Kebakaran akibat aksi yang terjadi di Grahadi serta Polsek Tegalsari Surabaya pada Sabtu malam (30/8) menyisakan keprihatinan. Sebab dua bangunan tersebut adalah cagar budaya yang seharusnya tetap dijaga.
Pemerhati cagar budaya dari komunitas Oud Soerabaja Hunter, yang dikenal aktif memburu dan mendokumentasikan bangunan-bangunan peninggalan kolonial di Kota Pahlawan, Disatya Febriary sangat menyayangkan kondisi bangunan yang terlalap api.
"Tadi malam itu mendengar Grahadi (terbakar), terus aku sempat tidur, habis itu bangun sekitar jam 06.00 WIB dan langsung ada banyak DM yang menginformasikan tentang Polsek Tegalsari juga terbakar," ungkap Febri, sapaan akrabnya saat dihubungi detikJatim, Minggu (31/8/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai warga yang tinggal tak jauh dari kawasan Polsek Tegalsari maupun Gedung Negara Grahadi, ia pun langsung menuju lokasi.
"Dan miris banget. Tentu saja miris banget. Terutama Polsek sih. Karena bangunan Polsek Tegalsari itu adalah bangunan cagar budaya yang dibangun, informasinya memang belum pastinya tahun kapan, tapi antara 1900 sampai 1920. Dan habis, sama sekali habis," tambahnya.
Ia menyayangkan bangunan cagar budaya yang hangus itu. Polsek Tegalsari, menurut Febri, merupakan salah satu sektor kepolisian kolonial di masa Hindia Belanda. Bangunan ini memiliki arsitektur unik dan berbeda dari bangunan polsek lainnya di Surabaya.
"Dan itu bangunan yang menurutku cukup menarik. Karena di bagian atap terutama, itu sangat berbeda dengan bangunan Polsek lainnya. Di sini, dia ada boven lis di atas. Ada jendela di atas. Dan itu hancur, sama sekali hancur. Nggak tersisakan, hanya bangunan temboknya saja. Tentunya miris sekali," ujarnya kecewa.
Ia menyebutkan, Polsek Tegalsari dulunya termasuk dalam sektor-sektor polisi kolonial bersama Polsek Bubutan, lalu di kawasan Ambengan, Dr. Soetomo, dan Wonokromo.
"Jadi langsung tadi ke sana. Dan bangunan yang aku takutkan adalah, karena banyak sekali Polsek Tegalsari, polisi sektor ke-2. Sektor ke-2 di Zaman Kolonial. Ada sektor-sektor lain, kayak Bubutan. Terus abis itu Ambengan, yang masih ada sampai sekarang bangunannya. Terus abis itu Dr. Soetomo sama Wonokromo," tuturnya.
Kekhawatiran juga muncul atas bangunan cagar budaya lainnya yang dekat dengan lokasi kerusuhan. Ia berharap kerusuhan tak berlanjut dan tak menjalar ke bangunan-bangunan bersejarah lainnya.
"Yang aku takutkan juga Polsek Bubutan yang paling dekat-dekat sini, itu cagar budaya juga kan," katanya.
Selain di Polsek Tegalsari, kerusuhan juga terjadi di kawasan Gedung Negara Grahadi. Bagian sisi kanan bangunan sempat terbakar. Beruntung, gedung utama yang dibangun pada tahun 1795 selamat dari jilatan api.
Ia menerima informasi dari rekanan bahwa Grahadi terbakar karena lemparan molotov. Ia tidak mengetahui darimana datangnya massa aksi yang memicu kerusuhan. Namun menurutnya berdasarkan informasi yang diterima, sebagian massa aksi bukanlah dari kelompok mahasiswa maupun ojek online.
"Informasi teman-teman, jadi mereka mahasiswa kemarin sore itu informasinya sudah sebagian balik. Karena sudah tenang. Pendemonya dari mahasiswa sudah tenang sekitar jam 16.00 WIB. Terus maghrib itu ojek-ojek sudah balik. Separuhnya, hampir separuhnya. Dan pukul 18.00 WIB, sama aparat mereka sudah baik, dalam kondisinya ngobrol-ngobrol di depan," ungkapnya.
"Tiba-tiba, ini dari informasi yang tadi ikut gabung bareng aku di Grahadi. Tiba-tiba ada seorang yang melempar molotov di bangunan sisi kanan. Kalau dari informasi itu bangunan sisi kanan itu ruang pers. Sama kantornya Wagub," lanjutnya.
Beruntung gedung utama dari Grahadi tak ikut terbakar.
"Untungnya, yang bagian belakang, yang benar yang bagian utama yang dibangun 1795 adalah gedung utamanya. Sisi-sisi sayap kanan-kiri itu dibangun mengikuti setelah, jauh setelah itu. Mungkin 1900-an, sudah masuk 1900-an yang sisi sayap kanan-kiri bagian belakang. Itu informasinya kemarin untungnya sudah disiram lebih dulu. Sehingga api tidak sampai merambat ke sana, jadi padam," bebernya.
Melihat situasi ini, Febri mengaku sedih dan khawatir atas potensi kerusuhan lanjutan pada aksi selanjtunya, seperti aksi yang dikabarkan akan dilakukan pada tanggal 3 September 2025, yang disebut-sebut akan ada aksi besar menuntut penurunan gubernur.
"Ini ketakutan-ketakutan saya dan teman-teman adalah besok yang tanggal 3 September 2025 itu yang mendemo penurunan Gubernur. Takutnya ada orang-orang ini lagi, provokator-provokator itu lagi yang akan membuat," kata Febri.
Ia juga menyampaikan harapan agar aparat lebih siaga ke depan.
"Semoga, aku harap sih bagian utama, bangunan utama aparat-aparat sigap lebih jauh lagi, keamanannya lebih baik lagi. Semoga sih, itu harapan kita," tuturnya.
Febri pun mengungkap momen menyedihkan saat ia tengah meninjau lokasi cagar budaya yang terbakar serta melakukan siaran langsung di lokasi kebakaran Polsek Tegalsari.
"Dan tadi, benci banget aku ketika aku live di Polsek Tegalsari siang tadi. Itu ada satu orang yang naik sepeda motor dan dia teriak-teriak. 'Aku senang sekali dengan keadaan seperti ini' gitu. Aku nggak tahu, mungkin dia salah satu provokator. Atau mungkin dia hanya bagian yang ikut senang. Karena kita nggak tahu, gitu," ceritanya dengan kecewa.
Ia pun berharap masyarakat tidak mudah terprovokasi dan menjaga warisan sejarah kota ini. Ia juga menambahkan, sudah ada pihak-pihak yang menyatakan kesediaan untuk membantu membangun kembali, termasuk dari Ikatan Arsitek Jawa Timur.
Namun, ia menggarisbawahi bahwa nilai sejarah bangunan tak bisa dikembalikan meski bentuknya bisa direplikasi.
"Mereka bilang kalau siap untuk membantu membuat bangunan cagar budaya ini. Gimana ya sebenarnya kalau sekalipun dibangun seperti mirip aslinya kan sudah nilai sejarahnya sudah tidak ada kan," pungkasnya.
Duka mendalam menyelimuti masyarakat, terutama para pencinta sejarah dan arsitektur bersejarah di Surabaya. Bangunan-bangunan yang menjadi saksi perjalanan panjang kota kini menjadi puing akibat ulah massa. Harapannya tak ada lagi yang terbakar dan Surabaya tetap terjaga sejarahnya.
(ihc/ihc)