay di Pasar Pagesangan. Bahan-bahan itu lantas diolahnya menjadi siomay di kos-kosan selepas magrib hingga pukul 21.00 WIB.
Awal Merantau dari Garut ke Surabaya
Dudun menyebut hampir rata-rata penjual siomay di Surabaya merupakan perantauan dari Jawa Barat. Ia sendiri berasal dari Desa Ciceri, Kecamatan Cilawu, Garut dan telah merantau dan berjualan siomay sejak tahun 2008 di Kota Pahlawan.
Lapangan kerja yang susah lah di kampung asalnya yang mendorong dirinya untuk merantau ke Surabaya. Keinginannya merantau kemudian semakin bulat setelah mendapat ajakan teman dari satu kampungnya yang sudah lebih dahulu di Surabaya.
"Ya saya merantau baru di Surabaya ini, sebelumnya gak pernah ke mana-mana cuma kerja di kampung, ya tani, di konveksi jahit cuma setahun. Lalu diajak teman ke sini," terang Dudun.
"Saya nyoba merantau ke sini. Alhamdulillah di sini saya kerasan. Terus ya lumayan cukup untuk anak istri, keluarga," sambungnya.
Di Surabaya ini, awalnya Dudun mulai belajar membuat siomay. Awalnya juga ia menggunakan rombong siomay milik temannya. Perlahan, ia menabung dan baru bisa memiliki rombong sendiri tahun 2010.
"Sebenarnya penjual siomay di sini itu ada komunitasnya. Ya asalnya dari Jawa Barat semua, kebetulan komunitas saya ini dari Garut semua," tutur bapak satu anak itu.
Namun selama di perantauan, kisahnya tak selalu mulus-mulus saja. Tepat pada 2019 akhir pandemi COVID-19 melanda. Ia ikut terdampak karena adanya aturan pembatasan sosial berskala besar dan protokol kesehatan waktu itu.
Kerumunan pun dilarang, orang keluar juga dibatasi. Ia kemudian terpaksa harus mudik ke kampungnya. Selama di kampung, Dudun mengaku bekerja serabutan lagi seperti saat sebelum merantau.
![]() |
Dua tahun berlalu, pandemi pun berakhir. Suami Rika Rahmawati itu pun kembali lagi ke Surabaya berjualan siomay. Karena mulai dari awal lagi, ia membutuhkan modal cepat.
Dari situ, Dudun lalu punya inisiatif mengajukan pinjaman kredit usaha rakyat (KUR) BRI. Saat itu, ia memberanikan diri meminjam Rp 7 juta untuk modal. Roda usahanya kembali bergulir. "Dulu ambilnya (KUR) 18 bulan. Per bulannya sekitar Rp 300 ribu.
Ditanya soal omzet, Dudun bersyukur karena sejak pandemi berakhir dan usahanya kembali bergulir, omzetnya pun ikut mengalir, terlebih saat akhir pekan.
"Hari biasa kalau secara keseluruhan Rp 600 ribu itu belum modalnya. Kalau bati (untung) sekitar Rp 200 ribu. Akhir pekan saya alhamdulillah dapat Rp 1, 2 sampai Rp 1 juta," ungkap Dudun.
Ambil KUR untuk Bangun Rumah di Desa
Dudun mengaku pinjaman KUR BRI memang sangat membantunya bangkit setelah diterjang pandemi. Karena hal ini, ia kembali meminjam KUR lagi. Kali bukan untuk modal berdagang, tapi membangun rumah di kampung halamannya.
"Ambil KUR yang kedua sampai sekarang. Yang kedua saya pinjam Rp 25 juta untuk bangun rumah," tukas Dudun.
Selain meminjam KUR, untuk membangun rumah, Dudun juga rajin menabung. Meski demikian, ia tak lupa dengan keluarganya di rumah. Hampir setiap minggu ia selalu mengirim uang untuk keluarganya di kampung.
Meski mengaku kerasan di perantauan, Dudun rupanya punya keinginan suatu saat harus pulang dan membuka usaha di kampung halamannya. Itu kenapa, telah mulai membangun rumah sedikit demi sedikit di desanya.
Ia bahkan telah melihat peluang bisnis yang menjanjikan di desanya. Peluang itu adalah usaha kolam pemancingan ikan. Selain usaha siomay yang akan tetap dijalankannya.
"Saya rencanannya, saya pengin punya usaha di Garut. Ingin punya kolam pemancingan. Siomay masih terus di desa biar istri yang lanjutkan," ujar Dudun.
"Pemancingan ada peluang bisnis, ramai di sana. Sudah ada niat mulai nabung. Kalau bisa ingin pinjam (KUR) lagi untuk usaha itu," tandas Dudun.
Mantri BRI Unit Siwalan Indah Wonocolo, Ifan Pratama membenarkan Dudun merupakan nasabahnya yang mengambil KUR. Ifan menyebut Dudun merupakan nasabah yang kooperatif.
Karena hal ini, lanjut Ifan, dirinya kerap mengikutkan Dudun ke setiap acara bazar UMKM yang digelar BRI. Ifan juga salut dengan perjuangan Dudun saat merantau.
"Benar, Bang Dudun nasabah saya saat ambil KUR. Iya, ini sudah yang kedua ambil KUR yang katanya untuk bangun rumah di kampungnya, Garut sana," terang Ifan.
Menurut Ifan, keberhasilan Dudun pun menjadi contoh di komunitasnya. Tak jarang kemudian teman-temannya sesama penjual siomay juga ikut mengajukan pinjaman KUR untuk modal usaha.
"Nah itu, saya kemudian bikinkan kluster usaha pedagang siomay di komunitas Bang Dudun, termasuk memberikan fasilitas QRIS agar memberikan kemudahan pembayaran," tanda Ifan.
(abq/fat)