Ayahku pulang bekerja malam hari dan ia mengambil koran dan duduk lalu makan malam. Sedangkan ibuku membersihkan dapur dan ia mengawasi pekerjaan rumah, memandikan kami, dan menidurkan kami. Ayah punya pekerjaan yang ada akhirnya, tapi kerja ibu tak pernah selesai bahkan saat akhir pekan. 24 jam sehari, 7 hari seminggu, sepanjang tahun.
Demikian ungkapan yang disampaikan Meryl Streep dalam kanal Youtube Women's Refugee Commission. Pernyataan Meryl itu menggambarkan betapa peran seorang ibu tak bisa dipandang lebih rendah daripada peran ayah yang mencari nafkah untuk keluarga.
Praktisi Psikolog dan Forensik Surabaya Riza Wahyuni ketimpangan pandangan terhadap gender di dalam pernikahan akan mengakibatkan masalah serius. Terlebih lagi pernikahan dilakukan oleh mereka yang belum siap baik dari segi mental maupun ekonomi.
"Ketidaksiapan untuk menikah ditekan dengan tekanan sosial yang mengatakan bahwa tidak segera menikah akan diberikan stigma negatif seperti laki-laki bujang tidak laku, hingga perawan tua untuk perempuan," kata Riza.
Riza juga mengatakan bahwa pernikahan seharusnya tidak dilandasi stigma negatif masyarakat tetapi perlu kesiapan, termasuk perspektif gender bahwa hubungan suami istri adalah hubungan yang setara. Dia tegaskan, pernikahan adalah kondisi di mana kedua pasangan sama-sama saling mengisi satu sama lain.
"Memahami konsep perbedaan itu penting. Dari memahami kepribadian calon pasangan, kemudian memahami latar belakang keluarga, kesiapan ekonomi dan keuangan, itu penting tapi sering diabaikan," kata Riza.
Pengabaian konsep itu mengakibatkan seorang ibu masih memiliki persoalan yang belum menemui kata selesai, di mana mereka harus menjadi sosok yang selalu ada untuk keluarganya di tengah resiko menjadi korban kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Peringatan Hari Ibu 2025 kembali menjadi ruang refleksi tentang persoalan KDRT yang masih membayangi para ibu di Jawa Timur. Sepanjang Januari hingga Juni 2025, data kepolisian mencatat ada kurang lebih 327 kasus KDRT yang ditangani dengan kekerasan fisik menjadi bentuk yang masih mendominasi.
Faktor Ekonomi Pemicu KDRT
Unit Perlindungan Remaja, Perempuan, dan Anak (Renakta) Direktorat Reserse Kriminal Umum (Direskrimum) Polda Jatim mencatat sebagian besar perkara yang ditangani berkaitan dengan KDRT dan kekerasan seksual terjadi di lingkup terdekat korban dengan pelaku yang selalu didominasi oleh laki-laki.
Kanit II Renakta Polda Jawa Timur, Kompol Ruth Yeni Damayanti menyebut dari ratusan kasus itu kekerasan fisik mencapai 282 laporan, disusul kekerasan seksual sebanyak 38 kasus, sementara sisanya berupa kekerasan psikis, pemaksaan hubungan seksual, dan penelantaran.
"Kalau nggak bapaknya, ibunya, saudaranya, atau pembantu yang dianiaya majikan. Jadi kekerasan yang datang dari lingkup orang terdekat itu menyiksa psikis secara luar biasa," katanya.
Angka ini menunjukkan bahwa KDRT masih menjadi persoalan serius dan berulang. Terlebih lagi mayoritas korban mengalami kekerasan berulang yang tidak hanya berdampak secara fisik, tetapi juga menimbulkan trauma psikologis mendalam.
"Ini yang membuat dampaknya jauh lebih berat, karena keluarga seharusnya menjadi ruang paling aman," ujar Ruth saat ditemui di Surabaya.
Ia menjelaskan, faktor ekonomi masih menjadi pemicu utama terjadinya KDRT sepanjang 2025. Tekanan ekonomi kerap memicu konflik rumah tangga yang terus merembet menjadi kekerasan. Misalnya persoalan minimnya pendapatan yang kurang mencukupi kebutuhan keluarga, hingga kebiasaan bermain judi online (judol).
Selain itu, kehadiran orang ketiga, perubahan karakter pasangan, buruknya komunikasi, serta relasi kuasa yang timpang turut memperparah situasi. Oleh karena itu Ruth menegaskan KDRT tidak pernah berdiri sendiri sebagai satu peristiwa. Dalam banyak kasus, kekerasan terjadi berlapis dan berlangsung lama.
"Polanya belum menunjukkan penurunan signifikan. Artinya, kekerasan dalam rumah tangga masih bersifat struktural, bukan insidental," ujar Ruth.
Hal itu senada dengan pendapat Praktisi Psikolog dan Forensik Surabaya Riza Wahyuni bahwa masih terjadi ketimpangan hierarki dalam hubungan laki-laki dan perempuan dalam perspektif gender yang perlu dipahami masyarakat di Jawa Timur.
"Ini masalah struktural, laki-laki sebagai kepala rumah tangga kemudian semua keputusan ada di tangan laki-laki. Hal itu membuat angka kekerasan pada perempuan, KDRT mengalami peningkatan. Terlebih lagi dulu kan perempuan masih dibayang-bayangi stigma tabu bahwa KDRT itu aib keluarga," ujar Riza.
Penerapan Keadilan Restoratif dan Risikonya
Ruth mengaku korban yang datang melapor kerap berada dalam kondisi mental yang belum stabil. Oleh karena itu penanganan perkara tidak bisa dilakukan secara tergesa-gesa hanya demi mengejar proses hukum dengan memberikan pemulihan terlebih dahulu.
"Kalau korban belum siap diperiksa, kami tidak memaksa. Yang kami utamakan adalah pemulihan fisik dan psikis terlebih dahulu. Kalau dia habis dipukul, alat bukti utamanya visum. Tapi kita juga harus obati karena kekerasan fisik itu pasti berdampak ke psikis," jelas Ruth.
Ruth menegaskan, penyidik Renakta tidak hanya berfungsi sebagai penegak hukum, tetapi juga berperan sebagai garda terdepan pemulihan korban. Korban akan diarahkan untuk mendapatkan pendampingan medis, psikologis, hingga perlindungan di rumah aman sebelum pemeriksaan dilakukan.
Hal itu sejalan dengan bagaimana Ruth menanggapi maraknya anggapan bahwa keadilan hanya bisa diperoleh melalui viral di media sosial. Ruth mengingatkan bahwa viralnya sebuah kasus tidak selalu sejalan dengan proses penegakan hukum.
"Proses hukum punya tahapan yang tidak bisa dilompati. Mereka cari pembelaan, empati itu dari publik, sebenarnya cara begitu kasihan anaknya. Itu mungkin nyamannya curhat di media sosial, tapi yang jelas viral tidak otomatis menghadirkan keadilan," tegas Ruth.
Terkait penyelesaian perkara KDRT, ia mengungkapkan sekitar 80% kasus diselesaikan melalui mekanisme restorative justice. Namun, pendekatan tersebut dilakukan dengan syarat pemulihan korban benar-benar terlaksana dan ada komitmen nyata dari pihak pelaku.
"Restorative justice bukan berarti perkara dihentikan begitu saja. Ada proses, ada pengawasan, dan tujuan utamanya adalah melindungi korban serta anak," katanya.
Berani Lapor
Ruth berharap masyarakat semakin berani melapor dan tidak ragu mempercayakan penanganan kasus kekerasan kepada aparat penegak hukum.
"Kami membuka ruang komunikasi seluas-luasnya. Korban berhak tahu perkembangan perkaranya," tegas Kanit II Renakta.
Melalui peringatan Hari Ibu 2025, Ruth menekankan pentingnya mengubah cara pandang masyarakat dan kembali menjadi ruang refleksi atas persoalan kekerasan dalam rumah tangga. Menurutnya, KDRT bukan urusan privat yang harus ditutup rapat, melainkan pelanggaran hak asasi yang membutuhkan perhatian bersama.
Selain itu, ini menjadi momentum pengingat bahwa kekerasan yang dalam hampir seluruh laporan KDRT korbannya adalah perempuan, akan muncul kesadaran yang dimiliki semua pihak. Tidak hanya perempuan, tetapi juga suami, keluarga, lingkungan, hingga negara.
"Hari Ibu bukan sekadar perayaan. Ini momentum untuk memastikan perempuan merasa aman, dihargai, dan dilindungi," pungkas Ruth.
Simak Video "Video: Kronologi Aktor Korsel Lee Ji Hoon Dilaporkan Istri Atas KDRT"
(ihc/dpe)