Polemik pembayaran royalti musik terus menjadi sorotan sejumlah akademisi. Kebijakan ini dinilai mendadak dan malah menciptakan kebingungan di tengah masyarakat.
Pakar Kebijakan Publik Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (STIA) Alie Zainal Abidin menyoroti pemberlakuan kebijakan royalti musik ini terkesan mendadak meski dasar hukumnya sudah lama ada.
Menurut Alie, implementasi yang gencar dilakukan belakangan ini justru menimbulkan kebingungan dan reaksi yang beragam di tengah masyarakat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ada kesan kebijakan ini diterapkan secara tiba-tiba. Padahal regulasinya bukan hal baru. Ketidaksiapan dari berbagai pihak menunjukkan lemahnya strategi implementasi di lapangan," ujar Alie berbincang dengan detikJatim, Kamis (28/8/2025).
Alie menegaskan, musik tidak semata-mata dilihat dari sisi komersial. Menurutnya, aspek sosial dan budaya dari musik harus mendapat ruang dalam pengambilan kebijakan.
"Kita hidup setiap hari dengan musik. Musik di ruang publik bukan sekadar hiburan, tapi bagian dari kehidupan sosial," ungkapnya.
"Kalau tidak ada musik, rasanya aneh. Maka kebijakan ini jangan hanya fokus pada keuntungan finansial, tapi juga harus mempertimbangkan aspek sosial dan budaya," tambahnya.
Alie juga mempertanyakan apakah mekanisme saat ini benar-benar merepresentasikan filosofi royalti sebagai bentuk penghargaan bagi pelaku seni.
Dia tegaskan, filosofi dari pengenaan royalti musik adalah penghargaan kepada seniman. Tetapi nyatanya banyak pelaku seni memilih menggratiskan karya bahkan menarik kuasanya dari Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
"Ini tanda tanya besar. Apakah mereka merasa dihargai?" Tegasnya.
Alie menambahkan, tugas LMKN bukan hanya menarik royalti, tetapi juga harus memastikan tata kelola, distribusi royalti serta transparansi laporan keuangan agar berjalan baik.
"Banyak laporan dari pelaku seni tentang pembagian royalti yang lambat dan tidak proporsional. Laporan audit pun nyaris tidak pernah dipublikasikan. Ini menimbulkan kecurigaan publik, apakah tata kelola sudah dijalankan dengan baik?" katanya.
Dia juga menyoroti bentuk badan hukum beberapa Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Seperti yang berbentuk perseroan terbatas (PT), yang menurutnya bertentangan dengan prinsip non-profit dari dana royalti.
"Kalau semua dana harus disalurkan 100 persen ke pencipta, musisi, dan produser, lalu keuntungan PT-nya dari mana? Kenapa tidak memakai bentuk badan hukum lain yang lebih cocok dengan prinsip kolektif dan non-profit?" Tanya Alie.
Alie juga mengingatkan bahwa royalti adalah bagian dari kewajiban hukum, bukan semata beban ekonomi. Karena itu, edukasi kepada masyarakat menjadi hal yang sangat penting.
"Ini bukan pajak, tapi kewajiban hukum yang diatur dalam undang-undang. Jadi pelaku usaha dan publik harus paham. Pemerintah dan LMKN harus gencar melakukan sosialisasi," katanya.
"Jangan hanya fokus menarik royalti, tapi juga harus membangun kesadaran publik bahwa ini adalah aturan yang wajib dipatuhi," pungkasnya.
(dpe/hil)