Perajin Tempe di Mojokerto Naikkan Harga Siasati Mahalnya Kedelai Impor

Perajin Tempe di Mojokerto Naikkan Harga Siasati Mahalnya Kedelai Impor

Enggran Eko Budianto - detikJatim
Rabu, 22 Nov 2023 08:30 WIB
Perajin Tempe Asal Mojokerto
Perajin tempe Mojokerto menaikkan harga di tengah mahalnya harga kedelai (Foto: Enggran Eko Budianto)
Mojokerto -

Melonjaknya harga kedelai impor juga memukul bisnis perajin tempe di Kabupaten Mojokerto. Untuk menyiasatinya, perajin terpaksa menaikkan harga tempe Rp 5.000 per bak.

Itulah strategi yang dipilih Muhammad Toha (37), perajin tempe di Dusun Sroyo, Desa/Kecamatan Dlanggu, Mojokerto. Bisnis keluarga yang sudah berjalan 17 tahun ini sedikit goyah karena lonjakan harga kedelai impor dari Amerika Serikat sejak 1,5 bulan lalu.

Harga kedelai dari Negeri Paman Sam itu naik signifikan dari Rp 10.000 menjadi Rp 13.500/Kg. Produsen Tempe Dziffa ini tak punya pilihan lain. Sebab Toha sangat tergantung dengan kedelai impor yang karakternya mekar ketika direbus. Lain halnya dengan kedelai lokal.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Karena kedelai impor lebih mekar sehingga jadinya tempe lebih bagus. Rasanya juga enak kedelai impor. Kalau lokal rasanya belum masak bener," terangnya kepada detikJatim di tempat usahanya, Rabu (22/11/2023).

Untuk menyiasatinya, Toha terpaksa menaikkan harga tempe buatannya hingga Rp 5.000 per bak. Tempe ukuran 50 x 150 cm naik dari Rp 125.000 menjadi Rp 130.000, tempe 20 x 150 cm naik dari Rp 50.000 menjadi Rp 55.000, sedangkan tempe 10 x 150 cm naik dari Rp 60.000 menjadi Rp 65.000.

ADVERTISEMENT

Harga tempe dengan lebar 10 cm lebih mahal daripada yang 20 cm karena proses mencetaknya yang lebih rumit. Begitu juga dengan harga jual tempe kemasan plastik 250 gram. Toha menaikkannya dari Rp 10.000 dapat 7 bungkus, menjadi Rp 10.000 dapat 5 bungkus.

"Siasat sama cuma menaikkan harga. Cetakan sama, kalau dikurangi, harga tetap, pelanggan lari semua," jelasnya.

Tempe buatan Toha selama ini dipasarkan ke 3 pasar tradisional di Mojokerto, yaitu Pasar Dlanggu, Pandanarum dan Tangunan. Bapak 2 anak ini juga melayani sejumlah pedagang eceran yang biasa keliling ke kampung-kampung.

"Para pedagang biasa atur sendiri irisan ketika jual ke konsumen," ujarnya.

Dibantu 3 karyawannya, Toha mengolah 350 Kg kedelai menjadi tempe setiap harinya. Produksi pagi sampai siang, ia menghabiskan 300 Kg kedelai, sedangkan produksi malam hanya 50 Kg kedelai. Kedelai yang dimasak pagi hingga siang baru 48 jam menjadi tempe. Karena menggunakan lebih sedikit ragi.

"Tapi yang dimasak pagi lebih tahan lama, 24 jam. Yang masak malam pakai ragi lebih banyak, menjadi tempe dalam 24 jam, daya tahan hanya 12 jam," ungkapnya.

Pada tahap awal, kedelai lebih dulu direndam air selama 1 jam agar lebih merekah. Kemudian kedelai direbus dengan uap panas sekitar 1,5 jam. Uap panas berasal dari ketel berbahan bakar kayu. Setelah matang, kedelai ditiriskan selama 1 malam.

Keesokan harinya, kedelai dimasukkan ke mesin giling agar setiap bijinya pecah menjadi 2. Tujuannya agar ragi bisa tercampur merata. Selanjutnya, kedelai dicuci dengan air sampai bersih, lalu ditaburi ragi. Barulah kedelai ditiriskan untuk mengurangi kadar airnya.

Pada tahap akhir, kedelai dicetak dengan bak kayu sesuai ukuran yang diminati para konsumen. Kemudian setiap cetakan kedelai dibungkus plastik agar fermentasi lebih cepat menjadi tempe. Setiap cetakan kedelai lantas ditata di rak-rak sembari menunggu matang.

"Kami menggunakan bahan murni kedelai. Kan ada tempe yang dicampur karak (nasi sisa yang dikeringkan) dan jagung," tandas Toha.




(abq/iwd)


Hide Ads