Kerusakan alam yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia seperti Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat menuai respons dari berbagai lapisan masyarakat. Salah satunya Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur M Hasan Ubaidillah yang menegaskan bahwa negara sudah seharusnya hadir dalam menegakkan hukum terhadap berbagai pelanggaran kerusakan lingkungan.
Hasan mengutip salah satu ayat Al-Quran yang menyebut bahwa kerusakan di darat maupun laut terjadi akibat ulah manusia yang serakah dan melakukan eksploitasi berlebihan. Padahal, kata dia, Allah telah mengingatkan agar manusia tidak merusak bumi setelah Allah memperbaikinya.
Di sisi yang lain, lingkungan hanya memberikan reaksi alam berupa bencana.
"Walaupun manusia itu punya prinsip atau punya sifat-sifat di samping konstruktif, manusia juga destruktif. Membuat rusak di dunia dan menumpahkan darah," ujar Hasan, Senin (8/12/2025).
Menurutnya, peran ulama memang memberikan penyadaran-penyadaran terkait dengan pengelolaan lingkungan berbasis agama, seruan-seruan moral yang sifatnya spiritual, serta nasihat yang sesuai dengan tuntunan syariat. Hasan menegaskan jika ulama selalu berpegang pada prinsip bahwa manusia itu harus menjaga alam sebagai khalifah fil ard.
Fatwa atau pedoman keagamaan hingga ajaran agama yang diberikan oleh MUI dianggap efektif bagi Hasan dalam memberikan penyadaran untuk menjaga lingkungan. Akan tetapi, menurutnya efektifitas tetap dilihat dari bagaimana sadar akan menjaga lingkungan secara kolektif dan sadar bahwa lingkungan berpengaruh terhadap kehidupan manusia.
"Kalau toh itu dirasa masih banyak yang melakukan pelanggaran, ya memang itu sifat manusia. Apakah kemudian dibiarkan saja? Tidak, untuk itu diperlukan yang namanya kehadiran negara di dalam penegakan hukum terhadap berbagai macus, berbagai macam kasus persoalan pelanggaran terhadap lingkungan," kata Hasan.
Hasan menyebut, jika peran ulama saja yang diandalkan tanpa adanya dukungan dari pihak-pihak lain hingga masyarakat, maka tidak akan berjalan dengan seimbang. Oleh karena itu, Hasan menyampaikan bahwa ini bukan hanya tugas ulama, melainkan pentingnya kolaborasi yang dilakukan agar kerusakan lingkungan yang menyebabkan bencana tersebut tidak semakin parah dan bisa diminimalisir.
Hasan mengatakan bahwa bencana kerusakan alam yang terjadi di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat ini terjadi karena adanya pembiaran-pembiaran terhadap pelaku kerusakan.
"Dan itu dampaknya luar biasa. Sekarang kita lihat bencana di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat. Banjir yang luar biasa dahsyat, tanah longsor dan lain sebagainya. Ternyata apa, taman-taman hutan yang dulu dilindungi sekarang ditebang di babat luar biasa," tutur Hasan menyayangkan.
Ia pun turut membeberkan keheranannya bagaimana daerah seperti Tapanuli maupun Sibolga yang luar biasa subur bisa terdampak banjir bandang. Selama yang ia ketahui, masyarakat di wilayah Sumatera sudah sadar dan berdamai dengan lingkungan. Akan tetapi, dirusak oleh 'orang luar' yang penebangan hutan secara liar.
"Buktinya ada kayu-kayu gelondongan, itu kemudian di sana dijadikan lahan pertanian sawit misalkan, atau lahan berupa industri yang lain. Itu kan bukan masyarakat adat di sana, karena rata-rata masyarakat adat atau masyarakat yang tinggal di kawasan hutan tersebut, sangat sadar akan pentingnya lingkungan," kata Hasan.
Melihat hal itu, Hasan juga mengingatkan selain penegakan hukum ditegaskan, negara juga harus hadir dalam tanggung jawab sosial dengan melakukan pemulihan traumatik kepada korban. Jadi, bukan hanya oknumnya saja yang dihukum, tapi bagaimana penanganannya harus cepat dan pemulihan baik secara emosional, psikologi, serta sosial dapat dengan cepat diatasi.
"Terutama kepada para pemimpin. Kalian semuanya, panjenengan semuanya adalah orang-orang istimewa yang diamanahi untuk memimpin rakyat. Hendaklah kepentingan-kepentingan rakyat, kemakmuran rakyat, kesejahteraan rakyat itu harus sangat diperhatikan," pungkasnya.
Simak Video "Video: Kisah Korban Banjir di Aceh Bertahan Hidup, 3 Hari Tak Makan"
(auh/abq)