Hobi jika ditekuni bisa mendulang rupiah. Itulah yang dilakukan Frandy (35), perajin gitar di Mojokerto yang beromzet Rp 40 juta per bulan.
Berawal dari hobi bermain musik, mantan guru sekolah dasar (SD) ini sukses mengolah limbah kayu menjadi berbagai model gitar elektrik bernilai tinggi.
Frandy memutuskan berhenti mengajar tahun 2012. Lulusan pendidikan guru SD (PGSD) Unesa ini lebih mencintai hobinya bermain gitar. Ya, sejak saat itu ia mengutak-atik gitar elektrik bekas dari pasar loak. Berbagai komponennya ia pelajari, lalu ia rakit ulang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Awalnya saya beli gitar bekas, lalu saya perbaiki untuk saya jual kembali. Lama-kelamaan banyak permintaan," kata Frandy di rumahnya, Dusun/Desa/Kecamatan Pungging, Kabupaten Mojokerto, Jumat (23/12/2022).
![]() |
Menginjak 2014, bapak satu anak ini mulai belajar membuat gitar elektrik sendiri secara otodidak. Sebab pesanan gitar terus datang kepadanya. Setahun kemudian ia merekrut 1 karyawan bagian menggosok bodi dan leher (neck) gitar. Bisnisnya terus berkembang sehingga sejak 2019 ia mempunyai 3 pekerja.
Yang lebih mengagumkan, ternyata selama ini Frandy memanfaatkan limbah kayu dari sebuah pabrik gitar di kawasan Ngoro Industrial Park (NIP). Potongan kayu maple itu ia olah dan sambung menjadi bodi, leher dan kepala (headstock) gitar. Selain tergolong bahan siap pakai, limbah kayu itu ia beli dengan harga murah.
"Bahan kayu untuk bodi Rp 50 ribu, untuk neck Rp 10 ribu. Kalau ingin tidak banyak sambungan, ada bahan kayu mahoni, tapi harganya agak mahal. Kualitas suara yang dihasilkan sama," terangnya.
Dibantu 3 karyawannya, Frandy memproduksi gitar elektrik di bengkel rumahnya. Diawali pembentukan bodi gitar sesuai pesanan menggunakan mesin profil bantuan Disperindag Kabupaten Mojokerto. Permukaan bodi gitar yang selesai dibentuk lantas di-sanding atau diampelas agar halus, lalu pori-pori kayu ditutup dengan disemprot poliuretan dan poliester.
"Pembuatan neck dan kepala gitar sama dengan bodi. Bedanya, ada pemasangan fret, nut dan tuner secara manual pakai palu kayu. Kemudian neck dan kepala tidak pakai diwarna. Jadi, setelah sanding langsung clear, digosok pakai kertas gosok air, lalu dipoles," jelasnya.
Barulah bodi, leher dan kepala gitar dirakit. Frandy dan karyawannya lantas memasang senar dan berbagai komponen elektrik. Mulai dari bridge, pickup, kontrol volume, tuning lock, strap pin hingga pickup selector. Terakhir gitar elektrik disetel sampai benar-benar siap digunakan. Rata-rata ia mampu menghasilkan 2 gitar elektrik per hari.
"Untuk model gitar sesuai permintaan konsumen, kebanyakan model umum yang dipakai para artis," cetusnya.
Frandy mengaku selama ini belum mempunyai merek gitar sendiri. Sebab ia tak punya waktu untuk bereksperimen menciptakan model sendiri. Pesanan terus mengalir untuk ia kirim ke berbagai daerah di tanah air. Mulai dari Mojokerto sendiri, toko alat musik di Surabaya, Batam, hingga ke berbagai daerah di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi.
Menurutnya pesanan itu datang dari pembeli melalui marketplace, musisi lokal Mojokerto, toko alat musik di Surabaya dan 4 sales yang sudah menjadi pelanggan tetapnya. Setiap bulan, Frandy rata-rata menjual 30 gitar elektrik. Harga yang banderol pun beragam tergantung kualitas komponen elektriknya. Mulai dari Rp 1,3 juta sampai Rp 3 juta per gitar.
"Omzet rata-rata sebulan Rp 40 juta. Kalau keuntungan bersih Rp 10-12 juta," ungkapnya.
Selama ini Frandy mendapatkan pendampingan dari Disperindag Kabupaten Mojokerto untuk mengelola bisnisnya. Ke depan, ia berharap pemerintah membantunya untuk ekspor gitar elektrik sekaligus akses permodalan. Karena biaya pengiriman ke luar negeri jauh lebih mahal dibandingkan harga gitarnya.
"Banyak customer dari Malaysia dan Singapura yang sudah tanya-tanya, tapi ongkos kirimnya lebih mahal. Juga permodalan supaya dibantu lagi. Selama ini modal tipis, saya tidak bisa membuat stok gitar karena modal terus berputar," tandasnya.
Simak Video "Menyulap Limbah Kayu jadi Barang Laku"
[Gambas:Video 20detik]
(dpe/fat)