Perempuan, Ibu, dan Penyidik di Balik Penanganan Kasus Kekerasan Jatim

Semua Bunda Dirayakan

Perempuan, Ibu, dan Penyidik di Balik Penanganan Kasus Kekerasan Jatim

Aprilia Devi - detikJatim
Senin, 22 Des 2025 11:30 WIB
Perempuan, Ibu, dan Penyidik di Balik Penanganan Kasus Kekerasan Jatim
Kanit II Renakta Polda Jawa Timur Kompol Ruth Yeni/Foto: Aprilia Devi/detikJatim
Surabaya -

Di balik profesi polisi, ada seorang perempuan, istri, dan ibu yang menjalani peran tak sederhana. Seperti yang dilakukan Kanit II Renakta Polda Jawa Timur Kompol Ruth Yeni yang bergerak di garis depan penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Sejak 2009, ia bergelut dengan berbagai perkara, mulai dari kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan seksual, hingga berbagai bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak.

"Penyidik itu garda terdepan, bukan hanya untuk membuat terang perkara, tetapi juga untuk menuntun pemulihan korban sejak langkah pertama mereka datang melapor," ujar Ruth saat dijumpai detikJatim, Senin (22/12/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ruth terbiasa menerima korban dalam kondisi paling rapuh. Banyak dari mereka datang setelah mengalami kekerasan dari orang terdekat, ayah, ibu, pasangan, saudara, atau majikan. Termasuk dalam kasus KDRT.

Dalam kondisi ini, ia harus memahami kebutuhan korban dan memastikan korban mendapat ruang yang aman.

ADVERTISEMENT

"Korban itu datang sudah susah payah. Ada yang kabur dari rumah, ada yang baru dipukul, ada yang mengalami kekerasan seksual. Yang mereka butuhkan pertama itu rasa aman," katanya.

Di titik ini, tantangan perempuan sebagai penyidik muncul. Bukan hanya soal profesionalitas, tetapi kesiapan psikis untuk mendengar luka orang lain.

"Dia enggak tahu orang baru yang ditemuin ini, penyidik ini, maka kita harus menempatkan diri dengan baik, memperlakukan mereka seperti kita ingin diperlakukan," ucap Ruth.

Pendekatan ini menjadi salah satu prinsip kerjanya. Pemeriksaan bukan selalu langkah awal. Jika korban datang dalam kondisi mental yang berat, pemulihan psikis lebih dulu diutamakan.

"Kalau belum layak diperiksa, ya kita pulihkan dulu. Ada psikolog, ada UPT PPA, ada safe house. Setelah dia tenang dan nyaman, baru kita lakukan pemeriksaan," jelasnya.

Namun, pemulihan itu tidak berarti mengabaikan alat bukti. Jika korban mengalami kekerasan fisik, visum menjadi prioritas. Pemeriksaan psikologis juga menjadi hal yang tak bisa diabaikan

"Jika perlu, kita lakukan visum Habis sekaligus diobati. Karena fisik dan psikis itu saling berdampak," bebernya.

Bagi Ruth, peran penyidik Renakta tidak berhenti pada korban. Baginya, penyidik juga menjadi garda terdepan bagi pemulihan pelaku.

"Proses itu dimulai di penyidik, bukan di pengadilan," tuturnya.

Tak jarang, dalam penanganan kasus yang perlu proses panjang, Ruth menjumpai kendala. Salah satunya sering kali berbenturan dengan ekspektasi publik. Narasi "no viral, no justice" kerap muncul ketika proses hukum dianggap lambat.

"Padahal ini tahapan. Ada SOP, ada pemanggilan. Kadang terlapor domisilinya beda kota, beda pulau. Itu butuh waktu," katanya.

Ia menegaskan, penyidik tidak hanya bekerja berdasarkan tekanan viralitas.

"Bukan maunya penyidik. Ini proses untuk membuat terang perkaranya," ujarnya.

Di balik ketegasan sebagai aparat penegak hukum, Ruth mengakui ada naluri keibuan yang tak pernah lepas. Naluri itu kerap muncul, termasuk di ruang pemeriksaan atau ketika ia pertama kali menjumpai korban.

"Kalau korban belum makan, kita kasih makan. Kadang kita antar pulang, atau kita kasih ongkos. Itu sudah biasa, dari kantong pribadi," katanya.

Naluri yang sama juga hadir dalam kehidupannya sebagai ibu dari tiga anak perempuan. Namun, justru di sinilah pergulatan terberat terjadi.

"Saya urus anak orang. Anak saya sendiri sering enggak terurus," ucap Ruth.

Sejak mulai menangani perkara perempuan dan anak pada 2009, jam kerjanya nyaris tak mengenal batas. Berangkat pagi, pulang paling cepat malam hari. Tak jarang, ia harus menginap atau bertugas ke luar kota.

Bahkan, anak-anaknya juga kerap diajak ke kantor, seperti saat ia masih bertugas di Unit PPA Polrestabes Surabaya.

"Anak-anak saya waktu itu masih kecil. Kadang pulang sekolah saya suruh naik taksi buat ikut ke kantor," kenangnya.

Pergumulan batin itu, kata Ruth, adalah bagian yang tak terlihat dari pengabdian. Burn out menjadi risiko nyata. Di tengah pergulatan itu, Ruth menemukan satu pegangan, keyakinan bahwa pekerjaannya adalah pelayanan.

Ia percaya, ketika dirinya dipercaya untuk membantu banyak orang, maka Tuhan juga akan menjaga anak-anaknya melalui cara lain.

"Kalau saya bermanfaat untuk orang banyak, saya percaya Tuhan jaga anak-anak saya," katanya.

Ia juga selalu melibatkan Tuhan dalam tiap perkara yang ditangani.

"Saya selalu bawa dalam doa, saya minta ke Tuhan. Karena pekerjaan juga merupakan ibadah, ibadah yang panjang," ungkap Ruth.

Berbagai upaya yang ia lakukan pun berbuah manis, menurut Ruth, selama hampir 16 tahun mengabdi di Renakta, ia kerap disapa orang-orang yang tak ia kenal, korban atau keluarga korban yang pernah ia bantu. Baginya, pemulihan tidak berhenti pada satu orang.

"Orang yang dipulihkan bisa menularkan pemulihan itu ke orang lain. Itu dampaknya panjang," pungkasnya.

Halaman 2 dari 2


Simak Video "Video: Ini 16 Cara Penyebutan Ibu di Berbagai Daerah Indonesia"
[Gambas:Video 20detik]
(irb/hil)


Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads