Salah satunya Kartono Adi (38), warga Dusun Kedungwulan, Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan. Ia mewarisi keterampilan memproduksi terakota dengan teknik cetak dan ukir dari sang paman, Suparno. Kini pamannya beralih ke kerajinan perunggu. Ya, desa ini dikenal sebagai sentra kerajinan perunggu dan patung cor kuningan.
Selama 15 tahun bergelut dengan terakota, kini Adi bekerja sama dengan temannya, Rohman. Bapak satu anak ini mempunyai merek sendiri, yakni The Terracotta yang ia produksi di rumah Rohman, Desa Watesumpak, Kecamatan Trowulan. Desa ini dikenal sebagai sentra patung batu andesit. Menurutnya, kini tinggal 5 perajin terakota yang bertahan di bekas ibu kota Majapahit.
"Tinggal 5 perajin terakota di Kecamatan Trowulan, yaitu di Desa Bejijong, Desa Trowulan, dan di Desa Watesumpak," kata Adi kepada detikJatim di rumahnya, Sabtu (6/1/2024).
Dengan teknik cetak, Adi biasa memproduksi terakota untuk suvenir. Mulai dari patung Agastya, Kertarajasa Jayawardana, Tribuana Tungga Dewi, Prajna Paramitha, Gajah Mada, hingga celengan babi. Sedangkan terakota berukuran lebih besar ia kerjakan dengan teknik ukir, seperti cani dan patung raja Majapahit, gajah mina, serta patung para dewa dalam ajaran Hindu.
"Teknik ukir hasilnya lebih detail pada ukirannya, lebih luwes dan estetis. Kalau cetakan, ukirannya kaku dan kurang detail," terangnya.
Selain itu, tutur Adi, proses produksi terakota dengan teknik ukir jauh lebih lama daripada cetak. Jika dengan teknik cetak ia mampu membuat 10 produk per hari, maka dengan teknik ukir ia hanya mampu membuat 1 candi atau patung setinggi 1,2 meter dalam 1 bulan. Sehingga, sampai pembakaran dan finishing butuh waktu total 2 bulan. Tentu karyanya tergolong edisi terbatas sebab mempunyai detail yang berbeda dengan terakota cetakan.
"Referensi kami dari temuan-temuan (benda purbakala) yang ada. Figur raja biasanya menonjolkan fisik yang gagah, ukiran perhiasan, busana, mahkotanya yang detail," jelasnya.
Adi menjual terakota cetak untuk suvenir dengan harga terjangkau, yaitu Rp 50-200 ribu. Sedangkan harga terakota ukir tergantung tingkat kerumitan proses pembuatannya. Misalnya candi Majapahit setinggi 1,6 meter biasa ia jual Rp 2,5 juta. Pesanan datang dari Malang, Jakarta, Bali, dan Surabaya.
"Produk ukir dan cetak sama-sama diminati. Produk cetak banyak diminati untuk suvenir. Kalau candi untuk hiasan taman dan pagar rumah," ungkapnya.
Lain halnya dengan Romadi (49), perajin terakota di Dusun/Desa Bejijong yang eksis sejak 2002 silam. Bapak dua anak ini banting setir dari tukang kayu ke kerajinan terakota sejak 21 tahun lalu. Keterampilan mengukir tanah liat dan seterusnya, ia pelajari sembari bekerja kepada temannya di Desa Trowulan. Kini ia rutin mengerjakan pesanan dari broker asal Surabaya dan konsumen dari Jakarta dan Surabaya.
Selama ini, Romadi hanya mengerjakan terakota dengan teknik ukir atau manual. Karyanya ia banderol sesuai ukuran. Candi Majapahit setinggi 70 cm Rp 400 ribu, 90 cm Rp 600-700 ribu, 120 cm Rp 1-1,5 juta, dan 160 cm Rp 2,5 juta. Pancuran air motif gajah minta setinggi 50 cm Rp 300 ribu, sedangkan pot bonsai berukir Rp 250 ribu. Ia juga menghasilkan berbagai patung dewa China, Hindu, patung Buddha, serta raja dan ratu Majapahit.
"Pokok tingginya 1,5 meter ke atas harganya di atas Rp 2 juta. Kalau di bawah itu harganya di bawah Rp 2 juta. Paling mahal kalau pembelinya kolektor, prosesnya selalu dipantau menuruti keinginan pemesan, harganya bisa sampai Rp 5 juta," cetusnya.
Baik Romadi maupun Adi memproduksi terakota dengan bahan tanah liat dari para perajin bata merah di Kecamatan Trowulan. Mereka memilih tanah berkarakter lembut dan lengket, serta berwarna kehitaman atau kekuningan. Harganya cukup terjangkau, hanya Rp 250 ribu per pikap. Setelah diolah menjadi adonan, barulah tanah liat digunakan membentuk produk secara bertahap dari bagian dasar.
Setiap bagian yang dibentuk dan diukir harus dibiarkan mengeras di suhu kamar. Kemudian mereka melanjutkan bagian atasnya agar bagian bawahnya tidak rusak. Setelah jadi 100 persen pun, terakota tidak boleh dijemur di bawah matahari agar tidak retak. Setelah kering di suhu kamar, barulah bisa dijemur di bawah matahari langsung selama 1-2 hari. Ketika kemarau, pengeringan di suhu kamar tak sampai 1 minggu. Sedangkan saat musim hujan, pengeringan sampai 2 pekan.
Selanjutnya, terakota setengah jadi mereka bakar selama 4-5 jam di dalam tungku berbahan bakar kayu. Sekali pembakaran, tungku hanya muat untuk 4-5 produk besar. Untuk pot bonsai atau pancuran air, tungku tersebut muat 10 produk sekaligus. Tahap pembakaran ini agar terakota tahan cuaca panas dan hujan. Terakhir tahap finishing menggunakan pewarna campuran tanah liat, kapur, oker, serta lem kayu.
"Proses awal sampai finishing butuh waktu biasanya 2 bulan. Kalau produk kecil-kecil seperti gajah mina 1 bulan selesai 10 biji, sekalian bakar dan finishing juga makan waktu 2 bulan. Paling lama produksi arca karena ukirannya kecil-kecil dan rumit," tandas Romadi.
(dpe/dte)